Ini adalah kisah tentang seorang biksu kecil yang sejati. Pada zaman dinasti Tang, di sebuah kuil hiduplah seorang biksu kecil. Sejak kecil ia sudah menjadi biksu di kuil itu. Setiap pagi, begitu bangun tidur biksu kecil ini harus segera mulai menimba air menyapu halaman.
Seusai pelajaran pagi, dia masih harus pergi ke kota yang terletak di bawah bukit belakang kuil untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari untuk kuil itu. Setelah membeli barang yang dibutuhkan, dan tanpa adanya waktu luang dia masih harus mengerjakan sejumlah pekerjaan. Kemudian ia masih membaca kitab suci hingga larut malam.
Demikianlah kegiatannya setiap hari, setiap pagi dan senja mendengar suara gendang dan lonceng pagi di kuil hingga 10 tahun berlalu sudah. Suatu ketika, akhirnya biksu kecil mendapat sedikit waktu luang. Kemudia ia segera berbincang-bincang bersama dengan biksu kecil lainnya. Akhirnya dia mendapati bahwa semua orang ternyata hidupnya begitu santai.
Hanya dia seorang yang selalu sibuk setiap hari. Tugas membaca dan pekerjaan dari kepala biara kepadanya selalu yang paling berat. Dia tidak habis mengerti lalu bertanya pada kepala biara. Mengapa semua orang hidupnya lebih santai daripada saya? Mengapa tidak ada orang yang menyuruh mereka membaca kitab suci atau bekerja? Sedangkan saya harus bekerja tiada henti? Kepala biara hanya menundukkan kepala komat kamit memberi tanda Buddha dan tersenyum tidak menjawab.
Pada siang hari, biksu kecil ini pergi ke kota yang terletak di bawah bukit belakang membeli sekantong beras. Dalam perjalanan pulang sambil memanggul beras tiba di pintu belakang kuil, dan tampak di sana kepala biara sedang menunggunya. Kepala biara membawanya ke pintu depan kuil. Kemudian kepala biara duduk istirahat memejamkan mata. Biksu kecil tidak mengerti maksud kepala biara, akhirnya dia berdiri menunggu di samping.
Biksu kecil terus menunggu dan menunggu. Mentari sudah hampir terbenam, tiba-tiba di depan jalan muncul beberapa bayangan biksu kecil. Beberapa biksu kecil ini termenung sesaat melihat kepala biara. Kepala biara membuka matanya dan bertanya pada mereka. Pagi-pagi saya meminta kalian pergi membeli garam. Jalan di depan ini begitu dekat dan rata. Kenapa kalian baru kembali sekarang? Biksu-biksu kecil ini saling berpandangan, kemudian menjawab, “Kepala biara, dalam perjalanan kami tertawa bercanda dan menikmati pemandangan, akhirnya sekarang baru sampai. Lagi pula selama 10 tahun ini memang begitu, kan!”
Lalu kepala biara bertanya pada biksu kecil yg berdiri di samping, “kamu ke kota yang terletak di bawah bukit belakang membeli beras, jalannya berliku-liku dan jauh, harus menapaki bukit dan lembah, bahkan harus membawa beras yang berat. Kenapa waktu kamu kembali lebih awal daripada mereka?
Biksu kecil menjawab, “setiap hari dalam perjalanan saya selalu ingin cepat pergi cepat kembali. Lagipula jalannya sangat hati-hati karena memanggul barang yang berat di atas pundak, dan lama kelamaan jalannya semakin mantap dan cepat. Selama 10 tahun ini saya sudah terbiasa, dalam hati hanya ada satu tujuan tiada lagi jalanan.”
Setelah mendengarnya kepala biara lalu berkata pada semua biksu kecil. “Jalanan sudah rata. Tetapi hati tidak terpusat pada tujuan. Hanya dengan berjalan di atas jalanan yang berliku, baru bisa menempa tekad seseorang.
Biksu kecil inilah akhirnya menjadi “xuan zhuang fa shi” (pendeta agung dalam Budhisme/Taoisme). Oleh karena tempaan sejak kecil sehingga dalam perjalanannya ke barat yang serba sulit dan bahaya untuk mengambil kitab suci itu, membuat hatinya bisa selalu bersinar menuntut cahaya Fa (Dharma). Jadi, jalan yang berliku dan sulit, bukanlah halangan untuk mencapai tujuan. Sebuah tekad, baru merupakan kunci sukses atau gagal.(erabaru.or.id)*
Seusai pelajaran pagi, dia masih harus pergi ke kota yang terletak di bawah bukit belakang kuil untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari untuk kuil itu. Setelah membeli barang yang dibutuhkan, dan tanpa adanya waktu luang dia masih harus mengerjakan sejumlah pekerjaan. Kemudian ia masih membaca kitab suci hingga larut malam.
Demikianlah kegiatannya setiap hari, setiap pagi dan senja mendengar suara gendang dan lonceng pagi di kuil hingga 10 tahun berlalu sudah. Suatu ketika, akhirnya biksu kecil mendapat sedikit waktu luang. Kemudia ia segera berbincang-bincang bersama dengan biksu kecil lainnya. Akhirnya dia mendapati bahwa semua orang ternyata hidupnya begitu santai.
Hanya dia seorang yang selalu sibuk setiap hari. Tugas membaca dan pekerjaan dari kepala biara kepadanya selalu yang paling berat. Dia tidak habis mengerti lalu bertanya pada kepala biara. Mengapa semua orang hidupnya lebih santai daripada saya? Mengapa tidak ada orang yang menyuruh mereka membaca kitab suci atau bekerja? Sedangkan saya harus bekerja tiada henti? Kepala biara hanya menundukkan kepala komat kamit memberi tanda Buddha dan tersenyum tidak menjawab.
Pada siang hari, biksu kecil ini pergi ke kota yang terletak di bawah bukit belakang membeli sekantong beras. Dalam perjalanan pulang sambil memanggul beras tiba di pintu belakang kuil, dan tampak di sana kepala biara sedang menunggunya. Kepala biara membawanya ke pintu depan kuil. Kemudian kepala biara duduk istirahat memejamkan mata. Biksu kecil tidak mengerti maksud kepala biara, akhirnya dia berdiri menunggu di samping.
Biksu kecil terus menunggu dan menunggu. Mentari sudah hampir terbenam, tiba-tiba di depan jalan muncul beberapa bayangan biksu kecil. Beberapa biksu kecil ini termenung sesaat melihat kepala biara. Kepala biara membuka matanya dan bertanya pada mereka. Pagi-pagi saya meminta kalian pergi membeli garam. Jalan di depan ini begitu dekat dan rata. Kenapa kalian baru kembali sekarang? Biksu-biksu kecil ini saling berpandangan, kemudian menjawab, “Kepala biara, dalam perjalanan kami tertawa bercanda dan menikmati pemandangan, akhirnya sekarang baru sampai. Lagi pula selama 10 tahun ini memang begitu, kan!”
Lalu kepala biara bertanya pada biksu kecil yg berdiri di samping, “kamu ke kota yang terletak di bawah bukit belakang membeli beras, jalannya berliku-liku dan jauh, harus menapaki bukit dan lembah, bahkan harus membawa beras yang berat. Kenapa waktu kamu kembali lebih awal daripada mereka?
Biksu kecil menjawab, “setiap hari dalam perjalanan saya selalu ingin cepat pergi cepat kembali. Lagipula jalannya sangat hati-hati karena memanggul barang yang berat di atas pundak, dan lama kelamaan jalannya semakin mantap dan cepat. Selama 10 tahun ini saya sudah terbiasa, dalam hati hanya ada satu tujuan tiada lagi jalanan.”
Setelah mendengarnya kepala biara lalu berkata pada semua biksu kecil. “Jalanan sudah rata. Tetapi hati tidak terpusat pada tujuan. Hanya dengan berjalan di atas jalanan yang berliku, baru bisa menempa tekad seseorang.
Biksu kecil inilah akhirnya menjadi “xuan zhuang fa shi” (pendeta agung dalam Budhisme/Taoisme). Oleh karena tempaan sejak kecil sehingga dalam perjalanannya ke barat yang serba sulit dan bahaya untuk mengambil kitab suci itu, membuat hatinya bisa selalu bersinar menuntut cahaya Fa (Dharma). Jadi, jalan yang berliku dan sulit, bukanlah halangan untuk mencapai tujuan. Sebuah tekad, baru merupakan kunci sukses atau gagal.(erabaru.or.id)*
0 comments:
Post a Comment