DbClix
SentraClix

Friday, June 19, 2009

Bijak Menyikapi Rapor Anak

Rapor anak merekam naik turunya prestasi belajar anak di sekolah. Bagaimana menyikapinya dengan bijak ?

Tayangan film anak-anak Doraemon hari Minggu pagi sering kali menampilkan adegan Nobita – majikan si kucing ajaib Doraemon – dimarahi ibunya. Pasalnya nilai-nilainya di sekolah tidak pernah bagus. Ketika Pak Guru datang ke rumah membicarakan hal itu, si ibu makin marah pada Nobita. Anak laki-laki itu dihukum tak boleh main keluar rumah.


Seperti ibu Nobita, kebanyakan orang tua mengharapkan anaknya mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Karena nilai bagus identik dengan prestasi akademis. Itu sebabnya orang tua amat peduli dengan naik-turunnya nilai rapor si anak. Jika nilai-nilai angka atau huruf meningkat, rasa bahagia dan bangga menyeruak. Sebaliknya jika nilai jelek, rasa sedih bahkan malu pun menyelinap.

Tak cukup sampai di situ, perasaan pun lantas diekspresikan melalui tindakan. Kebahagiaan dan kebanggaan terhadap nilai-nilai rapor anak yang bagus biasanya diikuti pelukan sayang, pemberian pujian dan bermacam hadiah. Sedangkan rasa sedih dan malu kadang dilampiaskan lewat kemarahan dan hukuman. Masalahnya adalah, apakah cara-cara orangtua menyikapi rapor yang demikian itu bijak – dalam arti, efeknya positif terhadap peningkatan prestasi anak di sekolah ?

Menyikapi Prestasi Belajar.

Sebenarnya apa itu prestasi ? “Prestasi adalah implementasi potensi yang ada pada diri seseorang.” terang Indira Ch. Sunito, konselor dari Unit Lembaga Bimbingan Konseling Universitas Negeri Jakarta. Prestasi belajar anak di sekolah membuktikan bahwa ia punya potensi, dan hal itu terwujud dalam hasil belajarnya di sekolah. Jadi prestasi belajar merupakan perkembangan potensi yang sudah ada melalui latihan dan belajar.

Potensi sebenarnya sudah melekat pada tiap anak. Uniknya meski seorang anak memiliki bakat dan kemampuan, ternyata menjadikan anak berprestasi bagus di sekolah tak selalu mudah. mengapa bisa begitu ? Jawabannya adalah, karena anak merasa tidak akan mendapat manfaat apa pun dengan berprestasi bagus.

Padahal, menurut Indira, pretasi sesungguhnya diperuntukkan bagi anak. Bukan untuk orang tua, atau para guru. Hanya saja, orangtua (dan juga para guru) sering kurang tepat mengekspresikan hal ini. Misalnya dengan lebih sering mengatakan ”Kami akan bangga kalau kamu berprestasi bagus ketimbang Kamu akan bangga kalau berprestasi bagus.” Ekspresi seperti ini kadang membuat anak merasa bahwa dirinya harus berprestasi bagus di sekolah karena tuntutan orangtua.

Menyikapi Nilai Rapor.

Prestasi belajar yang baik, di dalam rapor, lazimnya ditunjukkan dengan angka-angka atau huruf yang memiliki skala nilai tertentu. Anda mungkin masih ingat, bahwa dalam skala nilai 1-10 di rapor, prestasi yang dihargai angka 10 berarti istimewa, 9 baik sekali, dan 8 baik. Sedangkan dalam huruf, prestasi baik dilambangkan dengan A dan B. Otomatis , prestasi yang diberi nilai 7 ke bawah, atau huruf C, D, E dan K (Kurang) adalah prestasi yang sedang sedang saja, cukup bahkan kurang atau buruk.

Dikaitkan dengan harapan untuk mempertahankan atau meningkatkan prestasi anak di sekolah, bagaimanakah sebaiknya orangtua menyikapi rapor anak ? Berikut ini kami sampaikan beberap kiat-kiatnya :

1. Hindari membanggakan secara berlebihan.
Bila nilai rapor anak Anda bagus, hindarilah dengan terlalu membanggakannya seperti, Ini lho,anak saya, Rapornya sepulh dan sembilan semua ! Tentu saja, ini tidak berarti membanggakan anak ditabukan, Membanggakan nilai rapor anak diperbolehkan sebatas untuk memotivasinya agar lebih berprestasi lagi, atau membuat anak sadar bahwa ia pun punya potensi dan disiplin diri.

2. Tekankan bahwa nilai rapor itu semata-mata untuk anak.
Baik atau buruk nilai rapor anakn, tekankanlah selalau bahwa prestasi itu untuknya. Jadi jelaskanlah pada anak bahwa bila nilainya bagus, dirinyalah yang akan mendapat manfaat (merasa bangga, percaya diri, kesempatan mendapat beasiswa, menjuarai kompetensi di sekolah, dsb). Sebaliknya jika nilainya buruk, dirinya juga yang dirugikan (merasa malu, tak percaya diri, dan tak dapat beasiswa, dsb)

3. Tunjukkan empati.
Jika sekali waktu nilai rapor anak tak bagus, tunjukkanlah empati dengan menghargai usaha yang telah ia lakukan. Penghargaan atas usaha – bukan semata hasil akan membantu meningkatkan harga diri anak sehingga ia tidak terlalu terpuruk akibat kegagalannya. Sementara itu, untuk memperbaiki prestasinya telusuri apa penyebab kemerosotan nilai rapor anak. Kalau perlu, mintalah bantuan para ahli.

4. Hindari membandingkan nilai rapor.
Orangtua tak perlu dan sangat tak disarankan untuk membandingkan standar pencapaian prestasi anak dengan anak lain, termasuk dengan saudaranya. Ada beberapa alasan, Pertama, setiap anak punya kadar kecerdasan berbeda. Kedua, pembandingan bisa membuat anak menyesal menjadi dirinya sendiri.
Prestasi itu bersifat relatif. Dan setiap orang punya kemampuan berbeda. Jadi, tak usah kaget jika nilai rapor anak Anda tak setinggi anak lain, padahal anak Anda telah melakukan usaha yang sama kerasnya. Inilah perbedaan individu. Walau belajar sama keras, prestasi maksimal tetap relatif.

5. Hindari pemaksaan untuk meningkatkan nilai rapor.
Pemaksaan terhadap anak agar berusaha memperbaiki nilai rapornya biasanya berwujud dorongan yang terlalu keras (selalu menyuruh anak belajar lebih banyak, lebih sering dan lebih lama) atau stimulasi berlebihan (mengikutkan anak pada berbagai les pelajaran, walaupun anak tak mampu mengikutinya)
Semua bentuk paksaan hanya kan membuat anak menjadi muak. Alaih-alaih membaik, nilai rapornya bisa jadi malah memburuk. Jika kemudian, orangtua semakin keras memaksa, kondisinya akan semakin buruk. Demikian seterusnya bak lingkaran setan.

6. Hindari hukuman bila nilai rapor buruk.
Kalaupun harus menghukum anak karena nilai rapornya buruk, berikanlah hukuman yang bersifat menyadarkan anak bahwa dia sebenarnya punya potensi. Jadi hukuman yang diberikan bukan hukuman yang dilakukan atas dasar pelampiasan rasa marah, malu dan kecewa, atau ekspresi kekuasaan orangtua atas anaknya. Hati-hatilah menghukum. Sebab , kadang nuansa negatif sebuah hukuman terasa oleh anak. Akibatnya, dampaknya pada anak pun negatif. Sama seperti paksaan, hukuman dan prestasi buruk bisa membentuk lingkaran setan.
Alat pendidikan itu ibarat sepotong garis yang terbagi dua. Garis di sebelah kiri adalah hukuman, dan garis di sebelah kanan adalah pujian. Artinya, menghukum anak-anak tidak ditabukan. Tapi itu adalah cara mendidik terakhir yang bisa ditempuh. Hukuman adalah alat pendidikan yang paling ujung. Selama masih ada teguran, sapaan, dan lain-lain, sebaiknya tak usah dipakai

7. Diskusikan nilai rapor dengan guru dan anak.
Begitu menerima rapor, berdiskusilah dengan guru mengenai nilai-nilai anak (itulah sebabnya Anda perlu mengambil sendiri rapor anak). Tanyakanlah bagaimana sebenarnya prestasi anak di sekolah, sehingga nilai-nilai itu sampai tertera di rapor.
Tanyakan semua istilah yang belum dipahami agar saat membaca rapor Anda tak membuat penafsiran yang melenceng dari yang ingin dilaporkan guru (diskusi soal nilai rapor bisa juga dilakukan dengan sesama orangtua, hanya saja jawaban yang diperoleh bisa jadi tak segamblang penjelasan guru).
Setelah berdiskusi dengan guru, berdiskusilah dengan anak nilai rapornya. Jika memang bagus, katakan bagus dan diskusikanlah mengenai hal-hal apa saja yang kemungkinan membuat nilai-nilanya jadi baik. Ini akan memberi kebanggaan pada anak dan penting untuk pembentukan konsep diri, Jika nilai rapor anak buruk, diskusikanlah hal-hal apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyikapi hasil belajarnya itu. Biarkan anak memutuskan apa yang harus ia lakukan setelah merefleksikan kekeliruan-keliruannya.

Sebuah rapr, bagaimanapun juga, belum mampu menggambarkan seluruh potensi anak. Bukankah masih banyak aspek kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang belum bisa diukur dalam angka tau huruf – dan oleh karenanya belum termuat dalam rapor ! Jadi memiliki rapor bagus itu baik untuk anak. Tapi bukan hal baik satu-satunya.

@Parents Guide Vol. 1 No. 9

Related Post :

0 comments: