Di dalam keheningan, dua orang tua memakan nasi bubur yang dimasak dengan sayur dan beras kasar yang tidak bergizi, setetes demi setetes air mata jatuh ke dalam mangkuk nasinya.
Di sebuah desa kelompok Chunhua 4 Kecamatan Guixi, Kabupaten Dianjiang berdiam keluarga bermarga Yang. Sang suami bernama Yang Mingda, 63 tahun. Istrinya mengidap penyakit jantung bawaan dan menggantungkan kehidupan keluarganya dengan menjadi pemulung dan menjual sayuran serta menerima bantuan dari para dermawan sampai akhirnya berhasil menyekolahkan 4 orang anaknya di perguruan tinggi.
Di sebuah desa kelompok Chunhua 4 Kecamatan Guixi, Kabupaten Dianjiang berdiam keluarga bermarga Yang. Sang suami bernama Yang Mingda, 63 tahun. Istrinya mengidap penyakit jantung bawaan dan menggantungkan kehidupan keluarganya dengan menjadi pemulung dan menjual sayuran serta menerima bantuan dari para dermawan sampai akhirnya berhasil menyekolahkan 4 orang anaknya di perguruan tinggi.
Selama 10 tahun ini, para dermawan yang pernah membantu mereka, selalu dikenang oleh pasangan Yang. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk membalas budi baik, entah itu hanya dengan memberikan seikat sayuran atau menyumbangkan tenaganya.
Pak tua Yang mengatakan, "Sebagai seorang manusia harus tahu membalas budi, kecuali sudah mati..." Kini, pak tua yang telah berusia lanjut, mendidik semua anak-anaknya dengan prinsip tersebut.
Biayai 4 Mahasiswa
Menurut berita di Harian Malam Chongqing, pak tua Yang tadinya adalah warga Desa Gangjia, Kabupaten Dianjiang. 10 tahun lalu, rumah mereka roboh, karena tidak memiliki uang untuk memperbaiki rumah, mereka terpaksa pindah ke Kelompok 4 Chunhua, yang masih memiliki banyak lahan kosong.
Mereka menanam sayur untuk menghidupi 4 orang anaknya, ini adalah alasan utama pak tua Yang meninggalkan kampung halamannya.
"Waktu itu sudah disepakati, biaya sewa rumah adalah 100 Yuan (sekitar Rp 150 ribu) pertahun, tapi keluarga Huang yang mengasihani kami, akhirnya tidak bersedia menerimanya."
Pak tua Yang mengatakan, keluarga Huang adalah keluarga dermawan pertama yang mereka temui di rantau orang. Pak tua Yang menyewa sekitar 10 hektar lahan dari 4 keluarga di desa itu untuk bercocok tanam sayuran, dengan imbalan menyetorkan bahan pangan bagi keempat keluarga tersebut.
Pendapatan tahunan dari menjual sayuran tidak sampai 2.000 Yuan (sekitar Rp 3 juta), demi membiayai ke-4 anak mereka, kedua suami istri terpaksa harus bekerja sambilan sebagai pemulung untuk membiayai mereka.
Sudah tak terhitung berapa kali sang istri, Ren Shulan, yang mengidap penyakit jantung bawaan itu pingsan di atas tumpukan sampah. Setiap kali nyawanya berhasil diselamatkan, namun dengan terpaksa ia kembali membopong karung goninya dan melanjutkan pekerjaan mengais sampah.
Bagaimanapun mereka berusaha keras mencari pendapatan, tetap saja semua anak-anaknya masih kelaparan. Putri kembarnya menetap di asrama sekolah, setiap kali makan mereka hanya memesan 1 porsi sayuran, untuk dimakan berdua. Putra mereka yang sekolah di SMU setiap hari hanya makan 1 kali.
Prestasi keempat anaknya sangat baik, mereka sering berpikir untuk berhenti sekolah dan bekerja di luar, namun tidak diperbolehkan oleh pak tua Yang. "Saya sendiri tidak berpendidikan, sehingga mengakibatkan anak-anak harus menderita seperti ini," katanya.
2004 lalu, putra sulung yakni Yang Tianwei berhasil diterima di Institut Teknologi Maoming di Guangdong. Pada 2005, putra keduanya Yang Tianzheng berhasil diterima di Universitas Pertanian Huanan, dan sekarang sedang menyelesaikan gelar master. Pada 2007, kedua putri kembarnya diterima di Universitas Xinan dan Universitas Teknologi Chongqing.
Saat liburan, biasanya anak -anak tidak pulang ke rumah agar dapat menghemat biaya perjalanan, mereka lalu bekerja di kota untuk mengumpulkan uang guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Anak-anak keluarga Yang sangat cerdas, dan mengerti keadaan keluarganya. Pak tua Yang sangat senang karenanya, sehingga mampu memenuhi biaya sekolah dan biaya hidup yang mencapai 40.000 Yuan (Rp 60 juta) per tahunnya, mereka hanya bisa mati-matian memulung.
Idap Penyakit Akut, tak Lupa Balas Budi
Saat tahun baru Imlek ini, pak tua Yang divonis mengidap penyumbatan jantung koroner. Dokter menganjurkan dilakukan operasi untuk memasang alat bantu jantung, yang membutuhkan dana sekitar 80.000 Yuan (Rp 120 juta), disembunyikannya surat pemberitahuannya dan diam-diam pergi dari rumah sakit.
25 Mei lalu, ketika ia pulang dari memulung sambil memanggul karung goninya, seketika itu juga ia terjerembab di atas ranjang. Puluhan botol bekas air mineral di dalam karung goni itu pun berserakan di lantai.
Di pojok desa yang kosong dan tua itu, hanya menetap keluarga Yang saja. Lahan itu merupakan area industri yang akan direnovasi, awal Juni ini, semua penduduk harus meninggalkan lahan itu. Keluarga lain sudah pindah semua, hanya tersisa keluarga pak tua Yang yang tidak bisa ke mana-mana karena tidak punya tempat tinggal lain, bahkan rumah yang sudah reot itu pun bukan milik mereka, adalah milik seorang dermawan yang meminjamkannya pada mereka selama 10 tahun.
Hari itu menantu pemilik rumah, Yang Tianrong, tiba-tiba menerobos masuk ke rumah itu hendak meminta tolong pada pak tua Yang yang menguasai ilmu akupuntur, sambil berteriak, "Pak tua Yang, mertua saya kumat lagi, tolong..." Kata-katanya terhenti sampai di situ begitu melihat pak tua Yang terbaring tak berdaya di ranjang.
Pak tua Yang segera terduduk di ranjang, tanpa berkata sepatah pun, ia segera pergi ke rumah baru pemilik rumah yang berjarak 1 kilometer dari situ. Pulang dari rumah keluarga Huang, hari sudah malam. "Hanya penyakit lama, saya tusuk beberapa jarum sudah tidak ada masalah. Mereka memberi saya uang, saya tidak menerimanya."
Pak tua Yang berbaring kembali di ranjang sambil berkata pada istrinya, "Keluarga mereka telah banyak menolong kami, 10 tahun lamanya kami menempati rumah ini tanpa dipungut uang sewa, mana mungkin kami menerima uang dari mereka lagi. Saya takut tidak akan hidup lama lagi, begitu banyak dermawan yang telah membantu kami, tidak akan habis saya membalas budi baik mereka satu persatu...", kata pak tua Yang sambil memejamkan mata.
Di tengah kebisuan, air mata kedua orang tua menetes di atas mangkuk bubur nasi tak bergizi yang dimasak dengan sawi putih . Makanan seperti itu, mereka makan selama 2 bulan penuh.
Balas Budi Didikan Keluarga Yang
"Balas budi bukanlah beban." kata pak tua Yang, ada hal yang sudah seharusnya dilakukan, ada hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan.
Sayuran di kebun yang agak baik, tidak rela dimakan oleh pak tua Yang dan istrinya, lebih baik mereka jual untuk membiayai sekolah anak-anak, mereka hanya makan sisa sayuran yang diberikan orang lain kepada mereka.
"Meskipun kami ini miskin, namun harus miskin dengan memiliki akal budi, harus tahu balas budi." Begitulah pak tua Yang sering mendidik keempat anak-anaknya.
"Orang tua kami adalah orang tua yang paling mulia di atas dunia ini." Si sulung Yang Tianwei berkata, sewaktu masih kecil, ayah ibunya sering membawa keempat orang anak ke taman, duduk di sebuah bangku panjang, dan mengajarkan didikan itu pada mereka di alam terbuka, "Kalian harus ingat, jadilah orang yang berhati nurani, harus selalu mengingat kebaikan orang lain!"
"Teman-teman di asrama sangat baik pada saya, makanan apa saja yang enak, mereka selalu membaginya. Saya tidak mampu membalas kebaikan mereka, hanya dapat membantu mereka menimba air, memasak nasi," begitu kisah putra kedua, Yang Tianzheng, dengan demikian ia akan merasa lebih baik.
2006 lalu, putra sulung Yang Tianwei lulus dari perguruan tinggi dan bekerja di sebuah perusahaan di Guangdong. Baru saja beban keluarga itu agak longgar, tidak disangka perusahaan tersebut bangkrut dalam waktu 6 bulan, ia terpaksa harus kembali ke Chongqing, dan sampai sekarang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap. Hanya bisa bertahan saja menghidupi dirinya sendiri. Sebagai putra sulung, ia merasa sangat bersalah karena tidak dapat membantu kedua orang tuanya dalam menopang keuangan keluarga.
Pak tua Yang tidak berani mengatakan tentang penyakitnya pada anak-anaknya, karena khawatir akan mempengaruhi pendidikan mereka. "Setiap harinya, mungkin saja adalah hari terakhir dalam hidup saya."
Namun pak tua Yang sama sekali tidak sempat memikirkan hal ini, ia hanya ingin di masa hidupnya membangun suatu keluarga bagi anak dan istrinya, melunasi semua hutangnya yang berjumlah 60.000 Yuan (Rp 90 juta), dan berusaha sekuat tenaga membalas budi baik para dermawan yang pernah membantu mereka. (Epochtimes.co.id/whs)
Pak tua Yang mengatakan, "Sebagai seorang manusia harus tahu membalas budi, kecuali sudah mati..." Kini, pak tua yang telah berusia lanjut, mendidik semua anak-anaknya dengan prinsip tersebut.
Biayai 4 Mahasiswa
Menurut berita di Harian Malam Chongqing, pak tua Yang tadinya adalah warga Desa Gangjia, Kabupaten Dianjiang. 10 tahun lalu, rumah mereka roboh, karena tidak memiliki uang untuk memperbaiki rumah, mereka terpaksa pindah ke Kelompok 4 Chunhua, yang masih memiliki banyak lahan kosong.
Mereka menanam sayur untuk menghidupi 4 orang anaknya, ini adalah alasan utama pak tua Yang meninggalkan kampung halamannya.
"Waktu itu sudah disepakati, biaya sewa rumah adalah 100 Yuan (sekitar Rp 150 ribu) pertahun, tapi keluarga Huang yang mengasihani kami, akhirnya tidak bersedia menerimanya."
Pak tua Yang mengatakan, keluarga Huang adalah keluarga dermawan pertama yang mereka temui di rantau orang. Pak tua Yang menyewa sekitar 10 hektar lahan dari 4 keluarga di desa itu untuk bercocok tanam sayuran, dengan imbalan menyetorkan bahan pangan bagi keempat keluarga tersebut.
Pendapatan tahunan dari menjual sayuran tidak sampai 2.000 Yuan (sekitar Rp 3 juta), demi membiayai ke-4 anak mereka, kedua suami istri terpaksa harus bekerja sambilan sebagai pemulung untuk membiayai mereka.
Sudah tak terhitung berapa kali sang istri, Ren Shulan, yang mengidap penyakit jantung bawaan itu pingsan di atas tumpukan sampah. Setiap kali nyawanya berhasil diselamatkan, namun dengan terpaksa ia kembali membopong karung goninya dan melanjutkan pekerjaan mengais sampah.
Bagaimanapun mereka berusaha keras mencari pendapatan, tetap saja semua anak-anaknya masih kelaparan. Putri kembarnya menetap di asrama sekolah, setiap kali makan mereka hanya memesan 1 porsi sayuran, untuk dimakan berdua. Putra mereka yang sekolah di SMU setiap hari hanya makan 1 kali.
Prestasi keempat anaknya sangat baik, mereka sering berpikir untuk berhenti sekolah dan bekerja di luar, namun tidak diperbolehkan oleh pak tua Yang. "Saya sendiri tidak berpendidikan, sehingga mengakibatkan anak-anak harus menderita seperti ini," katanya.
2004 lalu, putra sulung yakni Yang Tianwei berhasil diterima di Institut Teknologi Maoming di Guangdong. Pada 2005, putra keduanya Yang Tianzheng berhasil diterima di Universitas Pertanian Huanan, dan sekarang sedang menyelesaikan gelar master. Pada 2007, kedua putri kembarnya diterima di Universitas Xinan dan Universitas Teknologi Chongqing.
Saat liburan, biasanya anak -anak tidak pulang ke rumah agar dapat menghemat biaya perjalanan, mereka lalu bekerja di kota untuk mengumpulkan uang guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Anak-anak keluarga Yang sangat cerdas, dan mengerti keadaan keluarganya. Pak tua Yang sangat senang karenanya, sehingga mampu memenuhi biaya sekolah dan biaya hidup yang mencapai 40.000 Yuan (Rp 60 juta) per tahunnya, mereka hanya bisa mati-matian memulung.
Idap Penyakit Akut, tak Lupa Balas Budi
Saat tahun baru Imlek ini, pak tua Yang divonis mengidap penyumbatan jantung koroner. Dokter menganjurkan dilakukan operasi untuk memasang alat bantu jantung, yang membutuhkan dana sekitar 80.000 Yuan (Rp 120 juta), disembunyikannya surat pemberitahuannya dan diam-diam pergi dari rumah sakit.
25 Mei lalu, ketika ia pulang dari memulung sambil memanggul karung goninya, seketika itu juga ia terjerembab di atas ranjang. Puluhan botol bekas air mineral di dalam karung goni itu pun berserakan di lantai.
Di pojok desa yang kosong dan tua itu, hanya menetap keluarga Yang saja. Lahan itu merupakan area industri yang akan direnovasi, awal Juni ini, semua penduduk harus meninggalkan lahan itu. Keluarga lain sudah pindah semua, hanya tersisa keluarga pak tua Yang yang tidak bisa ke mana-mana karena tidak punya tempat tinggal lain, bahkan rumah yang sudah reot itu pun bukan milik mereka, adalah milik seorang dermawan yang meminjamkannya pada mereka selama 10 tahun.
Hari itu menantu pemilik rumah, Yang Tianrong, tiba-tiba menerobos masuk ke rumah itu hendak meminta tolong pada pak tua Yang yang menguasai ilmu akupuntur, sambil berteriak, "Pak tua Yang, mertua saya kumat lagi, tolong..." Kata-katanya terhenti sampai di situ begitu melihat pak tua Yang terbaring tak berdaya di ranjang.
Pak tua Yang segera terduduk di ranjang, tanpa berkata sepatah pun, ia segera pergi ke rumah baru pemilik rumah yang berjarak 1 kilometer dari situ. Pulang dari rumah keluarga Huang, hari sudah malam. "Hanya penyakit lama, saya tusuk beberapa jarum sudah tidak ada masalah. Mereka memberi saya uang, saya tidak menerimanya."
Pak tua Yang berbaring kembali di ranjang sambil berkata pada istrinya, "Keluarga mereka telah banyak menolong kami, 10 tahun lamanya kami menempati rumah ini tanpa dipungut uang sewa, mana mungkin kami menerima uang dari mereka lagi. Saya takut tidak akan hidup lama lagi, begitu banyak dermawan yang telah membantu kami, tidak akan habis saya membalas budi baik mereka satu persatu...", kata pak tua Yang sambil memejamkan mata.
Di tengah kebisuan, air mata kedua orang tua menetes di atas mangkuk bubur nasi tak bergizi yang dimasak dengan sawi putih . Makanan seperti itu, mereka makan selama 2 bulan penuh.
Balas Budi Didikan Keluarga Yang
"Balas budi bukanlah beban." kata pak tua Yang, ada hal yang sudah seharusnya dilakukan, ada hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan.
Sayuran di kebun yang agak baik, tidak rela dimakan oleh pak tua Yang dan istrinya, lebih baik mereka jual untuk membiayai sekolah anak-anak, mereka hanya makan sisa sayuran yang diberikan orang lain kepada mereka.
"Meskipun kami ini miskin, namun harus miskin dengan memiliki akal budi, harus tahu balas budi." Begitulah pak tua Yang sering mendidik keempat anak-anaknya.
"Orang tua kami adalah orang tua yang paling mulia di atas dunia ini." Si sulung Yang Tianwei berkata, sewaktu masih kecil, ayah ibunya sering membawa keempat orang anak ke taman, duduk di sebuah bangku panjang, dan mengajarkan didikan itu pada mereka di alam terbuka, "Kalian harus ingat, jadilah orang yang berhati nurani, harus selalu mengingat kebaikan orang lain!"
"Teman-teman di asrama sangat baik pada saya, makanan apa saja yang enak, mereka selalu membaginya. Saya tidak mampu membalas kebaikan mereka, hanya dapat membantu mereka menimba air, memasak nasi," begitu kisah putra kedua, Yang Tianzheng, dengan demikian ia akan merasa lebih baik.
2006 lalu, putra sulung Yang Tianwei lulus dari perguruan tinggi dan bekerja di sebuah perusahaan di Guangdong. Baru saja beban keluarga itu agak longgar, tidak disangka perusahaan tersebut bangkrut dalam waktu 6 bulan, ia terpaksa harus kembali ke Chongqing, dan sampai sekarang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap. Hanya bisa bertahan saja menghidupi dirinya sendiri. Sebagai putra sulung, ia merasa sangat bersalah karena tidak dapat membantu kedua orang tuanya dalam menopang keuangan keluarga.
Pak tua Yang tidak berani mengatakan tentang penyakitnya pada anak-anaknya, karena khawatir akan mempengaruhi pendidikan mereka. "Setiap harinya, mungkin saja adalah hari terakhir dalam hidup saya."
Namun pak tua Yang sama sekali tidak sempat memikirkan hal ini, ia hanya ingin di masa hidupnya membangun suatu keluarga bagi anak dan istrinya, melunasi semua hutangnya yang berjumlah 60.000 Yuan (Rp 90 juta), dan berusaha sekuat tenaga membalas budi baik para dermawan yang pernah membantu mereka. (Epochtimes.co.id/whs)
0 comments:
Post a Comment