DbClix
SentraClix

Saturday, May 30, 2009

Cerita Klasik Tiongkok: Bebek Gila dan Macan Hutan

Hu Lin adalah budak kecil. Ia dijual ayahnya saat masih kecil, dan tinggal bersama majikannya di sebuah rumah perahu yang tertambat di pinggir sungai. Majikannya yang kejam memperlakukannya sangat buruk. Pekerjaannya banyak dan berat untuk ukuran anak kecil. Hidup ini sungguh sulit bagi si kecil Hu Lin. Dia kadang-kadang menyelinap keluar bermain di lapangan, melihat anak-anak bermain layangan. Ia senang sekali melihat layang-layang menari-nari di angkasa. Namun bila ketahuan majikannya, ia akan dipukul dengan rotan dan tidak diberi makan seharian. Suatu hari Hu Lin berniat kabur, namun belum jauh dia pergi, majikannya telah membuntutinya dan menangkapnya, dan memberi hukuman pukulan sampai Hu Lin pingsan.

Selama beberapa jam, Hu Lin terbaring di tanah, lalu mulai siuman. Sekujur badannya memar dan terasa sangat sakit bila digerakkan. Air mata berlinang di pipinya yang mungil, dan ia mendesah. “Ah..seandainya ada yang dapat membebaskan saya dari majikan...alangkah bahagianya hidupku.”
Tidak jauh dari sungai, hiduplah seorang kakek tua di rumah pondok. Kakek itu memiliki seekor bebek bernama Chang yang setia menjaga rumahnya di malam hari. Bebek itu bisa berteriak kencang bila ada orang asing mencoba masuk rumah. Di siang hari bebek itu suka jalan jalan mencari makan di sungai dan sering bertemu Hu Lin, sehingga mereka juga berteman baik. Suatu keistimewaan yang dimiliki Hu Lin bahwa ia bisa memahami apa yang dikatakan oleh Chang.
Kakek tua yang hidup di pondok itu adalah seorang kakek kikir yang mempunyai banyak harta yang disembunyikan di halaman. Chang punya leher super panjang dan sering menjulurkannya untuk melongok apa yang dilakukan tuannya. Chang yang tidak punya sanak saudara itu suka menceritakan apa yang diketahuinya kepada Hu Lin, satu-satunya temannya.
Pada hari Majikan Hu Lin memukulnya sampai pingsan itu, Chang membuat penemuan mengejutkan. Ternyata tuannya bukanlah seorang kakek kikir, melainkan seorang lelaki muda yang sedang menyamar. Bagaimana Chang mengetahuinya? Kejadiannya begini:
Chang yang sedang lapar di pagi hari itu belum bisa keluar, karena pagar masih dikunci tuannya. Ia berusaha mencari makan didalam rumah, mungkin masih ada sisa remah makan malam tuannya malam sebelumnya. Chang berjalan masuk ke dapur, lalu dari dapur ia melihat pintu kamar tuannya sedang terbuka karena ditiup angin. Terlihat seorang lelaki muda sedang tidur, Chang merasa keheranan dan berjalan mendekat. Tiba-tiba, sosok lelaki muda itu berganti menjadi sosok kakek tua, yang dia kenal sebagai sosok tuannya. Chang sangat terperangah.
Lupa akan perutnya yang lapar, bebek ini berlari kencang ke halaman dan berpikir keras tentang misteri itu, tapi semakin dia berpikir, semakin aneh rasanya. Lalu dia teringat Hu-lin, teman manusianya, dan berpikir ingin bertanya kepada Hu-lin tentang kejadian tersebut. Chang kagum akan kepandaian Hu-lin dan berpikir bahwa Hu-lin pasti bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan tuannya. Ia ingin segera menemui Hu-lin.
Seperti biasanya kalau masih pagi, pintu pagar masih terkunci. Tidak ada yang bisa dilakukan Chang kecuali meunggu tuannya bangun. Dua jam kemudian, tuannya bangun, terlihat sangat segar dan tidak seperti biasanya, memberi makan Chang sangat banyak. Kemudian dia merokok di depan rumah, lalu pergi ke luar. Pintu pagar lupa dikuncinya.
Dengan gembira Chang berjalan keluar pelan-pelan, menuju sungai dan mencari Hu-lin. Gadis mungil itu masih terbaring di tepian sungai.
“Hu-lin, panggil si bebek. “Bangun, saya ada sesuatu yang ingin dibicarakan.”
“Aku tidak tidur, ujarnya. Hu-lin bangkit sambil tersenyum dan menghapus air matanya.
“Ada apa Hu-lin? Kamu menangis….apakah majikanmu memukulmu lagi?”
“Hush! Dia lagi tidur siang di perahu, jangan sampai suaramu terdengar olehnya.”
“Ah, tidak mungkin dia mengerti bahasa bebek, hanya kamu yang bisa,” ujar Chang. “Tapi memang lebih baik bila kita bicara sambil berbisik-bisik saja.”
Chang lalu menceritakan apa yang dialaminya pagi hari itu kepada Hu-lin, dan bertanya apa pendapat Hu-lin.
Hu-lin sampai lupa akan kesedihannya mendengar cerita Chang, lalu bertanya pada bebek itu, “Apa kamu yakin bahwa tidak ada orang lain yang menginap di kamar tuanmu kemarin?”
“Ya, tidak ada. Saya yakin betul itu. Tuan saya tidak punya seorang temanpun. Lagipula saya sudah didalam rumah saat pintu pagar dikunci semalam. Saya tidak mendengar ada suara orang asing masuk.”
“Kalau begitu, tuanmu pasti peri sedang menyamar”, ujar Hu-lin dengan bijak.
“Peri? Apa itu? Tanya Chang, yang semakin tertarik akan kejadian ini.
“Aduh, kamu khan bebek tua, masak tidak tahu apa itu peri? Ujar Hu-lin sambil tertawa. Saat itu Hu-lin sudah lupa akan nasib malangnya, tertawa bercanda dengan kawan baiknya yang sedang kebingungan itu. “Sssh… ujarnya dengan suara sangat pelan sehingga Chang memincingkan mata berusaha mendengarnya, “Peri itu adalah….(Hu-lin membisikkan sesuatu ke kuping Chang), kemudian Chang mengangguk-angguk mengerti. “Wow! Astaga!”, ujar Chang. “Bila tuan saya adalah peri, ayo pergi temui dia, pasti tuan saya bisa menyelamatkanmu dari segala masalahmu dan membuat saya bahagia selamanya.”
“Apa saya berani melakukannya lagi?” Tanya Hu-lin kepada Chang, sambil menunjukkan luka-lukanya akibat dipukul karena kabur tadi. Hu-lin lalu melihat keadaan sekeliling, menempelkan kupingnya ke pintu perahu tuannya, masih terdengar suara mengorok.
“Tentu, tentu, ayo ikut aku! Dia sudah begitu kejam memukulimu, pasti dia sangat capek dan tertidur pulas, Ayo pergi sekarang!
Dengan cepat mereka pergi ke pondok kakek tua. Sambil berlari, jantung Hu-lin berdegup sangat kencang, dia juga bingung apa yang akan diucapkannya bila bertemu dengan majikan Chang. Pintu pagar rumah Chang masih terbuka sedikit, lalu mereka masuk ke dalam.
“Ayo lewat sini”, ujar Chang. “Dia pasti di dalam lagi menggali tanah di kebun”
Saat mereka sampai di kebun, tidak ada orang yang terlihat.
“Sangat aneh,”ujar bebek itu sambil berbisik. “Saya tidak mengerti, masa dia sudah istirahat?” Ayo kita cek ke dalam rumah.”
Sambil berjingkat-jingkat, Hu-lin memasuki rumah karena diajak oleh Chang. Di dalam rumah juga tidak ada orang, termasuk di kamar majikan Chang, yang sedang terbuka lebar.
“Ayo, lihat, dia tidur di ranjang jenis apa, “ ujar Hu-lin. “Saya tidak pernah melihat kamar peri, pasti lain dengan kamar orang biasa.”
“Hanya ranjang bata biasa, seperti ranjang orang lain, ujar Chang, sambil memasuki kamar tuannya.
Hu-lin membungkuk di bawah ranjang bata, melihat ada tempat menyalakan api dibawahnya. Lalu ia bertanya pada Chang, “Apakah dia menyalakan api di cuaca dingin?”
“Oh, ya, dia selalu menyalakan api untuk menghangatkan ranjang bata itu, tak peduli cuaca dingin ataupun panas, ranjang bata itu selalu panas.”
“Hmm… itu sangat aneh lho, bagaimana menurutmu?” Tanya Hu-lin. Katamu majikanmu kikir, tapi kenapa ia boros menyalakan api tiap malam?”
“”Iya, aneh, ujar Chang, sambil mengibaskan sayapnya. “Saya tak pernah berpikir ke arah situ. “Aneh, aneh banget.” Hu-lin, kamu sangat pandai”.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara pintu pagar dibanting, ternyata tuannya sudah pulang! Mendadak wajah Chang memucat ketakutan.
“Oh, apa yang harus kita katakan kepadanya bila ia menemukan kita di kamarnya?” Tanya Hu-lin kepada Chang. Iapun panik dan berkata, “Saya sudah dipukul hari ini, saya tidak sanggup dipukul lagi, isak gadis kecil itu, air matanya mulai menetes.
“Hu-lin, jangan menangis, jangan khawatir, ayo kita sembunyi di belakang tirai itu,” ujar bebek itu.
Dengan gerak sangat cepat, kedua sahabat itu bersembunyi di balik tirai. Untungnya, majikan Chang tidak masuk ke kamar, melainkan hanya mampir sebentar ke gudang dan mengambil sekop, lalu berjalan ke luar menuju halaman, lalu bekerja disana.
Kedua sahabat itu tidak berani keluar dari persembunyian, apalagi keluar dari rumah, takut ketahuan oleh majikan Chang.
“Saya tidak bisa bayangkan apa jadinya kalau ia menemukan bebeknya ini membawa orang asing masuk,” bisik Chang pada Hu-lin.
Hu-lin menjawab, “Mungkin dia berpikir bahwa kita mau mencoba mencari uang yang dia sembunyikan, “ujar Hu-lin sambil tertawa. Saat itu Hu-lin sudah tidak begitu takut, jantungnya sudah berhenti berdebar-debar. “Lagipula, dia tidak mungkin lebih jahat daripada majikan saya.”
Setelah mengalami kejadian mendebarkan itu, kedua sahabat itu kelelahan dan tertidur di dalam tirai di kamar majikan Chang. Majikan Chang malam itu heran kenapa Chang belum pulang, dan mengiranya masih asyik bermain di sungai. Jam 9 malam, majikan Chang masuk ke kamar dan tidur.
Pagi hari, Hu-lin terbangun oleh sinar matahari yang menembus jendela kamar. Awalnya dia lupa dimana dia berada, namun ketika dia melihat Chang, dia segera membangunkan bebek itu. Chang bangun dan mengintip ke luar tirai.
Di ranjang tuannya, berbaring seorang lelaki muda berambut hitam yang sangat tampan. Seulas senyum terhias di wajahnya, seolah-olah sedang menikmati mimpi yang indah. Hu-lin yang baru melihatnya tiba-tiba berdecak kagum. Mata majikan Chang tiba-tiba terbuka dan memandang Hu-lin. Gadis kecil itu sangat terkejut, ketakutan sehingga tak dapat bergerak. Chang yang berdiri disampingnya juga gemetaran.
Lelaki muda itu bahkan lebih kaget daripada Hu-lin dan Chang, selama dua menit dia terdiam. “Apa maksudnya ini?, Tanyanya, dan kemudian melihat kepada bebeknya yang gemetaran, “Apa yang kamu lakukan di kamar saya, dan siapa anak ini, yang sangat ketakutan?”
“Maafkan saya, tapi apa yang kamu lakukan pada Tuan saya?” ujar bebek itu, bertanya balik.
“Saya bukan tuanmu, ujar lelaki muda itu sambil tertawa. “Kamu lebih bodoh daripada biasanya pagi ini.”
“Tuan saya adalah kakek tua yang jelek, sedangkan kamu masih muda dan tampan,” ujar Chang.
“Apa? Kamu bilang saya masih muda?”
“Iya, coba Tanya Hu-lin kalau kamu tak percaya,” ujar Chang.
Lelaki muda itu bertanya kepada gadis kecil itu.
“Ya, tuan. Tidak pernah saya melihat seorang lelaki begitu tampan.” ujar Hu-lin.
“Chang, siapa nama temanmu ini?” Tanya lelaki muda itu.
“Namaku Hu-lin, si gadis budak” ujarnya.
Lelaki muda itu bertepuk tangan, “Betul, betul! Saya telah mengetahui arti teka teki itu semuanya dengan jelas sekarang. “Adalah kalian berdua yang membebaskan saya dari kutukan menjadi kakek tua,” Melihat wajah Hu-lin dan bebeknya yang keheranan, lelaki muda itu mulai menceritakan apa yang pernah terjadi:
“Ayah saya adalah lelaki kaya yang hidup di sebuah daerah yang jauh. Saat saya masih kecil, dia memberikan apapun yang saya minta. Saya sangat sombong dan berpikir bahwa tidak ada apapun di dunia yang tidak bisa saya miliki, juga tidak ada yang perlu saya lakukan bila saya tidak mau melakukannya.”
“Guru saya sering mengomeli saya atas pikiran saya yang tidak lurus itu. Dikatakannya bahwa uang memang dapat membuat orang bahagia, namun Tuhanlah yang menentukan. Terkadang saya mentertawakannya, menyombongkan diri bahwa saya punya cukup uang dan dapat membeli dewa-dewa, peri dan iblis. Guru saya berkata, “Hati-hati! Kamu akan menyesal dengan ucapanmu yang sombong itu.”
“Suatu hari, setelah menyelesaikan pelajaran hari itu, kami berjalan di taman ayahku. Saya menjadi lebih berani daripada biasanya dan berkata padanya bahwa saya tidak mau mematuhi peraturan apapun. Kamu pernah berakta bahwa taman ayahku ini ada penunggunya, dan bila saya membuatnya marah dengan melompati sumur di taman ini, dia akan bangun dan menghukumku.” “Ya, ujar guru saya itu. “Itu yang pernah saya katakan, dan saya ulangi bahwa itu benar. Hati-hati, Anak muda. Jangan melanggar peraturan itu.” “Apa peduliku bila ia bangun?, ujar saya tanpa rasa takut, meloncati sumur tua itu. “Saya tak percaya taman ini ada penunggunya, itu hanya budak ayahku.”
“Tiba-tiba, begitu saya selesai mengucapkan hal itu, perubahan terjadi dalam tubuhku. Tubuh ini menjadi lemas, pandangan kabur, kulit menua dan berkerut, rambut berubah menjadi uban. Dalam satu menit, saya telah berubah menjadi seorang kakek tua.”
“Guru saya bengong melihat apa yang saya alami, Ia berkata, “Penunggu taman ini telah marah atas kata-katamu dan menghukummu. Saya sudah peringatkan agar kamu jangan meloncati sumur itu.” Saya tidak tahu bagaimana cara mengembalikanmu ke bentuk semula.”
“Saat ayahku mengetahui apa yang terjadi padaku, dia sangat sedih dan kecewa. Dia melakukan apa saja untuk membuatku kembali muda. Dia telah mengajakku ke puluhan tabib dan biksu, berdoa siang dan malam serta meminta maaf kepada penunggu di taman. Saya adalah satu-satunya anaknya, dia tidak dapat bergembira bila saya masih seperti iini. Akhirnya guru saya menemukan satu peramal terkenal yang berkata bahwa penunggu taman menghukumku akibat kesalahanku sendiri. Hanya dalam kondisi tidur barulah saya kembali muda, namun begitu bangun akan berwujud kakek tua. Atau bila kepergok oleh siapapun, wujud saya akan kembali menjadi kakek tua,” ujar lelaki tampan itu.
“Saya melihat kamu kemarin pagi, ujar si bebek. :Kamu menjadi muda dan tampan, lalu tak lama kemudian berubah menjadi orang tua.”
“Peramal itu mengatakan bahwa hanya ada satu kesempatan agar saya pulih seperti sedia kala. Yaitu saat saya dalam wujud asli saya (dalam kondisi tidur), datang seekor bebek gila yang membebaskan macan hutan dari perbudakan, maka kutukan itu bisa terlepas, jiwa iblis tidak lagi mengontrol saya lagi. Perkataan si peramal itu bagaikan sebuah teka teki yang sangat aneh, ayah dan guru saya pun menyerah, tidak mengerti.”, kata lelaki itu melanjutkan kisah masa lalunya.
“Kemudian saya ingin mengembara demi memecahkan jawaban teka teki itu. Malam itu saya pergi meninggalkan kota saya seizin ayah. Saya datang ke sini, membeli rumah ini. Saya membawa banyak harta yang diberikan ayah saya. Karena takut kehabisan, saya hidup dengan pelit, menyimpan harta itu di pekarangan. Saya takut ia dicuri, maka saya harus mencari hewan penjaga. Ketika hampir membeli anjing, saya ingat teka-teki si peramal. Akhirnya saya tidak jadi membeli anjing, melainkan membeli bebek, untuk menjaga rumah saya.
“Tapi aku bukan bebek gila,” ujar Chang dengan kesal.
“Betul, Chang, kamu tidak gila, ujar tuannya sambil tersenyum. Supaya cocok dengan teka-tekinya, maka saya memberimu nama Chang, yang artinya gila.
“Oh”, ujar Hu-lin dan Chang bersamaan, “Pintar sekali!”
“Iya, namun Chang tidak pernah membawa macan hutan keluar dari perbudakan selama ini, sampai hari ini tiba!”
“Sayakah si macan hutan?” Tanya Hu-lin sambil tertawa.
“Tentu, Hu artinya Macan, dan Lin artinya kumpulan pepohonan, yang dapat diartikan sebagai hutan. Kamu juga tadi berkata bahwa kamu gadis budak. Jadi sesuai teka teki si peramal, “Chang melepaskanmu dari perbudakan.”
“Oh, saya sangat senang mendengarnya!” ujar Hu-lin. “Senang mengetahui bahwa kamu tidak harus menjadi kakek tua yang pelit lagi. “
Tiba-tiba terdengar suara majikan Hu-lin di depan rumah. Hu-lin sangat ketakutan. “Tidak perlu takut, gadis kecil yang manis. Saya akan membebaskanmu, “ ujar lelaki itu, yang keluar rumah dan berbicara dengan majikan Hu-lin untuk membeli kebebasan Hu-lin.
Hu-lin sangat bahagia, bersimpuh di depan majikan barunya dan berkata, “Oh saya sangat senang, sekarang saya milikmu selamanya, dan bebek ini akan menjadi sahabat saya untuk seterusnya.”
“Ya, tentu, ujar lelaki tampan itu sambil tersenyum. Nanti bila kamu sudah besar, saya akan memperistrimu. Sekarang ayo, kita pulang ke rumah ayah saya.” (Erabaru/ch)

Related Post :

0 comments: