Bakcang.. Bakcang.. Bakcang Sapi Bakcang Ayam... Weleh, tangan saya nyaris kejepit gunting rumput gara-gara teriakan penjual bakcang yang kencang melengking. Suaranya makin keras karena hari ini bertepatan dengan Peh Cun alias pesta bakcang!
Itulah kemajuan teknologi, tukang bacang keliling tidak lagi mengandalkan suara tetapi sudah pakai rekaman dan pengeras suara layaknya tukang roti. Yang pasti suaranya bisa bikin orang terkaget-kaget. Tentu saja yang dijual adalah bakcang versi halal, berisi daging sapi dan ayam cincang. Ada yang terbuat dari beras dan ada juga yang dari beras ketan. Bentuknya limas, berbungkus daun bambu dan sekarang nyaris menjadi bagian dari jenis jajanan tradisional.
Ngomong soal bakcang, saya jadi ingat waktu masih gadis kecil, saya pernah ditraining nenek saya yang gemar memasak untuk membungkus bakcang. Melihat mbok Rah dan mbok Nah, dua pembatu nenek begitu gesit membungkus bakcang, saya tak mau kalah. Tapi saat praktek, ternyata tidak mudah.
Bolak-balik bentuk bakcang saya jadi agak panjang, benjol atau miring. Wah, nenek saya jadi makin semangat mengajari saya. Sebaliknya saya makin frustrasi karena beras ketan berceceran dan bolak-balik ganti daun bambu. Setelah beberapa jam akhirnya saya berhasil membungkus bakcang meskipun belum terlalu rapi.
Sengaja saya beri tanda talinya supaya kalau matang mudah dikenali (Padahal dari bentuknya saja sudah ketahuan bakcang saya paling tak beraturan ikatannya). Dengan puas saya nikmati bakcang bungkusan saya yang berisi ayam plus telur ayam. Rasanya tentu saja uenaak.. karena saya jejali banyak adonan ayam!
Menurut kalender Cina, perayaan Peh Cun dilakukan tiap tanggal 5, tahun 5 bulan Imlek yang tahun ini jatuh pada tanggal 28 Mei. Perayaan Peh Cun sendiri berkaitan dengan Dragon Boat Festival yang dirayakan di berbagai tempat di dunia termasuk beberapa daerah di Indonesia. Sedangkan kata Peh Cun sendiri berasal dari dialek Hokkian 'pachuan' yang artinya mendayung perahu.
Tradisi ini bermula 2300 tahun silam saat penyair Qu Yan pada masa kekaisaran Chu. Karena mengalami tuduhan yang tidak benar dan mengabdi pada pemerintah yang korup Qu Yan yang sangat populer saat itu memutuskan untuk menceburkan diri ke sungai Mei Lo untuk mengakhiri hidupnya. Beramai-ramailah orang mendayung perahu ke sungai sambil melempar ‘Tsung Tse’ atau ‘Ma Chang’ yang berupa nasi berbentuk limas berisi daging agar ikan-ikan kekenyangan dan tubuh Qu Yan tidak dimakan ikan.
Peristiwa itu kini tiap tahun dikenang dan diperingati dengan Festival Perahu Naga yang meriah dan indah di seluruh dunia. Sedangkan bakcang yang berbentuk limas atau memiliki 4 sudut itu melambangkan prinsip Qu Yan, kesetiaan dan kepercayaan. Karena itu perayaan peh cun dianggap penting sebagai perayaan 'mawas diri', penghormatan terhadap kesetiaan dan kepercayaan.
Soal bakcang sendiri yang disebut Ma Chang atau Zongsi punya banyak versi bentuk dan isi. Ada yang berukuran besar berisi potongan daging dengan kuning telur asin dan jamur hioko. Karena dibumbui kecap dan bawang serta dimasak dalam waktu lama maka bakcang tampil padat, gurih, mirip lontong dengan isi yang manis.
Tentu saja bakcang jadi sajian one dish meal yang komplet dan mengenyangkan. Ada juga bakcang versi manis yang disebut ‘kue cang’, bungkusnya lebih kecil, dibuat dari beras ketan dan diberi gula, jadi rasanya manis, bisa dimakan dengan sirop gula putih atau merah.
Bakcang dibungkus daun bambu dan diikat dengan tali dari pelepah pisang kering. Sekarang bakcang diikat dengan tali raffia. Isinya juga sangat beragam, termasuk memakai isian yang halal (daging ayam dan daging sapi). Soal apakah enak yang terbuat dari beras ketan atau beras putih, tergantung selera. Saya sendiri bukan penggemar bakcang dan tidak ikut merayakan Peh Cun tetapi peringatan tradisi ini masih cocok dengan kondisi saat ini.
Sambil menggigit bakcang pemberian tetangga, saya pun merenungkan betapa pembelaan terhadap kesetiaan dan kepercayaan sangat perlu ditegakkan. Pasti banyak Qu Yan lain di zaman yang penuh korupsi ini, sikap Qu Yan bisa menjadi inspirasi. Apalagi tak usah menunggu Peh Cun, tiap hari kita bisa makan bakcang. Bakcang.. bakcang.. !
Itulah kemajuan teknologi, tukang bacang keliling tidak lagi mengandalkan suara tetapi sudah pakai rekaman dan pengeras suara layaknya tukang roti. Yang pasti suaranya bisa bikin orang terkaget-kaget. Tentu saja yang dijual adalah bakcang versi halal, berisi daging sapi dan ayam cincang. Ada yang terbuat dari beras dan ada juga yang dari beras ketan. Bentuknya limas, berbungkus daun bambu dan sekarang nyaris menjadi bagian dari jenis jajanan tradisional.
Ngomong soal bakcang, saya jadi ingat waktu masih gadis kecil, saya pernah ditraining nenek saya yang gemar memasak untuk membungkus bakcang. Melihat mbok Rah dan mbok Nah, dua pembatu nenek begitu gesit membungkus bakcang, saya tak mau kalah. Tapi saat praktek, ternyata tidak mudah.
Bolak-balik bentuk bakcang saya jadi agak panjang, benjol atau miring. Wah, nenek saya jadi makin semangat mengajari saya. Sebaliknya saya makin frustrasi karena beras ketan berceceran dan bolak-balik ganti daun bambu. Setelah beberapa jam akhirnya saya berhasil membungkus bakcang meskipun belum terlalu rapi.
Sengaja saya beri tanda talinya supaya kalau matang mudah dikenali (Padahal dari bentuknya saja sudah ketahuan bakcang saya paling tak beraturan ikatannya). Dengan puas saya nikmati bakcang bungkusan saya yang berisi ayam plus telur ayam. Rasanya tentu saja uenaak.. karena saya jejali banyak adonan ayam!
Menurut kalender Cina, perayaan Peh Cun dilakukan tiap tanggal 5, tahun 5 bulan Imlek yang tahun ini jatuh pada tanggal 28 Mei. Perayaan Peh Cun sendiri berkaitan dengan Dragon Boat Festival yang dirayakan di berbagai tempat di dunia termasuk beberapa daerah di Indonesia. Sedangkan kata Peh Cun sendiri berasal dari dialek Hokkian 'pachuan' yang artinya mendayung perahu.
Tradisi ini bermula 2300 tahun silam saat penyair Qu Yan pada masa kekaisaran Chu. Karena mengalami tuduhan yang tidak benar dan mengabdi pada pemerintah yang korup Qu Yan yang sangat populer saat itu memutuskan untuk menceburkan diri ke sungai Mei Lo untuk mengakhiri hidupnya. Beramai-ramailah orang mendayung perahu ke sungai sambil melempar ‘Tsung Tse’ atau ‘Ma Chang’ yang berupa nasi berbentuk limas berisi daging agar ikan-ikan kekenyangan dan tubuh Qu Yan tidak dimakan ikan.
Peristiwa itu kini tiap tahun dikenang dan diperingati dengan Festival Perahu Naga yang meriah dan indah di seluruh dunia. Sedangkan bakcang yang berbentuk limas atau memiliki 4 sudut itu melambangkan prinsip Qu Yan, kesetiaan dan kepercayaan. Karena itu perayaan peh cun dianggap penting sebagai perayaan 'mawas diri', penghormatan terhadap kesetiaan dan kepercayaan.
Soal bakcang sendiri yang disebut Ma Chang atau Zongsi punya banyak versi bentuk dan isi. Ada yang berukuran besar berisi potongan daging dengan kuning telur asin dan jamur hioko. Karena dibumbui kecap dan bawang serta dimasak dalam waktu lama maka bakcang tampil padat, gurih, mirip lontong dengan isi yang manis.
Tentu saja bakcang jadi sajian one dish meal yang komplet dan mengenyangkan. Ada juga bakcang versi manis yang disebut ‘kue cang’, bungkusnya lebih kecil, dibuat dari beras ketan dan diberi gula, jadi rasanya manis, bisa dimakan dengan sirop gula putih atau merah.
Bakcang dibungkus daun bambu dan diikat dengan tali dari pelepah pisang kering. Sekarang bakcang diikat dengan tali raffia. Isinya juga sangat beragam, termasuk memakai isian yang halal (daging ayam dan daging sapi). Soal apakah enak yang terbuat dari beras ketan atau beras putih, tergantung selera. Saya sendiri bukan penggemar bakcang dan tidak ikut merayakan Peh Cun tetapi peringatan tradisi ini masih cocok dengan kondisi saat ini.
Sambil menggigit bakcang pemberian tetangga, saya pun merenungkan betapa pembelaan terhadap kesetiaan dan kepercayaan sangat perlu ditegakkan. Pasti banyak Qu Yan lain di zaman yang penuh korupsi ini, sikap Qu Yan bisa menjadi inspirasi. Apalagi tak usah menunggu Peh Cun, tiap hari kita bisa makan bakcang. Bakcang.. bakcang.. !
0 comments:
Post a Comment