DbClix
SentraClix

Thursday, October 29, 2009

Y.M. Jinadhammo Maha Thera

Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal akan menjadi seorang anggota Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.


Bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah. Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak memiungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung. Pada waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut disyukuri dan terasa sangat nikmat.

Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat, Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu dan batok kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjai topi dll, setidaknya dapat menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain memupnyai kelebihan di kerjinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga yang dipilih yakni atletik, lompat jauh dan lompat tinggi.

Kegiatan sekolah memang menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.

Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat, Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan belajar yangkeras. Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan menjadi tenaga cukur bayaran. Sunardi paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu harus dekat dengan warung makanan. “Upahnya tak beli in kue, habis…”, kenang Beliau sambil tertawa.
Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih digunakan. “Bhante itu kalau mencukur cepat sekali,” aku salah seorang anggota pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui.

Dari kecil, Sunardi paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit, mengidolakan tokokh Arjuna, tapi tak pernah melewatkan tokokh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada acara Wayang dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga malam melarut dan subuh menjelang.

Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi tersebut banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang dinding candi. Setelah melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut, sejumlah pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya ? Untuk apa bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar di Indonesia yakni Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Setelah membaca majalah tersebut barulah Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap pertanyaan yang timbul tentang relief-relief dan patung-patung tersebut menggambarakan kebesaran agama Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni zaman Sriwijaya dan Majapahit.

Ternyata Sunardi tidak paus dengan jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak yang dibaca dan dihayati maka akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan, membahagiakan.

Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang (Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera. Dari beliaulah Sunardi mulai mempelajari paritta-paritta suci dan dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif mempelajari Buddha Dharma.

Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala Dharma Bandung.
Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh Bhante Ashin Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan agama Buddha baik dai pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.

Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashn untuk mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabi selama 3 tahun, Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi upasaka di Pekan Baru.
Berlatih Vippassana-Bhavana

Di bawah bimbingan langsung Bhikkhu Ashin Jinarakkhita Sunardi beserta puluhan peserta lainnya mengikuti suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif.
Pelatihan berlangsung dengan disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah berlatih lebih kurang 2 minggu mengalami kejadian lucu dan unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal dalam pelatihan.

Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan tersebut. Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera bergerak untuk membersihkan sarang laba-laba tersebut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin telah menggeledek : “Pergunakan waktumu sebaik-baiknya, goblok !”
Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang lainnya yang dinyatakan lulus di antara sekian puluh orang peserta.

Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang patut dan selanjutanya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.
(Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)

Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upataka dan orang yang bisa menjadi Upataka Bhante Ashin pada waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia.

Pada masa 1960 sampai 1970-an, Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidka heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit sering memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama Buddha yang tertidur selama 5 abad.

Sunardi pada waktu menjadi pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang sampai kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin berkata pada pemuda Sunardi:
“Mengapa bukan Jendral Gatot Subroto ? Mengapa Jendral Sumantri ? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha ? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu ? Itu karena saya membayar hutang.” Demikian pertanyaan yang dilontarkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau sendiri.

Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan tekadnya mendapat restu dari orang tuanya dan saudara.

Upasampada

Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera Bhante Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, ‘Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma.”

Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhamma sushiyo di Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut :
S. Jinasuryabhumi (U.P. Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu : Aggajinamitto).
S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari 1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.
Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20 Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.
S. Dhammasushiyo (Sunardi), lahir Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo.
S. Djumadi, lahir Jumat 19 Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.

Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :
1. Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa sekarang Sangha Raja.
2. Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta).
3. Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma Sobhana)
4. Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5. Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia)
6. Upa. Saksi (Ven. Subhato/Indonesia)

Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit seakan berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekita pukul 04.52 sore.

Belajar ke Wat Bovoranives Vihara

Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris (hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu Jinadhammo) kemudian berangkat ke “Negara Gajah Putih” Muanthai. Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan guru-guru beliau.

Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih meditasi pada guru meditasi yang mumpuni. Setelah hampir 2 tahun belajar di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang terkenal keras.
Bhante Jin pergi ke daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari kota Bangkok. Beliau mendatangn Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang dipimpin oleh Ajahn Buah, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wan Ban Tad (Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muanthai selain Wat Ba Phong tempat Ajahn Chah.
Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad. Ajahn Buah adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Buah melakukan gerakan “Rakyat Menyelematkan Negara”. Berliau berkampanye mengumpulkan sumbangan dari rakyat unutk disumbangakan kepada negara yang sedang mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Buah. Sudah milyaran dolar Amerika (dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn buah kepada pemerintah.
Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu, Vihara di Muangthai belum memiliki air leding dari PAM (Perusahaan Air Minum)

Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah “daging kodok rebus” atau “ulat kelapa” (orang jawa bilang : Gendon)

Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu hanya menerima makanan dari daging apabila :
1. ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2. ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3. ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk dirinya.

Kembali ke Indonesia

Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin dipanggil pulan ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil “Om Yan” oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng Gunung Willlis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin. Bhante Jin belum tidur waktu itu.
“Ada apa Om Yan ? Tengah malam koq ngintip-ngintip ?” tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa terbahak-bahak.

“Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di gubuk.”
Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah kamar “aneh” untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.

Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya.
“apakah Bhante merasa tenang tinggal di vihara ini ?” tanya Om Yan.
“Tenang. Tenang sekali.” Jawab Bhante Jin.
“Bhante bisa tidur nyenyak ?” tanya Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil.
“Oh … bisa… bisa.” Jawab Bhante Jin.
“Kenapa rupanya ?” tanya Bhante Jin kembali.
“Ah, tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja.” Jawab Om Yan senyum-senyum mencurigakan.

Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa. Kecuali pada hari kebhaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar senyap.
Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang rada-rada “aneh”. Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau jika diajak tidur di kamar berlantai “aneh” tempat Bhante Jin.
“Saya tak berani tidur di situ.” Katanya polos.
“Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas.” Kata Bhante Jin.
Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara.
Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan bertanya tentang kesehatan Bhante.
“Apa Bhante sehat-sehat saja ?” tanya Om Yan sambil tersenyum.
“Sehat !” jawab Bhante Jin singkat.
“Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ?” tanya Om Yan dengan nada menyelidiki.
“Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq.”
“Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar itu.”
“Lho, ada apa dengan kamar itu ?”
“Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai. Bhante tahu batu apa itu ?” tanya Om Yan serius.
“Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat ?”
“Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya.” Jawab Om Yan.
“Oh ! Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ?”
“Ha… ha … ha… Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak diberitahu.” Jawab Om Yangembira.

Bertugas di Sumatera

Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian menugaskan Bhante Jin ke Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera Utara, Riau, Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.

Pada saat itu (1970-an) masih sedikit sekali vihara dan cetiya. Seiring perjalanan waktu dan pengabdian Bhante Jin, di daerah-daerah pun mulai berdiri vihara-vihara dan cetiya. Semangat umat Buddha kian hari kian menggelora. Sekolah-sekolah pun mulai meminta tenaga guru agama Buddha.

Bhante Jin sering diminta oleh daerah-daerah untuk mengirimkan tenaga pengajar Agama Buddha, baik untuk sekolah maupun vihara. Bhante Jin kemudian bersama-sama dengan Bapak Giriputra berusaha mendatangkan tenaga-tenaga pengajar Agama Buddha dari Pulau Jawa.

Guru-guru Agama Buddha yang datang dari Pulau Jawa kemudian dikirim bertugas ke daerah-daerah. Dan mereka-mereka ini diangkat sebagai upasaka pandita oleh Bhante Jin agar dapat memberikan pelayanan kepada umat mewakili Sangha.
Tersebutlah romo Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yangberjasa merintis pendirian Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat, Romo Pandita Kumala di Kisaran, Pak Dharmanto di Kota Medan, dan lain-lain

Pabbajja-Samanera

Pada masa awal Bhante Jinadhammo tinggal di Vihara Borobudur Medan, beliau sering harus masak sendiri. Waktu itu belum ada yang bantu masak di vihara. Vihara Borobudur sendiri di awal 1970-an masihlah sangat sederhana. Dapurnya masih berdinding triplek dan beratap rumbia. Tidak setiap hari umat memasak untuk Bhante. Kadang Bhante Jinadhammo hanya makan mie instant.

Bhante Jinadhammo Maha Thera tinggal di vihara bersama Bapak Wirawan Giriputra dan Bapak Otong Hirawan. Mereka dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang saling “bahu-membahu” memajukan agama Buddha di Medan dan daerah-daerah lainnya.
Bhante sering dibonceng pakai sepeda motor saja oleh almarhum Romo Dharmavirya atau Romo Dharmaloka ke vihara-vihara lain, seperti : Vihara Dharma Wijaya Medan, Vihara Buddha Ramsai Deli Tua, dan lain-lain. Hasil latihan di Muanthai maupun kebiasaan hidup sederhana sejak kecil, sangatlah membantu Bhante dalam menjalani pengabdian kepada Buddha-Dhamma dan umat. Bhante Jin adalah Bhikkhu yang sangat mudah dilayani, fleksibel, simpel, dan humoris. Tidak neko-neko. Tetapi ketat terhadap vinaya yang dilatih pada diri sendiri.

Mulai awal 1980-an, sudah ada yang tertarik mengikuti pelatihan Pabbajja-Samanera di bawah bimbingan Beliau. Orang pertama, seorang pilot bernama Diono yang berlatih selama 3 minggu. Selanjutnya Romo Kumala Kusumah, guru agama Buddha di Perguruan Diponegoro Kisaran, berlatih selama 1 bulan. Orang ke-3 mahasiswa UDA Medan yang “Drop-out”. Yang ke-4, Kassapa dari Riau. Yang ke-5 dan 6, dua putra Romo Surya dari Rantau prapat. Orang ke-7 dan ke-8, Yap Ik Sen dan Edy dari P.M.B. Dhammacari Medan. Ke-9, Tolip. Ke-10 dan ke-11, Cin Huat (Albert Kumala) dan Sin Kiat (sekarang Bhikkshu Nyana Prabhassa).

Pada thaun 1988 telah diselenggarakan program pabbajja-Samanera massal pertama untuk Rayon I Sangha Agung Indonesia, diselenggarakan di Vihara Avalokitesvara yang berada di tepi laut Teluk Tapian Nauli Sibolga. Angkatan I ini diikuti oleh 38 peserta.
Angkatan Ii tahun 1989, di tempat yang sama, diikuti 37 orang peserta dari Sangha Agung Indonesi Rayon I, Rayon II, dan Rayon XII (seluruh Sumatera). Dan Angkatan III tahun 1990, di tempat yang sama, diikuti oleh 108 orang peserta dari seluruh Indonesia.

Program Pabbajja-Samanera massal ini telah berlanjut setiap tahun secara rutin. Semua itu berkat inisiatif Romo U.P. Padmajaya Ombun Natio dan Romo Pandita W. Giriputra.

Dalam setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera tersebut, jug adiikuti oleh peserta wanita yang menjalankan Atthanga-Sila dan berjubah putih. Dan yangmenjadi “Uppajjhaya” (Guru pentahbis) dalam setiap angkatan adalah Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera.

Dari setiap penyelenggaraan Program Pabbajja-Samanera massal (nasional) tersebut, selalu ada peserta yang tidak lepas jubah. Beberapa orang tetap menjadi samanera di bawah bimbingan Bhante. Beberapa tahun terakhir ini beberapa samanera tersebut dikirim Bhante untuk belajar ke Muangthai. Mereka di Upasampada menjadi Bhikkhu di Wat Bovoranives Vihara. Tampaknya “benih” yang ditanam Bhante Jinadhammo Maha Thera mulai berbuah sekarang.

Jatah lima belas kepala

Bagi peserta Pabbajja-Samanera yang sempat dicukur oleh Bhante Jinadhammo, tentu memiliki kesan yang tak dapat dilupakan. Bhante Jinadhammo benar-benar trampil dan ahli di dalam mencukur “botak” kepala calon Samanera maupun Bhikkhu.
“Crak ! Crok ! Craaak !! Croook!!!…,” demikian suara yang ditimbulkan pisau cukur yang digunakan Bhante di kepala yang sedang dibotak licinkan. Orang yang sedang dicukur bisa “kembali” endengarnya. Serasa kulit kepala ikut terkelupas. Tetai herannya tidak terasa sakit, hanya agak “aneh”. Namun sepanjang pencukuran yang berlangsung cepat sekali. “Craak! Crook! Crak! Crok!”, jantung ini terasa “ketar-ketir” dan “empot-empotan”.

Tak banyak orang tahu bahwa Bhante Jinadhammo Maha Thera mempunyai reputasi tersendiri di dalam mencukur botak-licin kepala Bhikkhu dan Samanera. Beliau bahkan sempat dipuji oleh seniornya dari Inggris yang terkenal, Bhikkhu Khantipalo, yang bertugas mengawasi Bhikkhu-Bhikkhu internasional di Wat Bovoranives, Bangkok, Muangthai.

“Jinadhammo, kamu lebih hebat dari saya meskipun saya lebih senior. Kamu bisa mencukur rambut sendiri, sedangkan saya harus dibantu orang lain,” berkata Bhikkhu Khantipalo suatu kali. Itu terjadi setelah telinga beliau tercukur pisau ketika ia mencoba bercukur sendiri. Telinganya mengeluarkan banyak darah. Untung saja tidak sampai dijahit dokter.

“Lho, Bhante kan sudah berlatih vippassana. Kalau hati-hati tentu bisa mencukur sendiri,” jawab Bhante Jinadhammo.

Karena memiliki keahlian mencukur rambut, maka Bhante Jinadhammo kemudian dipercaya untuk mencukur rambut 15 orang Bhikkhu dan Samanera setiap bulannya. Jadi setiap bulan menjelang haru Uposattha, bulan purnama, Bhante Jinadhammo diberi “jatah” mencukur botak 15 kepala Bhikkhu dan Samanera yang tinggal di Wat Bovoranives.

Pekan Penghayatan Dharma

Setelah diselenggarakan program Pabbajja-Samanera massal, yang biasanya dilaksanakan pada bulan Juni-Juli ketika liburan sekolah, kegiatna pelatihan lainnya di Rayon I Sangha Agung Indonesia (Sumut – Riau – Aceh – Padang) mulai ikut terdorong.

Pada akhir bulan Desember 1990, telah diselenggarakan SADHARSI (Sapta Dharma Ratana Ramsi) Angkatan I di Vihara Buddha Ramsi Delitua, Deli Serdang. Pelatihan berlangsung selama 7 hari diikuti 23 orang peserta, melaksanakan Atthanga-Sila dan berjubah putih. Kegiatan ini dipimpin dan dibimbing oleh Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera dan Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (almarhum). Materi pelatihan meliputi : sila, pembacaan Paritta dan Sutra, Dharma Class, dan vippassana-bhavana intensil 3 hari.
Pelatihan yang berlangsung sepekan ini kemudian juga diadakan di daerah-daerah lainnya. Bahkan kemudian ada pelatihan yang berlangsung 3 hari dan satu hari dengan memanfaatkan hari-hari libur nasional, seperti yang dilakukan oleh PMV Dharma Wijaya Medan dengan bimbingan Bhikkhu Kampiro.

Program Latih Diri Vippassana – Bhavana

Pada akhir Desember 1996, Bhante Jinadhammo membimbing pelaithan Vippassana-Bhavana intensif selama 7 hari di Hutan Kebon Sawit milik Pak Husin, Rantau Prapat-Labuhan Batu, Sumut. Lokasi tempat berlatih cukup terisolir. Medannya cukup menggetarkan nyali orang kota yang jarang turun ke desa, kebun, dan hutan. Apalagi bagi yang sama sekali belum pernah turun ke desa/hutan.

Tanggung jawab guru pembimbing sungguh berat dalam pelatihan ini. Lokasi pelatihan berada di tengah-tengah alam kebun sawit yang berdampingan dengan hutan. Peserta yangpria dan wanita semua tidur dalma pondok masing-masing, menjalankan Atthanga Sila, makan satu kali sehari. Tidak boleh berbicara, mengurangi tidur. Mengembangkan kesadaran terhadap segala fenomena yang timbul dan tenggelam. Peserta diberi kesempatan bertanya pada waktu sore hari kepada pembimbing jika ada hambatan yang tidak dapat diatasi.

Malam hari di lokasi diberi penerangan dengan lampu badai (lampu kapal_. Suara satwa hutan siang dan malam terus menerus memainkan orkestra alam, nyanyian alam itu bisa terdengar seperti suara pembacaan sutra (nien cing; liam keng). Sebagai pembimbing, Bhante Jinadhammo siang malam mengawasi dan menjaga semua seperta dari gangguan-ganggguan yang tidak diharapkan. Beliau bahkan sempat tidak tidur.

Pada Vippassana-Bhavana Angkatan I mash banyak peserta yang belum mampu melaksanakan latihan secara baik. Dan banyak gangguan yangdialami. Namun sekitar 30 orang peserta latihan semuanya sehat selamat sampai akhir pelatihan. Bhante Jin sendiri berkata, “Semua peserta bisa keluar dengan selamat, sudah boleh dikatakan sukses pelatihan ini.”

Pelatihan Angkatan II diselenggarakan di Kebun Sawit pak Kasim di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Jumlah peserta juga berkisar 30 orang. Jika peserta angkatan I umumnya dari medan dan Rantau Prapat, angkatan II pesertanya meliputi wilayah Sumatera Utara. Pada angkatan II mulai nampak peningkatan kesungguhan berlatih peserta dan lebih tertib. Tampaknya gangguan yang ada relatif sedikit dibandingkan dengan pada angkatan I. Hanya faktor cuaca yang dingin di malam hari terutama dini hari, sedang siangnya panas menyengat sebab pohon sawit yang ada masih setinggi lebih kurang satu meter. Peserta sebagian besar tidur dalam tenda, sebagian kecil dalam pondok. Selesai latihan, peserta dibawa berziarah ke Candi Bahal Portibi, Gunung Tua.

Setelah pelatihan Angkatan II, tercetus ide untuk mendirikan vipassana centre, yang kelak diharapkan dapa tmenjadi tempat berlatih yanglebih baik dalam program Vipassana Bhavana yang akan datang. Pembangunan Vipassan Bhavana Centre di Sibolangit ini sedang dilaksanakan dan Bhante Jinadhammo diangkat sebagai penasehat Panitia Pembangunan Vippassana Centre tersebut.

Pad pelatihan angkatan III, kembali diselenggarakan di Hutan Kebuan Sawit Pah Husin, Rantu Prapat. Kali ini partisipasi pengurus Vihara Buddha Jayanthi dan umat cukup membanggakan seperti di Vihara Avalokitesvara Padang Sidempuan (Angkatan II).

Persertanya pun lebih banyak (+ 50 orang) dan lebih beragam : pemuda orang dewasa, termasuk pula ibu-ibu wanita buddhis. Angkatan III berlangsung lebih sukses lagi. Pada hari terakhir pelatihan, Bhante Jinadhammo menthabiskan saudara Gunung menjadi Samanera Giri Vicaya. Suasana yang menggembirakan dan sekaligus mengharukan.
Setelah pelatihan angkatan III, Bhante Jinadhammo atas nama Sangha telah mendapat sumbangan tanah di atas perbukitan Pulau Mro Riau. Maksud sumbangan tersebut adalah untuk tempat latihan Vippassana Bhavana.

Dan atas permohonan umat yang mensponsori kegiatan Pelatihan Vippassana-Bhavana, maka telah disusun rencana pelatihan Angkatan IV tahun 1999 di Padang Sidempuan, Angkatan V di Vippassana Centre Sibolangit (2000), dan Angkatan VI di Pulau Moro Riau (2001). Pengalaman peserta selama latihan sungguh beraneka-ragam. Dan gangguan-gangguan selama latihan di alam terbuka memang cukup banyak dirasakan para peserta. Tetapi semua itu masih dapat dikendalikan di bawah pengawasan Bhante Jinadhammo Maha Thera. Para peserta memperhatikan bahwa selama 7 hari pelatihan berlangsung, Bhante Jin barangkali tidak sempat tidur. Beliau siang malam mengawasi dan membimbing serta melindungi para peserta. Sungguh besar dan berat tanggung jawab guru pembimbing meditasi di alam terbuka dan pinggiran hutan.

Mengangkat Sumpah Sarjana Kedokteran dan Pegawai Negeri

Bertahun-tahun Bhante Jin selalu diminta oleh Universitas Sumatera Utara untuk mengangkat Sumpah bagi sarjana Kedokteran U.S.U yang beragama Buddha. Demikian pula di Universitas Methodist Medan. Sudah tidak terhitung lagi berapa orang bnayaknya. Setiap pengangkatan pegawai negeri yang beragama Buddha, Bhante Jinadhammo Maha Thera juga yang diminta oleh pemerintahan daerah Wilayah Sumut dan Medan Kota. “Demi Sanghyang Adi Buddha, saya bersumpah ……,” demikianlah selalu diucapkan oleh yang bersangkutan, seperti juga pada waktu acara pelantikan Bimas Buddha Tingkat I Sumut, Bapak Drs. Arifin Anwar (1994).

Memberikan Bimbingan dan Bantuan Spiritual

Kehidupan di kota besar seperti Medan, kota terbesar ke-3 di Indonesia, kian hari kian kompleks, sumpek, dan menimbulkan ketegangan jiwa bagi para penghuninya, termasuk juga umat Buddha.

Almarhum Bhikkhu Prajna Nyana Nanda (murid Bhante Jin) sering nyeletuk pada masa hidupnya, “Umat Buddha biasanya kalau sudah ada masalah baru amu datang ke Vihara.” Ini bisa kita buktikan jika mau nongkrong di Vihara Borobudur Medan untuk beberapa waktu.

Banyak sekali umat yang datang ke vihara menjumpai Bhante Jin. Mereka membawa beban batin dan masalahnya masing-masing. Mulai dari broken heart sampai yang kena PHK, dari yang broken home sampai stres berat karena uangnya dilarikan bisinis MLM Penggandaan Uang yang menghebohkan, dari korban penjarahan hingga pengungi Aceh yang lari diancam bunuh oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Seabrek-abrek. Komplitlah segala macam Dukkha bisa disaksikan. Ramai. Tua dan muda, pria dan wanita, semua ada.
Mereka datangmohon konsultasi dengan Bhante Jin. Ada yang minta berkah. Ada yang minta air “aqua”. Ada yang sekedar mengharap penghiburan. Ada yang minta dorongan. Ada yang mencari ketenangan batin. Ada yang minta perlindungan. Ada yang minta rekomendasi alias “Katabelece”. Bahkan yang minta duit juga banyak, apakha orang yang susah betulan, orang susah karena malas (tipu-tipuan), atau OKP serta preman Medan. Orang yang serius datang mencari “Dhamma” yang langka ada beberapa kasus, orang tertentu yang berlatih meditasi tanpa guru dan mendapat gangguan psiko-fisik : kundalininya teraktifkan, cakra tertentu terlalu aktif, gangguan dari luar (makhluk halus);mereka datang ke Bhante Jin dan mendapat bantuan yang praktis atau nasehat yang sederhana tetapi jitu langsung ke akar persoalan. Terkadang Bhante Jn suka memberi petunjuk secara tidak langsung meskipun yang bersangkutan tidak mengutarakan permasalahannya. Bagi yang waspada dan tahu maksudnya, beruntung. Bagi yang belum tahu cara komunikasi khusus ini, biasanya “bengong” alias tidak tahu ujung dan pangkal. Bhante Jin juga sering memberi teguran dan peringatan kepada muridnya maupun umat dengan gaya bahasa “Marah Anak Sindir Menantu”. Maksunya, menegur si A tetapi tujuannya adalah memarahi/memperingatkan si B atas kesalahan dan kekeliruannya. Efeknya, si A bisa-bisa kebingungan dan berpikir, “Apa yang terjadi … ya ?” Namun si B pastilah ‘merasa’, seperti bunyi pepatah, “siapa makan cabai pasti merasakan pedasnya.”

Sokongan Bhante di Bidang Pendidikan Agama Buddha

Bhante Jinadhammo juga punya perhatian yang besar untuk kemajuan sarana pendidikan Buddhis di tanah air. Ketika Institut Ilmu Agama Buddha “Smaratungga” berdiri di Ampel Boyolali Jawa Tengah, Bhante Jin menyumbangkan beberapa unit perangkat komputer untuk fasilitas mahasiswa dan institut. Juga buku-buku ensiklopedi dan buku pintar lainnya.

Ketika Institut Ilmu Agama Buddha “Smaratungga’ Cabang Medan didirikan, Bhante Jin menjadi penasehat yayasan sekaligus dosen. Dan sejak 1993 hinggal 1996, Bhante Jin mengasuh mata kuliah Vinaya Pitaka.

Mahasiswa Bhante Jin di IIAB Smaratungga Medan pada mulanya agak bingung menerima mata kuliah Vinaya yang diasuh Bhante. Sebab gaya ceramah Bhante Jin memiliki Style tersendiri. Mahasiswa harus ekstra knosentrasi, jika tidak bisa-bisa tidak menangkap alur komunikasi Bhante. Bahkan terkadang suara Bhante Jin menjadi sangat perlahan. Hampir tidak terdengar artikulasi kalimat yang diucapkan.

Untungnya ada mahasiswa yang punya kiat tersendiri, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terarah. Ini mendapat jawaban Bhante yang lebihjelas dan wawasan Bhante menjadi tersalur keluar. Terutama bila membahas “kasus-kasus” yang berkaitan dengan Vinaya.

Mengikuti perkuliahan Bhante Jin, mahasiswa merasa rileks. Bhante Jin biasanya suka bicara humor. Suasana jadi menyegarkan.

Ada ungkapan Bhante Jin yang selalu diingat mahasiswa. “Jangan memakai kaca pembesar dalam mempelajari vinaya.” Maknanya, memandanglah secara proposional terhadap Vinaya, baik dari segi teoritis maupun praktisnya ; dan haru sberlandaskan pada “Jalan Tengah” ajaran Buddha Gautama.

Di Ampel maupun Medan, Bhante Jin mempunyai beberapa anak asuh di IIAB Smaratungga. Setelah mempunyai pekerjaan, anak asuh tersebut dilepaskan agar belajar mandiri, bekerja sambil kuliah.

Di Vihara Borobudur Medan sejak awal 1990-an telah pula memiliki Kitab Suci Tripitaka sebanyak 2 set. Satu set berbahasa Pali, satu set lagi berbahasa Inggris. Kitab Suci Tripitaka ini dipesan Bhante Jin dair Muangthai. Sekarang sudah diperbanyak oleh beberapa pihak di Medan. Keberadaan Kitab Suci Tripitaka ini telah pula merangsang berdirinya penerbit BuddhisPundarika. Dan berguna pula bagi bahan perkuliahan serta penulisan skripsi mahasiswa.

IIAB Smaratungga Medan telah menerbitkan 2 Kitab Suci Sutta pitaka, yaitu Ittivutaka dan Udana. Kedua kitab yang diterjemahkan tersebut elah pula menjadi bahan perkuliahan mahasiswa. Kitab-kitab lain sedang dalam proses enerjemahan saat ini.
Selain untuk pendidikan Buddhis kalangan sendiri, Bhante Jnadhammo Maha Thera juga sering didatangi oleh para mahasiswa dari IAIN (Institut Agama islam Negeri) Medan. Mahasiswa-mahasiswa itu biasanya dari jurusan Ushuluddin (Perbandingan agama) yang mendapat tugas membuat makalah atau skripsi yang berhubungan dengan agama Buddha. Demikian juga dari mahasiswa Sekolah tinggi Teologi Kristen.

Bhante selalu memberikan jawaban-jawaban yang lugas, danmudah dipahami. Untuk referensi yang diperlukan, biasanya Bhante merekomendasikan mahasiswa tersebut ke IIAB Smaratungga Medan dan Bimas Buddha Departemen Agama Tingkat I Sumut.

Related Post :

0 comments: