Delapan simbol keberuntungan adalah simbol-simbol yang sering kita jumpai pada vihara-vihara maupun pada waktu pelaksanaan ibadah agama Buddha. Apakah semua dari kita sudah mengetahui arti dari simbol-simbol tersebut? Berikut adalah penjelasan untuk masing-masng dari 8 simbol keberuntungan tersebut.
THE PARASOL
Ini payung terbuka, satu sampai tiga (susun) payung kehormatan, cukup besar untuk paling tidak 4 sampai 5 orang berdiri dibawahnya. Kain Sutra berwarna kuning, putih (sesuai dengan kondisinya), atau berwarna warni direntangkan pada jari-jari kayu. Dilengkapi dengan renda dari sutra lebar dan terlipat. Setiap tambahan payung ditunjukan oleh lipatan bidang-bidang kain sutra, yang dijahit pada pinggiran yang lebih rendah dari payung dengan merata diatasnya. Pita sutra 8 tunggal atau berwarna warni dengan pinggiran tergantung dari sisi atas dari renda teratas turun dengan tepat ke sisi bawah dari yang terendah. Atasnya terdapat hiasan puncak dengan aneka bentuk dan ukuran. Bahan pokoknya juga dari kayu yang kadang-kadang meluncur, tapi biasanya di cat merah.
Arti payung sebagai simbol tidaklah terlalu misterius. Kemampuannya untuk melindungi seseorang melawan cuaca buruk adalah selalu, di semua kultur, menjadi simbol status. Kenyataannya, walaupun di Eropa hingga beberapa dasawarsa lalu, penutup/pelindung dari sinar matahari merupakan simbol status untuk masyarakat wanita. Beberapa ribu tahun lalu di negara seperti India, siapa saja yang memiliki obyek mewah pasti seseorang yang kaya. Dan jika, dalam tambahan, ia mempunyai pembantu yang membawakan payungnya, tentu saja tingkatan dan hartanya nyata-nyata ada. Kemudian, perkembangan arti payung sebagai simbol kekuasaan atau tingkat kemegahan mudah diketahui. Juga, kenyataan bahwa payung melindungi yang membawa dari panas matahari dipindahkan dalam lingkungan religius sebagai pelindung melawan panas dari perbuatan-perbuatan jahat (nyon-mongs, skt. Klesa):
Sudah ada payung di India lebih dari 3 tingkat. Contohnya, kita belajar dari biografi Atisha bahwa beliau berhak atas payung susun 13 kehormatan. Dalam seni Tibet, ini direpresentasikan dalam gambar-gambar dan gulungan-gulungan lukisan (thang-ga) sebagai tumpukan diatas yang lainnya.
Tibetan mengambil alih payung dari seni Indian. Orang religius terkemuka berhak untuk payung sutra, dan penguasa duniawi dengan payung disulam dengan bulu merak. Jika beberapa kepribadian dalam kehidupan publik, seperti Dalai Lama, berhak keduanya, pertama payung bulu merak di bawa dibelakang beliau dalam urutan pawai, dan kemudian payung sutra, masing-masing dengan 3 renda. Tapi banyaknya renda tidak dipakai simbol lebih dari 1 payung; itu hanya masalah perasaan pribadi. Di Tibet, tidak pernah ada banyak payung ditumpuk satu dengan yang lain seperti yang ada di India. Pertimbangan sederhana membuatnya tetap seperti biasa, bentuk portabel.
Diantara ke 8 simbol, payung sebagai simbol kekuatan spiritual dalam hal positif, sama dengan simbol-simbol lainnya (misal, 7 permata dari kekuasaan Raja), Arti simbol ini dipindahkan dari tingkat duniawi ke tingkat spiritual.
THE GOLDEN FISHES
Istilah Sansekerta matsyayugma berarti ‘sepasang ikan’. Berasal dari sebuah simbol pra-Buddhis kuno tentang kedua sungai utama di India, Gangga (Ganga) dan Yamuna. Secara simbolis kedua sungai ini menggambarkan saluran bulan dan matahari, yang berasal dari lubang hidung dan membawa irama nafas atau prana. Dalam Buddhisme, ikan mas melambangkan kebahagiaan, sebab ikan-ikan tersebut memiliki kebebasan sempurna di dalam air. Ikan-ikan tersebut melambangkan kesuburan dan kekayaan (berlimpah-ruah) sebab ikan-ikan tersebut berkembang biak dengan cepat. Ikan-ikan sering berenang berpasangan, dan di negeri China ikan mas melambangkan kesatuan dan kesetiaan hubungan perkawinan, dimana sepasang ikan sering dijadikan hadiah pernikahan. Ikan begitu banyak di China dan menjadi bagian penting kebutuhan pokok, kata dalam bahasa China yu berarti ‘ikan’ dan juga berarti ‘kekayaan yang melimpah ruah’ – yang bersinonim dengan kesejahteraan materi.
Dua ikan mas sering digambar dalam bentuk ikan gurami, yang secara umum dianggap sebagai hal yang sakral di Asia Timur berdasarkan cerita tentang keanggunan, ukuran dan masa hidup. Di danau sakral, seperti Tsho Pema sebelah barat laut India yang dipercaya sebagai tempat lahirnya Padmasambhava, gurami mas yang besar dengan tidak sabar menerima makanan dari tangan para peziarah. Sepasang ikan membentuk sebuah simbol umum yang menguntungkan dalam tradisi Hindu, Jain dan Buddhis. Dalam seni Buddhis, sepasang ikan mas sering dilukiskan saling menyentuh hidung.
THE TREASURE VASE
Jambangan adalah bejana berperut-gendut dengan leher yang pendek dan ramping. Bukaan bagian atas berbentuk semacam bibir yang agak lebar dan terbalik dengan hiasan. Bagian bawah berbentuk bundar sebagai dasar/pondasi berdirinya bejana, yang juga dihias. Di bagian puncak, pada bagian yang terbuka, ada sebuah permata besar yang menunjukkan bahwa jambangan tersebut merupakan jambangan harta benda.
Berkaitan dengan pengertian umum jambangan dan bejana sejenis lainnya, bisa dikatakan cara pemujaan mereka kembali ke jaman keagamaan dahulu kala. Arti simbolis mereka kemungkinan besar selalu berhubungan dengan pemikiran sebagai tempat penyimpanan dan kepuasan kebutuhan materi. Dalam saga dan dongeng dari berbagai kebudayaan, sebagai contohnya, kita ketahui cerita tentang bejana yang tak bisa habis isinya. Pada tingkat spiritual, jambangan sering dihubungkan dengan kepemilikan kemampuan luar biasa. Dalam Buddhisme Tibetan, ada berbagai macam bentuk jambangan untuk berbagai tujuan, khususnya upacara tantra.
Bentuk khusus jambangan harta benda (jika) dilihat di antara Delapan Simbol merupakan sebuah tanda pemenuhan keinginan spiritual dan materi, dan juga merupakan sifat dewa-dewa tertentu yang berhubungan dengan kekayaan, seperti Kangwa Sangpo (Gang-ba-bzang-po), salah satu rekan Vaisravana.
THE LOTUS
Lotus tidak tumbuh di Tibet, jadi seni Tibetan hanya membuat versi darinya. Perbedaannya dapat dengan mudah dilihat dengan membandingkannya dengan yang India dan Jepang. Lotus Tibet, seperti yang kita ketahui dari hiasan lukisan dan patung-patung, menunjukkan banyak variasinya. Dalam 8 simbol-simbol, bentuk dasarnya adalah memakai bunga warna putih dengan sedikit kemerah-merahan, dengan atau tanpa sebuah batang.
Lotus adalah salah satu dari simbol yang dikenal. Lotus dianggap simbol dari kesucian, walaupun lotus memiliki akar di dalam Lumpur dalam sebuah kolam dan danau, ia memunculkan kecantikan dari bunganya tanpa noda keatas permukaan air.
Itu benar bahwa ada beberapa tanaman air yang tumbuh indah diatas air, tapi hanya lotus, yang memiliki kekuatan dari batangnya, biasanya muncul 8 atau 12 inci diatas permukaan. Dengan grup 8 simbol juga, lotus melambangkan kesucian, terutama kesucian mental.
THE RIGHT-TURNING CONCH SHELL
Siput tersebut putih, agak besar, spiral dan oval pada ujung bawahnya bentuk putaran kekanan searah jarum jam adalah sangat jarang dari pada bentuk putaran ke kiri, oleh karena itu sangat berharga seperti objek alami (natural), tidak dibuat dengan tangan manusia, ini merupakan salah satu dari objek ritual yang tertua. Ini sering disebut sebagai kulit kerang laut dan kadang-kadang sebagai siput kerang untuk istilah tibet “Dung” mencakup pengertian keduanya.
Dalam Buddhist Tibet, ia mempunyai nilai khusus, suaranya penuh kekuatan. Kerang atau Siput keduanya digunakan untuk memanggil iring-iringan dan selama ritual digunakan sebagai musik, atau sebagai wadah untuk menampung air berwarna kuning (saffron). Mereka digunakan juga untuk ornamen-ornamen dekorasi singasana, stupa, patung dan sebagainya.
Diantara ke-8 simbol, ia berdiri untuk kemasyuran dari ajaran Sang Buddha, dimana tersebar ke segala penjuru seperti suara terompet siput tersebut. Jadi ia memiliki arti religius yang murni.
HE GLORIOUS (ENDLESS) KNOT
SIMPUL TAK BERUJUNG ADALAH suatu hiasan grafis TERTUTUP, yang terdiri atas tali-tali bersudut kanan yang saling menjalin. Hiasan ini sering dihubungkan dengan lambang Hindu srivatsa. Dalam format yang paling awalnya, hiasan ini nampaknya adalah suatu naga symboP6 dengan dua ular yang dibentuk bergaya. Kemudian, sebuah simbol grafis berkembang dari bentuk tersebut diuraikan sebagai perwakilan suatu lengkungan/keritingan rambut, atau sekuntum kembang dengan empat atau delapan kelopak.
Sebagaimana simpul Tibet tak berujung ini diasumsikan berkembang dari simbol tersebut bukanlah hal yang pasti juga. Saya bisa lebih mudah membayangkan suatu kaitan dengan simbol nandyavarta, suatu format varian swastika, yang paling tidak dalam pembuatannya mengandung beberapa kemiripan dengan simpul tak berujung. Berkaitan dengan peranannya dalam Buddhisme Tibet, tidak ada kenang-kenangan yang masih hidup dari arti-arti sebelumnya yang mungkin, dan tidak ada acuan tulisannya. Bagi orang Tibet, simpul tak berujung adalah simbol klasik untuk tendrel, suatu cara dimana ada kenyataan.
Jalinan tali-tali tersebut mengingatkan kita tentang bagaimana semua gejala/fenomena berkaitan dan bergantung pada kondisi-kondisi dan sebab-sebab. Secara keseluruhan terdiri atas dari suatu pola yang tertutup tanpa celah, yang sekaligus menyatakan gerakan dan ketenangan, semuanya dalam bentuk representasi tentang kesederhanaan yang tinggi dan keselarasan yang seimbang sepenuhnya.
Itulah sebabnya bisa dimengerti bahwa simpul tak berujung adalah salah satu dari simbol favorit dalam budaya Tibet. Yang digunakan tidak hanya dalam hubungannya dengan Delapan Simbol, tapi juga sering digunakan tanpa berkaitan dengan hal lain (sendiri). Mengingatkan pada gambaran tendrel, dan pada waktu yang bersamaan merupakan ungkapan tendrel yang paling sederhana, paling jelas, dan paling ringkas. Oleh sebab itu dipahami sebagai hal yang paling menguntungkan dalam derajat tertinggi. Cara operasi/penggunaan lambang ini selalu dialami pada banyak tingkatan. Oleh karena semua gejala saling berhubungan, penempatan simpul tak berujung pada suatu hadiah atau pada suatu kartu ucapan dianggap untuk membangun suatu hubungan menguntungkan antara pemberi dan penerima. Pada saat bersamaan, penerima dianggap berhubungan dengan keadaan baik di masa datang, yang diingatkan bahwa efek positif di masa depan itu mempunyai akar penyebab di masa sekarang.
Karena simpul ini tidak berawal dan berakhir, simpul ini juga menandakan pengetahuan Buddha yang tanpa batas.
THE VICTORY SIGN
KONSEP “Lambang kemenangan,” “panji,” dan “bendera” berhubungan dengan berbagai objek dalam budaya Tibet yang terdiri dari berbagai macam hubungan satu sama lain baik dalam kaitannya dengan bentuk atau nama. Dalam Tabel I (hal. 29), saya telah mendaftar berbagai macam penandaan dalam bentuk survei, dan agar lengkap, termasuk juga payung tersebut. Dalam konteks ini, saya mempekerjakan orang yang menggunakan ilmu bahasa Tibet tingkat normal untuk ini, kalau tidak dinyatakan. Lambang kemenangan (rgyal-mtshan) adalah lambang yang dimiliki Eight Symbols. Sama seperti payung, lambang tersebut dibuat dari kain dan kayu, atau imitasi dari bahan logam. Sekilas pada Tabel I menunjukkan bahwa lambang kemenangan tidak diuraikan di manapun di dalam Literatur Tibet klasik.
Pada titik ini, saya bermaksud menyebutkan sebuah bentuk khusus lambang ini yang saya percayai berkembang di Tibet dari berbagai jenis payung yang diuraikan di atas. Terdiri dari suatu silinder kecil kain dengan jumlah paling sedikitnya tiga baris, tetapi biasanya lebih, dengan lipatan renda kelambu sutera dengan jumlah angka ganjil. Kain diregangkan di atas sebuah bingkai kayu, dan dimahkotai dengan suatu hiasan seperti pada ujung pegangan pedang yang sering dihiasi dengan empat pita sutera. Obyek ini, sering ada dalam tiruan bahan metal, yang ditemukan di dalam dan di sekitar kuil atau biara, dan dikenal sebagai “lambang kemenangan.” Salah satu tanda kemenangan ini, yang digantung di langit-langit sebagai hiasan, persis di tengah aula pertemuan utama dari suatu biara, disebut oleh para biarawan sebagai “payung pusat kuning” (dkyil gdugs-set po). Penandaan ini, dan fakta bahwa obyek seperti itu tidak diuraikan di bagian manapun dalam teks tersebut, membuat saya menyimpulkan bahwa bentuk tersebut mungkin suatu format bertepi-banyak payung kehormatan.
Dengan cara ini, kita bisa menjelaskan bagaimana obyek ini berkembang sebagai format payung yang khusus. Tetapi bagaimana penandaan “lambang kemenangan,” yang diadopsi dari literatur klasik, diterapkan hanya untuk obyek tertentu ini saja tidak bisa lagi diputuskan. Ini merupakan suatu fakta, bahwa bersamaan dengan nama, maksud/arti simbolis juga disampaikan kepada obyek, yaitu “lambang kemenangan terhadap semua perselisihan paham, ketidakharmonisan, atau rintangan” (mi-mthun phyogs-Ls rgyalbai val-rntshan). Dengan demikian, seperti halnya kebanyakan kasus, maksud/arti simbolis tersebut berpindah dari tingkat duniawi ke tingkatan religius.
Oleh sebab itu bagi orang Tibet, lambang kemenangan menandakan terutama pada kemenangan ajaran Buddhisme, kemenangan pengetahuan kebijaksanaan atas ketidak-tahuan atau kemenangan atas semua rintangan, pencapaian kebahagiaan. Pada saat yang sama, lambang tersebut menyertakan harapan untuk membawa keabadian, kekekalan kebahagiaan duniawi yang “cepat berlalu” dan tentang kebahagiaan tertinggi dalam pengertian tendrel.
Lambang ini juga terlihat terlepas dari Eight Symbols, sebagai contoh, untuk perhiasan atap kuil. Atap rumah pribadi di mana ada suatu satuan teks resmi lengkap, Kangyur (bKa=gyur), juga diijinkan untuk dihiasi. Lambang kemenangan dapat berfungsi sebagai perhiasan yang menggantung di dalam kuil, sebagai ornamen baik untuk tiang bendera doa yang panjang (dar-chen) dan tiang bendera untuk bendera nasional Tibet, dan sebagai suatu atribut dewa tertentu, seperti Vaisravana, penjaga kekayaan.
THE WHEEL
Roda, seperti simbol grafik lainnya di antara delapan simbol lainnya, terdiri dari pusat, peleg dan umumnya 8 jari-jari, kadang-kadang lebih. Lingkarannya seperti bentuk yang mendasarinya adalah simbol universal yang ditemukan dalam semua kebudayaan. Pada masa pra-Buddha India, roda utamanya mempunyai dua arti, yang pertama sebagai senjata, dan yang kedua sebagai simbol untuk matahari, atau sesuatu berasal dari ini, yaitu untuk waktu atau untuk berbagai macam gerakan melingkar (siklus). Jumlah jari-jari bermacam-macam tergantung pada tradisi, bisa 6, 8, 12, 32, atau seribu. Ini sering disamakan dengan titik-titik arah dari kompas atau dengan gerakan sentrifugal, ketika peleg dilambangkan sebagai elemen yang terbatas. Pusat diinterpretasikan sebagai poros dunia. Roda digunakan sebagai emblem atau artibut deiti-deiti Hindia.
Simbol senjata dari roda masuk Buddhism dalam bentuk roda pelindung sebagai bagian dari visualisasi meditasi dari ritual-ritual tantrik tertentu. Roda pelindung ini digambarkan tanpa peleg. Ini menunjukkan keuntungannya yang dihasilkan secara sederhana dari gerakan senjata yang diayunkan dalam gerakan melingkar.
Bagaimanapun juga, yang paling penting, bentuk yang paling dikenali, dan bentuk yang termasuk dalam kedelapan simbol, adalah roda Dharma yang diperagakan Buddha dalam gerakan pada ceramah pertamanya. Menurut Buddhism, ada bermacam-macam penjelasan pada tiap bentuknya. Salah satu penjelasannya adalah membuat orientasi pada tiga latihan dari praktek Buddhist: pusat berarti latihan pada disiplin moral, yang melaluinya batin di dukung dan distabilkan; jari-jari berarti penerapan kebijaksanaan dalam kaitannya dengan kesunyataan, yang mana ketidaktahuan dipotong (disini, tanda dari aspek senjata lagi); pelegnya mempunyai arti latihan dalam konsentrasi, yang memegang praktek tersebut bersama-sama.
Diantara kedelapan simbol keberuntungan, roda juga mempunyai arti religius murni sebagai simbol ajaran Buddha. Ini mengingatkan kita bahwa Dharma adalah mencakup semua dan lengkap didalamnya. Tidak ada awal dan akhir, dan sekaligus dalam gerakan (berputar) dan diam. Jadi, Buddhist melihatnya sebagai pernyataan kelengkapan dan kesempurnaan dari ajaran, dan keinginan agar ajarannya tersebar lebih luas.
Sumber :
1. The Encyclopedia of Tibetan Symbol and Motifs by Robert Beer.
2. Buddhist Symbols in Tibetan Culture
(Arti dari masing-masing lambang tersebut di atas diterjemahkan oleh Yayasan Suvarnadipa Surabaya)
THE PARASOL
Ini payung terbuka, satu sampai tiga (susun) payung kehormatan, cukup besar untuk paling tidak 4 sampai 5 orang berdiri dibawahnya. Kain Sutra berwarna kuning, putih (sesuai dengan kondisinya), atau berwarna warni direntangkan pada jari-jari kayu. Dilengkapi dengan renda dari sutra lebar dan terlipat. Setiap tambahan payung ditunjukan oleh lipatan bidang-bidang kain sutra, yang dijahit pada pinggiran yang lebih rendah dari payung dengan merata diatasnya. Pita sutra 8 tunggal atau berwarna warni dengan pinggiran tergantung dari sisi atas dari renda teratas turun dengan tepat ke sisi bawah dari yang terendah. Atasnya terdapat hiasan puncak dengan aneka bentuk dan ukuran. Bahan pokoknya juga dari kayu yang kadang-kadang meluncur, tapi biasanya di cat merah.
Arti payung sebagai simbol tidaklah terlalu misterius. Kemampuannya untuk melindungi seseorang melawan cuaca buruk adalah selalu, di semua kultur, menjadi simbol status. Kenyataannya, walaupun di Eropa hingga beberapa dasawarsa lalu, penutup/pelindung dari sinar matahari merupakan simbol status untuk masyarakat wanita. Beberapa ribu tahun lalu di negara seperti India, siapa saja yang memiliki obyek mewah pasti seseorang yang kaya. Dan jika, dalam tambahan, ia mempunyai pembantu yang membawakan payungnya, tentu saja tingkatan dan hartanya nyata-nyata ada. Kemudian, perkembangan arti payung sebagai simbol kekuasaan atau tingkat kemegahan mudah diketahui. Juga, kenyataan bahwa payung melindungi yang membawa dari panas matahari dipindahkan dalam lingkungan religius sebagai pelindung melawan panas dari perbuatan-perbuatan jahat (nyon-mongs, skt. Klesa):
Sudah ada payung di India lebih dari 3 tingkat. Contohnya, kita belajar dari biografi Atisha bahwa beliau berhak atas payung susun 13 kehormatan. Dalam seni Tibet, ini direpresentasikan dalam gambar-gambar dan gulungan-gulungan lukisan (thang-ga) sebagai tumpukan diatas yang lainnya.
Tibetan mengambil alih payung dari seni Indian. Orang religius terkemuka berhak untuk payung sutra, dan penguasa duniawi dengan payung disulam dengan bulu merak. Jika beberapa kepribadian dalam kehidupan publik, seperti Dalai Lama, berhak keduanya, pertama payung bulu merak di bawa dibelakang beliau dalam urutan pawai, dan kemudian payung sutra, masing-masing dengan 3 renda. Tapi banyaknya renda tidak dipakai simbol lebih dari 1 payung; itu hanya masalah perasaan pribadi. Di Tibet, tidak pernah ada banyak payung ditumpuk satu dengan yang lain seperti yang ada di India. Pertimbangan sederhana membuatnya tetap seperti biasa, bentuk portabel.
Diantara ke 8 simbol, payung sebagai simbol kekuatan spiritual dalam hal positif, sama dengan simbol-simbol lainnya (misal, 7 permata dari kekuasaan Raja), Arti simbol ini dipindahkan dari tingkat duniawi ke tingkat spiritual.
THE GOLDEN FISHES
Istilah Sansekerta matsyayugma berarti ‘sepasang ikan’. Berasal dari sebuah simbol pra-Buddhis kuno tentang kedua sungai utama di India, Gangga (Ganga) dan Yamuna. Secara simbolis kedua sungai ini menggambarkan saluran bulan dan matahari, yang berasal dari lubang hidung dan membawa irama nafas atau prana. Dalam Buddhisme, ikan mas melambangkan kebahagiaan, sebab ikan-ikan tersebut memiliki kebebasan sempurna di dalam air. Ikan-ikan tersebut melambangkan kesuburan dan kekayaan (berlimpah-ruah) sebab ikan-ikan tersebut berkembang biak dengan cepat. Ikan-ikan sering berenang berpasangan, dan di negeri China ikan mas melambangkan kesatuan dan kesetiaan hubungan perkawinan, dimana sepasang ikan sering dijadikan hadiah pernikahan. Ikan begitu banyak di China dan menjadi bagian penting kebutuhan pokok, kata dalam bahasa China yu berarti ‘ikan’ dan juga berarti ‘kekayaan yang melimpah ruah’ – yang bersinonim dengan kesejahteraan materi.
Dua ikan mas sering digambar dalam bentuk ikan gurami, yang secara umum dianggap sebagai hal yang sakral di Asia Timur berdasarkan cerita tentang keanggunan, ukuran dan masa hidup. Di danau sakral, seperti Tsho Pema sebelah barat laut India yang dipercaya sebagai tempat lahirnya Padmasambhava, gurami mas yang besar dengan tidak sabar menerima makanan dari tangan para peziarah. Sepasang ikan membentuk sebuah simbol umum yang menguntungkan dalam tradisi Hindu, Jain dan Buddhis. Dalam seni Buddhis, sepasang ikan mas sering dilukiskan saling menyentuh hidung.
THE TREASURE VASE
Jambangan adalah bejana berperut-gendut dengan leher yang pendek dan ramping. Bukaan bagian atas berbentuk semacam bibir yang agak lebar dan terbalik dengan hiasan. Bagian bawah berbentuk bundar sebagai dasar/pondasi berdirinya bejana, yang juga dihias. Di bagian puncak, pada bagian yang terbuka, ada sebuah permata besar yang menunjukkan bahwa jambangan tersebut merupakan jambangan harta benda.
Berkaitan dengan pengertian umum jambangan dan bejana sejenis lainnya, bisa dikatakan cara pemujaan mereka kembali ke jaman keagamaan dahulu kala. Arti simbolis mereka kemungkinan besar selalu berhubungan dengan pemikiran sebagai tempat penyimpanan dan kepuasan kebutuhan materi. Dalam saga dan dongeng dari berbagai kebudayaan, sebagai contohnya, kita ketahui cerita tentang bejana yang tak bisa habis isinya. Pada tingkat spiritual, jambangan sering dihubungkan dengan kepemilikan kemampuan luar biasa. Dalam Buddhisme Tibetan, ada berbagai macam bentuk jambangan untuk berbagai tujuan, khususnya upacara tantra.
Bentuk khusus jambangan harta benda (jika) dilihat di antara Delapan Simbol merupakan sebuah tanda pemenuhan keinginan spiritual dan materi, dan juga merupakan sifat dewa-dewa tertentu yang berhubungan dengan kekayaan, seperti Kangwa Sangpo (Gang-ba-bzang-po), salah satu rekan Vaisravana.
THE LOTUS
Lotus tidak tumbuh di Tibet, jadi seni Tibetan hanya membuat versi darinya. Perbedaannya dapat dengan mudah dilihat dengan membandingkannya dengan yang India dan Jepang. Lotus Tibet, seperti yang kita ketahui dari hiasan lukisan dan patung-patung, menunjukkan banyak variasinya. Dalam 8 simbol-simbol, bentuk dasarnya adalah memakai bunga warna putih dengan sedikit kemerah-merahan, dengan atau tanpa sebuah batang.
Lotus adalah salah satu dari simbol yang dikenal. Lotus dianggap simbol dari kesucian, walaupun lotus memiliki akar di dalam Lumpur dalam sebuah kolam dan danau, ia memunculkan kecantikan dari bunganya tanpa noda keatas permukaan air.
Itu benar bahwa ada beberapa tanaman air yang tumbuh indah diatas air, tapi hanya lotus, yang memiliki kekuatan dari batangnya, biasanya muncul 8 atau 12 inci diatas permukaan. Dengan grup 8 simbol juga, lotus melambangkan kesucian, terutama kesucian mental.
THE RIGHT-TURNING CONCH SHELL
Siput tersebut putih, agak besar, spiral dan oval pada ujung bawahnya bentuk putaran kekanan searah jarum jam adalah sangat jarang dari pada bentuk putaran ke kiri, oleh karena itu sangat berharga seperti objek alami (natural), tidak dibuat dengan tangan manusia, ini merupakan salah satu dari objek ritual yang tertua. Ini sering disebut sebagai kulit kerang laut dan kadang-kadang sebagai siput kerang untuk istilah tibet “Dung” mencakup pengertian keduanya.
Dalam Buddhist Tibet, ia mempunyai nilai khusus, suaranya penuh kekuatan. Kerang atau Siput keduanya digunakan untuk memanggil iring-iringan dan selama ritual digunakan sebagai musik, atau sebagai wadah untuk menampung air berwarna kuning (saffron). Mereka digunakan juga untuk ornamen-ornamen dekorasi singasana, stupa, patung dan sebagainya.
Diantara ke-8 simbol, ia berdiri untuk kemasyuran dari ajaran Sang Buddha, dimana tersebar ke segala penjuru seperti suara terompet siput tersebut. Jadi ia memiliki arti religius yang murni.
HE GLORIOUS (ENDLESS) KNOT
SIMPUL TAK BERUJUNG ADALAH suatu hiasan grafis TERTUTUP, yang terdiri atas tali-tali bersudut kanan yang saling menjalin. Hiasan ini sering dihubungkan dengan lambang Hindu srivatsa. Dalam format yang paling awalnya, hiasan ini nampaknya adalah suatu naga symboP6 dengan dua ular yang dibentuk bergaya. Kemudian, sebuah simbol grafis berkembang dari bentuk tersebut diuraikan sebagai perwakilan suatu lengkungan/keritingan rambut, atau sekuntum kembang dengan empat atau delapan kelopak.
Sebagaimana simpul Tibet tak berujung ini diasumsikan berkembang dari simbol tersebut bukanlah hal yang pasti juga. Saya bisa lebih mudah membayangkan suatu kaitan dengan simbol nandyavarta, suatu format varian swastika, yang paling tidak dalam pembuatannya mengandung beberapa kemiripan dengan simpul tak berujung. Berkaitan dengan peranannya dalam Buddhisme Tibet, tidak ada kenang-kenangan yang masih hidup dari arti-arti sebelumnya yang mungkin, dan tidak ada acuan tulisannya. Bagi orang Tibet, simpul tak berujung adalah simbol klasik untuk tendrel, suatu cara dimana ada kenyataan.
Jalinan tali-tali tersebut mengingatkan kita tentang bagaimana semua gejala/fenomena berkaitan dan bergantung pada kondisi-kondisi dan sebab-sebab. Secara keseluruhan terdiri atas dari suatu pola yang tertutup tanpa celah, yang sekaligus menyatakan gerakan dan ketenangan, semuanya dalam bentuk representasi tentang kesederhanaan yang tinggi dan keselarasan yang seimbang sepenuhnya.
Itulah sebabnya bisa dimengerti bahwa simpul tak berujung adalah salah satu dari simbol favorit dalam budaya Tibet. Yang digunakan tidak hanya dalam hubungannya dengan Delapan Simbol, tapi juga sering digunakan tanpa berkaitan dengan hal lain (sendiri). Mengingatkan pada gambaran tendrel, dan pada waktu yang bersamaan merupakan ungkapan tendrel yang paling sederhana, paling jelas, dan paling ringkas. Oleh sebab itu dipahami sebagai hal yang paling menguntungkan dalam derajat tertinggi. Cara operasi/penggunaan lambang ini selalu dialami pada banyak tingkatan. Oleh karena semua gejala saling berhubungan, penempatan simpul tak berujung pada suatu hadiah atau pada suatu kartu ucapan dianggap untuk membangun suatu hubungan menguntungkan antara pemberi dan penerima. Pada saat bersamaan, penerima dianggap berhubungan dengan keadaan baik di masa datang, yang diingatkan bahwa efek positif di masa depan itu mempunyai akar penyebab di masa sekarang.
Karena simpul ini tidak berawal dan berakhir, simpul ini juga menandakan pengetahuan Buddha yang tanpa batas.
THE VICTORY SIGN
KONSEP “Lambang kemenangan,” “panji,” dan “bendera” berhubungan dengan berbagai objek dalam budaya Tibet yang terdiri dari berbagai macam hubungan satu sama lain baik dalam kaitannya dengan bentuk atau nama. Dalam Tabel I (hal. 29), saya telah mendaftar berbagai macam penandaan dalam bentuk survei, dan agar lengkap, termasuk juga payung tersebut. Dalam konteks ini, saya mempekerjakan orang yang menggunakan ilmu bahasa Tibet tingkat normal untuk ini, kalau tidak dinyatakan. Lambang kemenangan (rgyal-mtshan) adalah lambang yang dimiliki Eight Symbols. Sama seperti payung, lambang tersebut dibuat dari kain dan kayu, atau imitasi dari bahan logam. Sekilas pada Tabel I menunjukkan bahwa lambang kemenangan tidak diuraikan di manapun di dalam Literatur Tibet klasik.
Pada titik ini, saya bermaksud menyebutkan sebuah bentuk khusus lambang ini yang saya percayai berkembang di Tibet dari berbagai jenis payung yang diuraikan di atas. Terdiri dari suatu silinder kecil kain dengan jumlah paling sedikitnya tiga baris, tetapi biasanya lebih, dengan lipatan renda kelambu sutera dengan jumlah angka ganjil. Kain diregangkan di atas sebuah bingkai kayu, dan dimahkotai dengan suatu hiasan seperti pada ujung pegangan pedang yang sering dihiasi dengan empat pita sutera. Obyek ini, sering ada dalam tiruan bahan metal, yang ditemukan di dalam dan di sekitar kuil atau biara, dan dikenal sebagai “lambang kemenangan.” Salah satu tanda kemenangan ini, yang digantung di langit-langit sebagai hiasan, persis di tengah aula pertemuan utama dari suatu biara, disebut oleh para biarawan sebagai “payung pusat kuning” (dkyil gdugs-set po). Penandaan ini, dan fakta bahwa obyek seperti itu tidak diuraikan di bagian manapun dalam teks tersebut, membuat saya menyimpulkan bahwa bentuk tersebut mungkin suatu format bertepi-banyak payung kehormatan.
Dengan cara ini, kita bisa menjelaskan bagaimana obyek ini berkembang sebagai format payung yang khusus. Tetapi bagaimana penandaan “lambang kemenangan,” yang diadopsi dari literatur klasik, diterapkan hanya untuk obyek tertentu ini saja tidak bisa lagi diputuskan. Ini merupakan suatu fakta, bahwa bersamaan dengan nama, maksud/arti simbolis juga disampaikan kepada obyek, yaitu “lambang kemenangan terhadap semua perselisihan paham, ketidakharmonisan, atau rintangan” (mi-mthun phyogs-Ls rgyalbai val-rntshan). Dengan demikian, seperti halnya kebanyakan kasus, maksud/arti simbolis tersebut berpindah dari tingkat duniawi ke tingkatan religius.
Oleh sebab itu bagi orang Tibet, lambang kemenangan menandakan terutama pada kemenangan ajaran Buddhisme, kemenangan pengetahuan kebijaksanaan atas ketidak-tahuan atau kemenangan atas semua rintangan, pencapaian kebahagiaan. Pada saat yang sama, lambang tersebut menyertakan harapan untuk membawa keabadian, kekekalan kebahagiaan duniawi yang “cepat berlalu” dan tentang kebahagiaan tertinggi dalam pengertian tendrel.
Lambang ini juga terlihat terlepas dari Eight Symbols, sebagai contoh, untuk perhiasan atap kuil. Atap rumah pribadi di mana ada suatu satuan teks resmi lengkap, Kangyur (bKa=gyur), juga diijinkan untuk dihiasi. Lambang kemenangan dapat berfungsi sebagai perhiasan yang menggantung di dalam kuil, sebagai ornamen baik untuk tiang bendera doa yang panjang (dar-chen) dan tiang bendera untuk bendera nasional Tibet, dan sebagai suatu atribut dewa tertentu, seperti Vaisravana, penjaga kekayaan.
THE WHEEL
Roda, seperti simbol grafik lainnya di antara delapan simbol lainnya, terdiri dari pusat, peleg dan umumnya 8 jari-jari, kadang-kadang lebih. Lingkarannya seperti bentuk yang mendasarinya adalah simbol universal yang ditemukan dalam semua kebudayaan. Pada masa pra-Buddha India, roda utamanya mempunyai dua arti, yang pertama sebagai senjata, dan yang kedua sebagai simbol untuk matahari, atau sesuatu berasal dari ini, yaitu untuk waktu atau untuk berbagai macam gerakan melingkar (siklus). Jumlah jari-jari bermacam-macam tergantung pada tradisi, bisa 6, 8, 12, 32, atau seribu. Ini sering disamakan dengan titik-titik arah dari kompas atau dengan gerakan sentrifugal, ketika peleg dilambangkan sebagai elemen yang terbatas. Pusat diinterpretasikan sebagai poros dunia. Roda digunakan sebagai emblem atau artibut deiti-deiti Hindia.
Simbol senjata dari roda masuk Buddhism dalam bentuk roda pelindung sebagai bagian dari visualisasi meditasi dari ritual-ritual tantrik tertentu. Roda pelindung ini digambarkan tanpa peleg. Ini menunjukkan keuntungannya yang dihasilkan secara sederhana dari gerakan senjata yang diayunkan dalam gerakan melingkar.
Bagaimanapun juga, yang paling penting, bentuk yang paling dikenali, dan bentuk yang termasuk dalam kedelapan simbol, adalah roda Dharma yang diperagakan Buddha dalam gerakan pada ceramah pertamanya. Menurut Buddhism, ada bermacam-macam penjelasan pada tiap bentuknya. Salah satu penjelasannya adalah membuat orientasi pada tiga latihan dari praktek Buddhist: pusat berarti latihan pada disiplin moral, yang melaluinya batin di dukung dan distabilkan; jari-jari berarti penerapan kebijaksanaan dalam kaitannya dengan kesunyataan, yang mana ketidaktahuan dipotong (disini, tanda dari aspek senjata lagi); pelegnya mempunyai arti latihan dalam konsentrasi, yang memegang praktek tersebut bersama-sama.
Diantara kedelapan simbol keberuntungan, roda juga mempunyai arti religius murni sebagai simbol ajaran Buddha. Ini mengingatkan kita bahwa Dharma adalah mencakup semua dan lengkap didalamnya. Tidak ada awal dan akhir, dan sekaligus dalam gerakan (berputar) dan diam. Jadi, Buddhist melihatnya sebagai pernyataan kelengkapan dan kesempurnaan dari ajaran, dan keinginan agar ajarannya tersebar lebih luas.
Sumber :
1. The Encyclopedia of Tibetan Symbol and Motifs by Robert Beer.
2. Buddhist Symbols in Tibetan Culture
(Arti dari masing-masing lambang tersebut di atas diterjemahkan oleh Yayasan Suvarnadipa Surabaya)
0 comments:
Post a Comment