DbClix
SentraClix

Thursday, June 25, 2009

Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya

Di vihara kami di Thailand, setiap minggu di suatu malam, bhikkhu-bhikkhu begadang melewatkan waktu tidur mereka untuk bermeditasi semalaman di ruang utama. Ini sudah menjadi tradisi bhikkhu hutan. Tidaklah terlalu berat, karena kami selalu bisa tidur di pagi harinya.
Suatu pagi, sesudah semalaman bermeditasi, ketika kami sudah siap kembali ke pondok masing-masing untuk tidur, kepala vihara memanggil seorang bhikkhu junior, orang Australia. Betapa kecewanya dia karena kepala vihara memberikan dia setumpukan besar jubah untuk dicuci, seraya menyuruhnya untuk melakukannya sekarang juga.
Sudah menjadi tradisi kami untuk membantu kepala vihara mencuci jubahnya dan juga melayaninya melakukan hal-hal kecil lainnya.
Ini merupakan pekerjaan mencuci yang banyak. Lagipula, seluruh cucian harus dikerjakan dengan cara tradisional ala bhikkhu hutan. Air harus ditimba dari sumur, membuat api besar dan memasaknya sampai mendidih. Potongan kayu dari pohon nangka harus dipotong menjadi kepingan-kepingan kecil dengan menggunakan kapak. Potongan kecil tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih tadi untuk mengeluarkan sarinya, yang berfungsi sebagai “deterjen”. Lalu setiap jubah diletakkan secara terpisah di dalam sebuah bak kayu yang panjang, kemudian air mendidih kecoklatan itu ditumpahkan ke dalamnya. Jubah-jubah itu kemudian dipukul-pukul dengan tangan sampai bersih. Bhikkhu itu kemudian harus mengeringkannya di bawah sinar matahari, membolak-baliknya secara teratur agar pewarna alaminya tidak luntur. Mencuci satu jubah saja sudah lama dan repot. Mencuci sebegitu banyak jubah membutuhkan waktu berjam-jam. Si bhikkhu muda Brisbane ini sudah lelah semalaman tidak tidur. Saya kasihan juga kepadanya.
Saya datang ke pelataran tempat mencuci itu untuk membantunya. Sesampai di sana, dia sedang memaki-maki, lebih condong ke tradisi Brisbane daripada tradisi Buddhis. Dia mengeluhkan betapa tidak adil dan kejamnya. “Tidak bisakah kepala vihara menunggu sampai besok? Tidakkah dia menyadari bahwa saya tidak tidur semalaman? Saya tidak menjadi bhikkhu untuk mencuci!” Kata-katanya tidak persis seperti itu, tapi itulah yang masih cukup sopan untuk ditulis di sini.
Saat itu terjadi, saya telah menjadi bhikkhu selama beberapa tahun. Saya mengerti yang dia alami dan tahu jalan keluar dari permasalahannya. Saya berkata kepadanya, “Berpikir jauh lebih berat daripada mengerjakannya.”
Dia menjadi terdiam dan memandang saya. Setelah beberapa lama berdiam diri, tanpa berkata apa-apa dia kembali bekerja dan saya kembali ke tempat untuk tidur. Belakangan di hari itu, dia datang menemui saya untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan saya mencuci jubah. Memang benar, dia menyadari, berpikir adalah bagian yang terberat. Ketika dia berhenti mengeluh dan hanya mengerjakan cuciannya, sama sekali tidak ada masalah.
Bagian terberat dari segala hal dalam hidup adalah memikirkannya.
sumber : Ajahn Brahm - Buku Cacing & Kotoran Kesayangannya

Related Post :

0 comments: