Inses adalah hubungan seks di antara dua lawan jenis yang memiliki hubungan darah/keluarga sangat dekat, seperti kakek dengan cucunya atau ayah dengan anak kandung perempuan atau di antara kakak-beradik sekandung. Memang pada beberapa abad lalu di Mesir dibenarkan hubungan inses antara raja dan adik perempuannya, tetapi umumnya di berbagai budaya relasi seksual inses amat terlarang dan ditabukan.
Berbagai variasi inses masih sering mewarnai fantasi remaja, misalnya, membayangkan hubungan seks dengan ibu, ayah, atau saudara perempuan, tetapi hal tersebut hanya dibenarkan dalam fantasi seksual erotis yang dipicu perkembangan dorongan erotis dan seksual masa remaja. Dalam dunia nyata, inses tidak boleh dan sangat dilarang.
Bila kita telusuri, larangan inses sebenarnya sangat terkait dengan atribusi biologis yang menyatakan hubungan seksual antara pasangan sedarah akan membahayakan kondisi keturunan. Penelitian modern membuktikan, kematian, retardasi mental, dan cacat bawaan pada anak yang dilahirkan sebagai hasil hubungan inses sangat tinggi.
Bentuk umum yang sering terjadi adalah hubungan inses antara kakak laki-laki dan adik perempuan yang antara lain dipicu rendahnya kualitas tatanan moral dalam keluarga atau eksperimen seksual yang karena kebutuhan pemenuhan rasa ingin tahu tentang seks dan seksualitas di antara saudara sekandung berlawanan jenis, dalam kisaran usia remaja mula.
Kondisi sosial ekonomi yang rendah pun membuat keluarga mengalami keterbatasan kamar tidur sehingga memaksa mereka harus berbagi kamar dengan saudara sekandung berlawanan jenis. Kondisi tersebut akan membuka peluang terjadinya hubungan inses.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah bila terjadi pengalaman inses, konsekuensi traumatis justru akan lebih dialami remaja perempuan yang terlibat yang di kemudian hari berkembang menjadi rasa salah berkepanjangan pada diri mereka.
Mereka kemungkinan besar akan memiliki sikap negatif terhadap seksualitas yang pasti merugikan kesejahteraan mental mereka di kemudian hari. Andaikan akhirnya mereka bisa toleran terhadap perasaan bersalah, tetapi cepat atau lambat mereka akan mengetahui perilaku inses sangat dilarang oleh lingkungan masyarakat mereka. Pemahaman tersebut tentu saja akan memicu perkembangan perasaan rendah diri berkepanjangan pula. Apalagi bila kemudian mereka menyadari selaput daranya sudah tidak utuh oleh hubungan inses tersebut.
Kasus
Suami-istri K datang untuk berkonsultasi, Mereka menyatakan keheranannya akan anak gadisnya (N) yang sudah berusia 23 tahun, belum juga punya pacar. Setiap ada laki-laki berminat, serentak dia tolak, bahkan terkadang dengan cara terkesan kasar. Mereka berharap mendapat menantu yang mapan secara ekonomi karena menurut kedua orangtuanya N cukup rupawan dan banyak laki-laki mapan menunjukkan niat serius untuk menikahi N.
Ketika N akhirnya memenuhi panggilan saya sebagai psikolog, ternyata memang benar N perempuan rupawan. N juga satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara. N rupanya sudah tahu kedua orangtuanya berkonsultasi tentang masalah perjodohannya. Jadi, saat memenuhi panggilan, N langsung menangis tersedu-sedu dan dengan tersendat ia bercerita.
Kakak laki-laki nomor dua amat menyayangi N. Mereka terpaut usia dua tahun. Dia selalu menjaga ke mana pun N pergi, dan hubungan mereka amat erat, bermain bersama, dan selalu membela N saat kedua saudara lainnya mengganggu.
Keterbatasan kondisi sosial ekonomi kedua orangtua memaksa mereka tinggal di rumah yang hanya memiliki dua kamar tidur sehingga keempat anak berbagi satu ruang tidur dengan dua tempat tidur cukup untuk tidur dua anak.
N dan kakak tersebut terpaksa tidur satu tempat tidur, sementara dua saudara kandung lainnya di tempat tidur yang lain. Hubungan inses terjadi saat N berusia 15 tahun dan terjadi berulang. Bahkan, bila kakak tidak melakukan karena punya kesibukan dengan teman-temannya, N merasa rindu. Hubungan berlanjut hingga mereka cukup dewasa. Walaupun si kakak sudah bekerja di luar kota, manakala si kakak pulang hubungan terulang tanpa setahu siapa pun di rumah. Yang masih menguntungkan dalam kondisi ini adalah tidak pernah terjadi konsepsi sebagai hasil inses.
Dalam hal ini N benar-benar merasa bersalah dan berdosa. Selain tidak bisa memenuhi harapan orangtua, N juga menyadari hubungan inses sangat terlarang. N juga tidak berani menjalin hubungan serius dengan kawan lawan jenis, apalagi untuk tujuan berumah tangga karena N merasa bukan gadis lagi.
N tidak berani berterus terang kepada kedua orangtuanya karena yakin akan membuat mereka terkejut sehingga dengan berat hati ia memohon maaf kepada orangtua dan meminta izin tidak menikah, memilih berkarier mandiri, tanpa berani mengungkap kejadian sebenarnya. Hal lain yang terpenting adalah N berniat kuat untuk menghentikan hubungan inses dengan si kakak.
Penulis: Sawitri Supardi Sadarjoen psikolog (kompas.com)
Berbagai variasi inses masih sering mewarnai fantasi remaja, misalnya, membayangkan hubungan seks dengan ibu, ayah, atau saudara perempuan, tetapi hal tersebut hanya dibenarkan dalam fantasi seksual erotis yang dipicu perkembangan dorongan erotis dan seksual masa remaja. Dalam dunia nyata, inses tidak boleh dan sangat dilarang.
Bila kita telusuri, larangan inses sebenarnya sangat terkait dengan atribusi biologis yang menyatakan hubungan seksual antara pasangan sedarah akan membahayakan kondisi keturunan. Penelitian modern membuktikan, kematian, retardasi mental, dan cacat bawaan pada anak yang dilahirkan sebagai hasil hubungan inses sangat tinggi.
Bentuk umum yang sering terjadi adalah hubungan inses antara kakak laki-laki dan adik perempuan yang antara lain dipicu rendahnya kualitas tatanan moral dalam keluarga atau eksperimen seksual yang karena kebutuhan pemenuhan rasa ingin tahu tentang seks dan seksualitas di antara saudara sekandung berlawanan jenis, dalam kisaran usia remaja mula.
Kondisi sosial ekonomi yang rendah pun membuat keluarga mengalami keterbatasan kamar tidur sehingga memaksa mereka harus berbagi kamar dengan saudara sekandung berlawanan jenis. Kondisi tersebut akan membuka peluang terjadinya hubungan inses.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah bila terjadi pengalaman inses, konsekuensi traumatis justru akan lebih dialami remaja perempuan yang terlibat yang di kemudian hari berkembang menjadi rasa salah berkepanjangan pada diri mereka.
Mereka kemungkinan besar akan memiliki sikap negatif terhadap seksualitas yang pasti merugikan kesejahteraan mental mereka di kemudian hari. Andaikan akhirnya mereka bisa toleran terhadap perasaan bersalah, tetapi cepat atau lambat mereka akan mengetahui perilaku inses sangat dilarang oleh lingkungan masyarakat mereka. Pemahaman tersebut tentu saja akan memicu perkembangan perasaan rendah diri berkepanjangan pula. Apalagi bila kemudian mereka menyadari selaput daranya sudah tidak utuh oleh hubungan inses tersebut.
Kasus
Suami-istri K datang untuk berkonsultasi, Mereka menyatakan keheranannya akan anak gadisnya (N) yang sudah berusia 23 tahun, belum juga punya pacar. Setiap ada laki-laki berminat, serentak dia tolak, bahkan terkadang dengan cara terkesan kasar. Mereka berharap mendapat menantu yang mapan secara ekonomi karena menurut kedua orangtuanya N cukup rupawan dan banyak laki-laki mapan menunjukkan niat serius untuk menikahi N.
Ketika N akhirnya memenuhi panggilan saya sebagai psikolog, ternyata memang benar N perempuan rupawan. N juga satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara. N rupanya sudah tahu kedua orangtuanya berkonsultasi tentang masalah perjodohannya. Jadi, saat memenuhi panggilan, N langsung menangis tersedu-sedu dan dengan tersendat ia bercerita.
Kakak laki-laki nomor dua amat menyayangi N. Mereka terpaut usia dua tahun. Dia selalu menjaga ke mana pun N pergi, dan hubungan mereka amat erat, bermain bersama, dan selalu membela N saat kedua saudara lainnya mengganggu.
Keterbatasan kondisi sosial ekonomi kedua orangtua memaksa mereka tinggal di rumah yang hanya memiliki dua kamar tidur sehingga keempat anak berbagi satu ruang tidur dengan dua tempat tidur cukup untuk tidur dua anak.
N dan kakak tersebut terpaksa tidur satu tempat tidur, sementara dua saudara kandung lainnya di tempat tidur yang lain. Hubungan inses terjadi saat N berusia 15 tahun dan terjadi berulang. Bahkan, bila kakak tidak melakukan karena punya kesibukan dengan teman-temannya, N merasa rindu. Hubungan berlanjut hingga mereka cukup dewasa. Walaupun si kakak sudah bekerja di luar kota, manakala si kakak pulang hubungan terulang tanpa setahu siapa pun di rumah. Yang masih menguntungkan dalam kondisi ini adalah tidak pernah terjadi konsepsi sebagai hasil inses.
Dalam hal ini N benar-benar merasa bersalah dan berdosa. Selain tidak bisa memenuhi harapan orangtua, N juga menyadari hubungan inses sangat terlarang. N juga tidak berani menjalin hubungan serius dengan kawan lawan jenis, apalagi untuk tujuan berumah tangga karena N merasa bukan gadis lagi.
N tidak berani berterus terang kepada kedua orangtuanya karena yakin akan membuat mereka terkejut sehingga dengan berat hati ia memohon maaf kepada orangtua dan meminta izin tidak menikah, memilih berkarier mandiri, tanpa berani mengungkap kejadian sebenarnya. Hal lain yang terpenting adalah N berniat kuat untuk menghentikan hubungan inses dengan si kakak.
Penulis: Sawitri Supardi Sadarjoen psikolog (kompas.com)
0 comments:
Post a Comment