Penghormatan Terhadap Objek
Dalam setiap agama pasti terdapat objek-objek atau simbol-simbol yang ditujukan untuk penghormatan. Dalam Buddhisme terdapat tiga objek agama yang utama untuk tujuan tersebut, yaitu:
1. Saririka atau relik-relik jasmani Sang Buddha;
2. Uddesika atau simbol-simbol agama seperti rupang (patung, gambar) Sang Buddha dan cetiya atau pagoda;
3. Paribhogika atau barang-barang pribadi yang pernah digunakan oleh Buddha.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi semua umat Buddha di seluruh dunia untuk memberikan penghormatan kepada objek-objek di atas. Dan juga merupakan tradisi umat Buddha untuk membangun rupang Sang Buddha, cetiya atau pagoda pagoda serta menanam pohon Bodhi di setiap Vihara sebagai objek penghormatan keagamaan.
Banyak orang salah paham dan menggangap umat Buddha sebagai penyembah berhala. Kesalahpahaman ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang ajaran Buddha serta adat istiadat dan tradisi Buddhis.
Penyembahan berhala secara umum berarti mendirikan patung dewa-dewi di beberapa agama theistik dalam berbagai bentuk oleh pemeluknya untuk disembah, mencari berkah dan perlindungan serta untuk berkah kemewahan, kesehatan dan kekayaan para pemohon. Beberapa pemohon bahkan memohon kepada patung untuk memenuhi bermacam kekuasaan pribadi walaupun kekuasaan itu diperolehi dengan cara yang salah. Mereka juga berdoa agar dosa mereka diampuni.
Pemujaan terhadap rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebenarnya berbeda dengan aspek yang diterangkan diatas. Bahkan istilah "menyembah" ini sendiri tidak sesuai dengan sudut pandang Buddhis. "Memberi penghormatan" merupakan istilah yang lebih tepat. Umat Buddha tidak berdoa kepada patung atau berhala; apa yang mereka lakukan adalah memberi penghormatan kepada seorang guru agama yang agung yang layak diberi penghormatan. Rupang-rupang didirikan sebagai tanda penghormatan dan penghargaan untuk pencapaian tertinggi dari Pencerahan dan kesempurnaan yang dicapai oleh seorang guru agama yang luar biasa. Bagi seseorang Buddhis, rupang (gambar/patung) Sang Buddha hanya merupakan suatu tanda, simbol yang membantunya mengingat Sang Buddha.
Umat Buddha berlutut dan memberi hormat kepada rupang (gambar/patung) sebenarnya memberi hormat kepada apa yang di wakili dari rupang (gambar/patung) itu. Mereka mencari keinginan duniawi dari rupang (gambar/patung) tersebut. Mereka merenung dan bermeditasi untuk mendapatkan inspirasi dari kepribadian mulia Sang Buddha. Mereka berusaha menyamakan kesempurnaanNya dengan mengikuti ajaran-ajaran mulia Sang Buddha.
Umat Buddha menghormati kebajikan dan kesucian guru agamanya yang diwakili oleh rupang (gambar/patung) tersebut. Faktanya semua penganut agama menciptakan rupang (gambar/patung) yang mewakili guru agama mereka baik dalam bentuk visual atau dalam bentuk penggambaran secara pikiran untuk penghormatan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil untuk mengkritik dan menyatakan bahwa umat Buddha adalah penyembah berhala.
Tindakan memberi penghormatan kepada seorang yang mulia, Sang Buddha, bukanlah suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar rasa takut atau perbuatan untuk memohon kebahagiaan duniawi. Umat Buddha percaya bahwa perbuatan menghargai dan menghormati ciri-ciri suci yang dimiliki oleh guru agama mereka merupakan suatu perbuatan yang berpahala dan membawa berkah. Umat Buddha juga percaya bahwa mereka sendiri yang bertanggungjawab atas keselamatan diri mereka sendiri dan tidak harus bergantung kepada pihak ketiga. Meskipun demikian, ada pihak lain yang percaya bahwa mereka bisa mendapat keselamatan mereka melalui perantaran pihak ketiga dan mereka inilah yang mengkritik umat Buddha sebagai penyembah rupang (gambar/patung) seorang yang sudah tiada lagi di dunia. Fisik seseorang bisa mengalami disintegrasi dan terurai menjadi empat unsur tetapi kebajikannya akan kekal selamanya. Seorang Buddhis menghargai dan menghormati sifat-sifat mulia ini. Oleh itu, tuduhan terus mmenerus terhadap umat Buddha sanagt disayangkan, sama sekali salah serta tidak berdasar.
Ketika kita mempelajari ajaran Sang Buddha, kita dapat memahami Sang Bhagava telah mengatakan bahwa Sang Buddha hanyalah seorang guru yang telah menunjukkan jalan yang benar untuk keselamatan dan berpulang kembali kepada penganutnya untuk menjalani kehidupan beragama dan menyucikan pikiran mereka untuk mendapatkan keselamatan tanpa bergantung kepada guru agama mereka. Menurut Sang Buddha, tidak ada tuhan atau guru agama manapun yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga atau neraka. Manusia menciptakan surga dan nerakanya sendiri melalui pikiran, tindak-tanduk serta perkataan mereka sendiri.
Oleh karena itu, berdoa kepada pihak ketiga untuk keselamatan diri tanpa menyingkirkan pikiran jahat merupakan satu perbuatan yang sia-sia. Namun begitu, ada beberapa orang termasuk umat Buddha dalam melakukan sembahyang tradisonal di hadapan rupang (gambar/patung) akan mencurahkan masalah-masalah mereka, nasib malang yang dialami serta kesulitan yang dihadapi dan memohon pertolongan Sang Buddha untuk membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Walaupun perbuatan tersebut bukan suatu praktik Buddhis yang sebenar, tetapi perbuatan demikian dapat mengurangi ketegangan emosi, memberi inspirasi kepada pemohon untuk mendapatkan keberanian dan ketetapan hati untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Hal ini juga umum dilakukan dibeberapa agama lain. Tetapi bagi mereka yang dapat memahami sebenarnya penyebab dasar dari permasalahan mereka, mereka tidak membutuhkan tindakan seperti itu. Ketika umat Buddha menghormati Sang Buddha, mereka menghormatiNya dengan malafalkan kalimat-kalimat yang memuliakan kebajikan murniNya. Kalimat-kalimat ini bukanlah doa-doa dalam hal meminta kepada tuhan atau dewa untuk menghapus dosa mereka. Kalimat-kalimat ini hanya bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada seorang Guru Agung yang telah mencapai Pencerahan dan menunjukkan cara hidup yang benar untuk kebaikan manusia. Umat Buddha menghormati guru agama mereka atas dasar rasa berterima kasih sedangkan penganut agama lain berdoa dan membuat permohonan untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat bagi mereka. Sang Buddha juga menasihati kita untuk “menghormati mereka yang pantas dihormati.” Oleh karena itu, seorang Buddhis boleh mengakui dan menghormati guru agama manapun yang pantas dan layak dihormati.
Di tempat puja bakti, umat Buddha melaksanakan meditasi untuk melatih pikiran dan disiplin diri. Untuk tujuan meditasi, sebuah objek diperlukan; tanpa suatu objek untuk dipegang, tidaklah mudah untuk berkonsentrasi. Umat Buddha kadangkala menggunakan rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebagai objek dimana mereka dapat berkonsentrasi dan mengontrol pikiran mereka.
Di antara banyak objek meditasi, objek visual (yang bisa dilihat dengan nyata) memiliki efek yang lebih baik dalam pikiran. Di antara lima pancaindera, objek yang kita tangkap melalui kesadaran penglihatan (mata) memiliki pengaruh lebih besar pada pikiran dibanding dengan objek-objek yang ditangkap melalui kesadaran indera lainnya. Indera penglihatan dapat mempengaruhi pikiran lebih dari indera lainnya. Oleh karena itu, objek yang dapat ditangkap oleh mata membantu pikiran untuk konsentrasi secara lebih mudah dan lebih baik.
Gambar atau bentuk adalah bahasa bawah sadar (sub-conscious). Jika demikian, rupang (gambar/patung) Sang Buddha tereflesikan dalam pikiran seseorang sebagai penjelmaan seorang yang sempurna, refleksi ini akan menembus pikiran bawah sadar seseorang dan jika cukup kuat, secara otomatis akan bertidak sebagai pengerem keinginan jahat.
Sebagai suatu objek visual, rupang (gambar/patung) Buddha mempunyai dampak yang baik dalam pikiran; perenungan akan pencapaian dari Sang Buddha dapat menghasilkan kegembiraan, kesegaran pikiran dan menghilangkan ketegangan, keresahan dan frutasi di dalam diri seseorang.
Salah satu tujuan dalam meditasi “Buddha – nussati” (Perenungan Terhadap Buddha), yaitu untuk menciptakan rasa bakti dan keyakinan terhadap Sang Buddha dengan menyadari dan menghargai keagungan Beliau. Oleh karena itu, “menyembah” rupang (gambar/patung) Sang Buddha, dimana tidak terdapat doa permohonan, sumpah-sumpah atau ritual tidak bisa dianggap sebagai menyembah berhala, tetapi sebagai suatu bentuk penghormatan yang ideal.
Penghormatan
Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima kasih dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut:
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.
Selanjutnya mereka membaca kalimat yang menjelaskan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut:
“Iti pi so Bhagava Araham Samma sambuddho vijja carana–sampanno Sugato Lokavidu Anuttaro Purisa dammasarathi Sattha Devamanussanam Buddho Bhagava ti”
Keseluruhan kalimat ini di dalam bahasa Pali. Jika anda tidak terbiasa dengan bahasa ini, anda d melafalkan kalimat tersebut dalam berbagai bahasa yang anda ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa Indonesia seperti berikut:
“Demikianlah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna: Sempurna pengetahuan serta tindak–tandukNya, Sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar , Yang Patut Dimuliakan”
Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima kasih dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut: Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna. Selanjutnya mereka membaca kalimat yang menjelaskan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut:Keseluruhan kalimat ini di dalam bahasa Pali. Jika anda tidak terbiasa dengan bahasa ini, anda d melafalkan kalimat tersebut dalam berbagai bahasa yang anda ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa Indonesia seperti berikut:
Sebuah Kisah Buddhis
Ada sebuah kisah yang akan membantu kita memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi pikiran kita serta mengenang Sang Buddha dalam pikiran kita. Kisah ini terdapat di dalam kitab suci Buddhis tetapi tidak di dalam Tipitaka Pali.
Beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha mangkat, ada seorang bhikkhu yang taat di India bernama Upagupta. Beliau adalah penyebar agama yang paling popular pada masa itu. Setiap kali Beliau menyampaikan ceramah Dhamma, beribu–ribu orang akan datang mendengarkan ceramah Dhamma yang disampaikannya.
Pada suatu hari, Mara, si penggoda, merasa iri hati dengan kemasyhuran Yang Mulia Upagupta. Mara mengetahui bahwa kemasyhuran Upagupta membantu penyebaran ajaran Sang Buddha. Mara tidak menyukai melihat perkataan Sang Buddha memenuhi pikiran dan hati banyak orang. Mara membuat rencana untuk menghentikan orang-orang orang mendengarkan ceramah-ceramah Upagupta. Suatu hari, ketika Upagupta memulai ceramahnya, Mara mengadakan suatu pertunjukan bersebelahan dengan tempat dimana Upagupta berkotbah. Sebuah pentas yang indah muncul dengan tiba–tiba. Terdapat gadis-gadis penari yang cantik dan musisi yang lincah.
Orang-orang segera melupakan ceramah Upagupta dan beralih ke pertunjukkan untuk menikmati pernampilannya. Upagupta memperhatikan orang-orang perlahan-lahan meninggalkannya. Kemudian Beliau juga memutuskan untuk bergabung dalam kerumunan. Setelah itu ia memutuskan untuk memberikan pelajaran kepada Mara.
Ketika pertunjukkan itu berakhir, Upagupta menghadiahkan sebuah kalung bunga kepada Mara.
“Kau telah menyusun suatu pertunjukkan yang luar biasa,“ kata Yang Mulia Upagupta.
Mara tentu saja merasa senang dan bangga dengan pencapaiannya. Dengan sukacitanya, Mara menerima kalung bunga dari Upagupta dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Tiba–tiba kalung bunga itu berubah menjadi lilitan menyerupai ular. Perlahan-lahan lilitan itu menjadi semakin ketat dan mencekik leher Mara. Lilitan itu mencengkram lehernya begitu sakitnya, sehingga ia mencoba menarik lilitan itu hingga putus. Walau seberapa kuat Mara menariknya, ia tidak bisa melepaskan lilitan itu dari lehernya. Ia pergi mencari Sakka untu membuka lilitan itu. Sakka juga tidak bisa melepasnya. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini,” kata Sakka. “Pergilah dan temui Maha Brahma yang paling kuat.”
Lalu, Mara pun pergi menemui Maha Brahma dan meminta pertolongannya; tapi Maha Brahma juga tidak bisa berbuat apapun. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini, satu-satunya orang yang dapat melepaskan lilitan ini adalah orang yang memakaikannya kepadamu," kata Maha Brahma.
Lalu, Mara terpaksa kembali ke Yang Mulia Upagupta.
“Tolong bukakan lilitan ini; ia sangat menyakitkan,” Mara memohon.
“Baiklah, saya akan melakukannya tetapi dengan dua kondisi,” kata Upagupta. “Kondisi pertama yaitu kau harus berjanji untuk tidak mengganggu para penganut di masa depan. Kondisi kedua yaitu kau harus menunjukkan kepadaku wujud Sang Buddha yang sebenarnya. Karena saya tahu engkau pernah melihat Sang Buddha dalam beberapa kesempatan, tapi saya tidak pernah melihatNya. Saya ingin melihat wujud sebenarnya dari Sang Buddha sama persis, dengan 32 tanda istimewa yang terdapat pada fisikNya.”
Mara merasa sangat gembira. Ia setuju dengan Upagupta. “Tapi satu hal", pinta Mara. “Jika saya merubah diri saya menjadi rupa Sang Buddha, kau harus berjanji untuk tidak akan menyembah saya kerena saya bukan orang suci sepertimu.”
“Saya tidak akan menyembahmu,” janji Upagupta.
Tiba-tiba Mara merubah dirinya menjadi rupa yang terlihat persis sama seperti Sang Buddha. Ketika Upagupta melihat rupa itu, pikirannya dipenuhi dengan inspirasi besar; rasa baktinya muncul dari dalam hatinya. Dengan tangan beranjali, dengan segera Beliau menyembah figur Buddha itu.
“Kau telah melanggar janjimu,” teriak Mara. “Engkau berjanji tidak akan menyembah saya. Sekarang, kenapa kau menyembah saya?”
“Saya tidak menyembahmu. Kau harus memahami saya sedang menyembah Sang Buddha,” kata Yang Mulia Upagupta.
Berdasarkan kisah ini, kita dapat memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi kepada kita dan mengingat kemuliaan Sang Buddha dalam pikiran kita sehingga kita dapat memuliakannya. Kita sebagai Buddhis tidak menyembah simbol material atau wujud yang hanya mewakili Sang Buddha. Tetapi kita memberi penghormatan kepada Sang Buddha.
Inspirasi dari Rupa Sang Buddha
Sang Buddha telah mangkat dan mencapai Nibbana. Sang Buddha tidak memerlukan penghormatan atau persembahan ,tetapi hasil dari penghormatan akan mengikuti kita dan orang-orang akan mendapatkan manfaat dengan mengikuti teladanNya serta merefleksikan melalui pengorbanan tertinggi dan kualitas agungNya.
Seorang Buddhis tidak melakukan pengorbanan binatang atas nama Sang Buddha.
Ketika beberapa Buddhis melihat rupang (gambar/patung) Sang Buddha, rasa bakti dan kebahagiaan muncul dalam pikirannya. Rasa bakti atau kebahagiaan ini merupakan suatu objek yang menciptakan pikiran luhur di dalam pikiran seorang Buddhis yang berbakti. Rupang (gambar/patung) Sang Buddha ini juga membantu orang untuk melupakan kerisauan mereka, kekecewaan dan masalah-masalah serta membantu mereka mengontrol pikiran mereka.
Beberapa filosof terkenal dunia, para sejarahwan dan sarjana menyimpan rupang (gambar/patung) Sang Buddha di atas meja di dalam ruang baca mereka untuk mendapatkan inspirasi kehidupan dan pemikiran yang lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah non-Buddhis. Banyak orang menghormati kedua orang tua mereka yang telah meninggal, guru, para pahlawan besar, para raja dan ratu, pemimpin nasional dan politik serta orang-orang lain yang disayangi dengan menyimpan gambar-gambar untuk menghargai memori mereka. Mereka mempersembahkan bunga untuk menyatakan perasaan kasih, terima kasih, penghargaan, penghormatan dan bakti mereka. Mereka mengenang kembali kualitas mulia dan mengingatnya dengan bangga atas pengorbanan dan pelayanan yang diberikan oleh para tokoh ketika mereka masih hidup.
Orang-orang juga mendirikan patung untuk mengenang beberapa tokoh pemimpin politik tertentu yang telah membantai berjuta nyawa yang tidak bersalah. Karena kejahatan dan ketamakan mereka untuk mendapatkan kekuasaan, mereka menjajah negara-negara yang miski dan menciptakan penderitaan, kekejaman, dan kesengsaraan yang tak terkira dengan tindakan perampasan mereka. Namun, mereka masih dianggap sebagai pahlawan besar; dan peringatan tanda jasa diselenggarakan untuk menghormati mereka, dan memberikan bunga-bunga di atas makam dan kuburan mereka. Jika perbuatan tersebut dapat dibenarkan mengapa sebagian orang mengejek umat Buddha sebagai pemuja berhala ketika mereka memberikan penghormatan kepada guru agama mereka yang telah melayani umat manusia tanpa merugikan yang lain dan yang telah menaklukkan seluruh dunia melalui kasih sayang, belas kasih dan kebijaksanaanNya?
Bisakah seseorang dengan pikiran sehat mengatakan bahwa menghormati rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebagai sesuatu yang tidak berbudaya, tidak bermoral atau tindakan yang merugikan seperti mengganggu kedamaian dan kebahagiaan orang lain?
Apabila sebuah rupang (gambar/patung) sama sekali tidak penting bagi manusia dalam menjalankan agama maka simbol-simbol agama tertentu dan tempat-tempat beribadat juga tidak diperlukan. Umat Buddha dikecam oleh beberapa orang sebagai penyembah batu. Tetapi menyembah batu tidak berbahaya dan lebih terhormat dibandingkan dengan umat agama lain yang melakukan pelemparan batu.
Pentingnya Praktek
Bagaimanapun juga, untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Sang Buddha, keberadaan rupang (gambar/patung) Sang Buddha bukanlah suatu keharusan . Seorang Buddhis dapat mempraktekkan agama mereka tanpa rupang (gambar/patung) Sang Buddha; mereka bisa melakukan hal ini kerena Sang Buddha tidak menganjurkan manusia untuk mengembangkan pengkultusan individu, dimana menurut ajaran Sang Buddha, seorang Buddhis tidak sepatutnya bergantung kepada orang lain bahkan kepada Sang Buddha sendiri untuk keselamatan dirinya.
Semasa kehidupan Sang Buddha, ada seorang bhikkhu bernama Wakkali. Bhikkhu ini selalu duduk di hadapan Sang Buddha dan mengagumi keindahan ciri-ciri fisik Sang Buddha. Wakkali mengatakan bahwa ia mendapat kebahagiaan dan inspirasi yang besar dengan mengagumi keindahan Sang Buddha. Sang Buddha menjawab, “Engkau tidak dapat melihat Buddha yang sebenarnya dengan hanya melihat tubuh fisiknya saja. Mereka yang melihat ajaran saya maka melihat saya”.
Aspek yang paling penting sekali dalam Buddhisme adalah mempraktekkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Di dalam hal ini, tidak ada bedanya antara seorang Buddhis yang memberi penghormatan kepada Sang Buddha dengan yang tidak. Tetapi bagi beberapa umat, penghormatan ini sangat penting. Bagaimanapun juga, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa Beliau mengharapkan penghormatan.
Asal Muasal Rupang Buddha
Lalu, Bagaimanakah rupang (gambar/patung) Buddha bermula? Sukar untuk mengetahui apakah ide ini diberikan oleh Sang Buddha atau tidak. Tidak ada satupun dalam kitab suci Buddhis bahwa Sang Buddha meminta untuk membuat rupang (gambar/patung) Nya. Namun, Sang Buddha memberikan ijin untuk menyimpan relik-relik Beliau.
Suatu ketika Yang Mulia Ananda pernah ingin mengetahui mengetahui apakah diijinkan mendirikan pagoda (cetiya) untuk mengenang Sang Buddha sebagai cara menghormati Beliau. Kemudian Yang Mulia Ananda bertanya kepada Sang Buddha, ”Apakah layak, Yang Mulia, untuk membangun sebuah pagoda ketika Sang Bhagava masih hidup?”
Sang Buddha menjawab, “Tidak, adalah tidak layak ketika Saya masih hidup. Engkau bisa membangun objek penghormatan ini hanya setelah Saya tiada.”
Juga dalam kotbah terakhirNya, Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha menasihati para siswaNya bahwa jika mereka ingin menghormati Sang Buddha setelah Ia tiada, mereka boleh membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik tubuhNya. Nasihat ini sesuai dengan kebiasaan di India pada masa itu: kebiasaan membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik orang–orang yang suci. Relik ini disimpan sebagai suatu kenangan sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang suci. Pada saat yang sama, Sang Buddha sendiri tidak menganjurkan dan juga tidak melarang para siswaNya untuk mendirikan rupang (gambar/patung)Nya setelah Ia meninggal dunia. Idea untuk menciptakan rupang (gambar/patung) Buddha datang dari pengikut-pengikutNya yang ingin memuja pemimpin terkasih mereka dan bertujuan mendapat inspirasi dari pribadi Sang Buddha yang luhur. Mereka juga menggunakannya untuk menyimpan sebagian dari relik Sang Buddha di dalam rupang (gambar/patung) tersebut setelah didirikan.
Fa-hsien, yang mengunjungi India pada akhir abad keempat menyebutkan dalam catatannya bagaimana rupang (gambar/patung) Sang Buddha yang pertama didirikan. Bagaimanapun, kitab-kitab suci Buddhis tidak menyebut apa-apa tentang pengamatan Fa-hsien tersebut. Meskipun demikian, mitologi mencatat sebagai berikut:
Pada suatu ketika, Sang Buddha menghabiskan waktu selama tiga bulan di surga mengajarkan Abhidhamma atau Dhamma Yang Tertinggi. Selama kepergian Beliau, orang-orang yang pergi ke vihara merasa sangat tidak gembira kerena mereka tidak dapat melihat Sang Buddha. Mereka mulai mengeluh. Siswa Utama, Yang Mulia Sariputta, pergi menemui dan melaporkan situasi itu kepada Sang Buddha. Sang Buddha menasihati Beliau untuk mencari seseorang yang dapat membuat rupang (gambar/patung) yang sama persis dengan diri Sang Buddha; kemudian orang-orang akan menjadi gembira melihat rupang Sang Buddha. Sariputta pun kembali dan menemui raja untuk meminta kebaikannya untuk menolong mencari seseorang yang dapat membuat tiruan Sang Buddha. Tidak lama kemudian, orang yang dicari ditemukan; dia mengukir rupang dari kayu cedana. Setelah rupang itu diletakkan di vihara, orang-orang menjadi sangat gembira. Sejak saat itu, selanjutnya, menurut Fa-hsien, orang-orang mulai meniru replika Sang Buddha tersebut.
Tetapi hal yang sukar untuk menemukan bukti di dalam literatur Buddhis dan sejarah untuk mendukung keberadaan Rupang Sang Buddha di India sampai hampir 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat. Pada masa itu, para umat biasanya menghormati Sang Buddha dengan menyimpan bunga teratai atau gambar telapak kaki Sang Buddha. Nampaknya, pada permulaan beberapa umat Buddha tidak menyukai membuat rupang Sang Buddha, mengingat memungkinkan terjadinya penyimpangan terhadap ciri-ciri penting Sang Buddha.
Banyak para sejarahwan mengklaim bahwa rupang (gambar/patung) Sang Buddha dibuat pertama kali di India pada masa pendudukan bangsa Yunani. Orang–orang Yunani membantu dan menganjurkan orang–orang India dalam seni membangun rupang Sang Buddha. Sejak saat itu, orang-orang di berbagai negara mulai mendirikan rupang Sang Buddha. Rupang-rupang di berbagai negara diukir dan dibentuk mengikut gaya dan seni yang menggambarkan ciri–ciri fisik orang–orang di negara tersebut. Di dalanm negara Buddhis itu sendiri, gaya dari Rupang Sang Buddha pun berkembang menjadi beragam bentuk dan gaya disesuaikan dengan perubahan jaman dan sejarah.
Pendapat Para Intelektual Mengenai Rupang Buddha
Pendit Nehru, mantan Perdana Menteri India, mengulas tentang rupang (gambar/patung) Buddha seperti berikut:
“MataNya tertutup, tetapi ada suatu kekuatan spiritual yang keluar dari matanya dan energi vital memenuhi strukturnya. Banyak jaman bergulir, dan nampaknya Sang Buddha tidak pergi terlalu jauh; suaranNya berbisik di telinga kita dan memberitahu kita supaya jangan lari dari perjuangan tetapi, menghadapinya dengan pandangan tenang, dan melihat peluang–peluang besar dalam hidup untuk terus berkembang dan maju.” Nehru juga pernah berkata, “Semasa saya berada di dalam penjara, saya sentiasa memikirkan tentang rupang (gambar/patung) Buddha yang merupakan sumber inspirasi yang luar biasa untuk saya.”
Semasa Perang Dunia Kedua, General Ian Hamilton menemukan sebuah rupang Buddha di dalam sebuah reruntuhan vihara di Burma. Ia mengirim rupang tersebut ke Winston Churchill yang pada waktu itu menjadi Perdana Menteri Inggris dengan satu pesanan:
“Ketika anda khawatir, lihatlah rupang yang wajahnya begitu tenang dan tersenyumlah kepada kekhawatiran anda.”
Count Keyserling, seorang filosof berkata:
“Saya tidak mengetahui hal lain yang lebih agung di dunia ini selain dari figur seorang Buddha; yang merupakan suatu penjelmaan spiritual yang sungguh sempurna di dalam dunia nyata (visible domain)”
Sarjana lain berkata:
“Rupang (gambar/patung) Buddha yang kita lihat merupakan suatu simbol yang mewakili kualitas. Pujian dan penghormatan kepada Sang Buddha tidak lain merupakan suatu simbol penghargaan atas keagungan dan kebahagian yang kita ketemui melalui ajaranNya.”
Ketenangan dan ketentraman rupang Sang Buddha telah menjadi konsep umum kecantikan dari keindahan yang ideal. Rupang Sang Buddha merupakan sesuatu yang sangat berharga, aset kebudayaan Asia yang paling berharga dan dipunyai oleh banyak orang. Tanpa rupang Buddha, Asia hanya akan dikenali sebagai suatu kawasan geografi saja mespikun semakmur apapun.
Umat Buddhis menghormati patung Sang Buddha sebagai monumen keagungan, kebijaksanaan, yang paling sempurna, dan penuh belas kasih dari seorang guru agama yang pernah hidup di dunia ini. Rupang ini diperlukan untuk mengingat kembali Sang Buddha dan kualitas agungNya yang memberikan inspirasi kepada jutaan manusia dari generasi ke generasi dalam dunia yang berbudaya. Rupang ini menolong mereka berkonsentrasi kepada Buddha. Mereka merasakan kehadiran Sang Guru di dalam pikiran mereka, dan dengan demikian menjadikan penghormatan mereka lebih jelas dan bermakna.
Sebagai seorang Buddhis, akan sangat tepat sekiranya untuk anda mempunyai rupang atau gambar Buddha di dalam rumah anda. Simpanlah rupang atau gambar ini bukan sebagai pajangan yang dipamerkan tetapi sebagai objek puja, penghormatan, dan inspirasi. Ketentraman rupang Buddha merupakan satu simbol yang memancarkan kasih sayang, kesucian dan kesempurnaan yang menjadi sumber penghibur dan inspirasi dalam membantu anda mengatasi berbagai permasalahan dan kekhawatiran yang harus anda hadapi dalam akitivitas keseharian di dunia yang bermasalah ini.
Ketika anda memberi penghormatan kepada Sang Buddha, anda akan mendapat banyak manfaat apabila anda bermeditasi beberapa saat dengan memfokuskuskan pikiran anda pada kualitas agung dan mulia Sang Buddha. Jika anda memikirkan Guru Agung, anda dapat menyempurnakan diri anda melalui bimbinganNya. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak wajar penghormatan ini terekspresikan di dalam bentuk seni dan pahatan yang terbaik dan terindah di dunia.
Seorang penulis terkenal lainnya mengatakan di dalam bahasa filsafatnya mengenai arti sebenarnya di dalam memberi penghormatan kepada Sang Buddha, seperti berikut:
“Kita juga perlu memberi penghormatan meskipun pemujaan itu diarahkan bukan untuk seorang-karena sebenarnya semua personalitas merupakan mimpi, tetapi pemujaan itu diarahkan kepada kesesuaian hati kita. Dengan itu, kita dapat menemui kekuatan baru dan membangun mahligai kehidupan kita sendiri, membersihkan hati kita sampai layak untuk membawa rupang tersebut di dalam tempat perlindungan kasih sayang yang mendalam. Di atas altarnya, kita semua perlu mempersembahkan hadiah bukan cahaya yang padam, bunga-bunga yang layu, tetapi tindakan kasih sayang, pengorbanan dan tanpa keakuan terhadap semua yang berada di sekeliling kita.”
Anatol France, di dalam autobiografinya menulis, “Di awal bulan Mei, 1890, kesempatan membawaku untuk mengunjungi sebuah musium di Paris. Di sana berdiri dewa-dewa Asia dalam kesunyian dan kesederhanaan, pandanganku jatuh pada patung Sang Buddha yang memberi isyarat kepada penderitaan manusia untuk mengembangkan pemahaman dan belas kasih. Jika ada tuhan yang pernah berjalan di atas muka bumi ini, saya merasakan Beliaulah (Buddha) orangnya. Saya merasa seperti berlutut dan berdoa kepadaNya seperti kepada Tuhan.”
Mr. Ouspensky, seorang penulis Barat lainnya, mengekspresikan perasaannya terhadap rupang Buddha yang ia temukan di Sri Lanka. Ia berkata, “Rupang Buddha ini merupakan suatu bagian seni yang sungguh istimewa. Saya tidak mengetahui hasil karya seni lainnya yang sejajar dengan rupang Buddha dengan mata dari batu safir, dimana sepengetahuan saya tidak ada karya seni yang dapat mengekspresikan dengan sempurna idea suatu agama seperti wajah rupang Buddha yang mengekspresikan ide Buddhisme.” Selanjutnya ia berkata, ”Tidak perlu membaca banyak buku tentang Buddhisme atau berjalan bersama dengan para professor yang mempelajari agama–agama Timur atau belajar dengan para bhikkhu. Seseorang harus datang ke sini, berdiri di hadapan rupang Buddha ini dan biarkan pancaran mata birunya menembus kehidupannya, dan dia akan memahami apa itu Buddhisme.”
Kesenian Buddhis yang indah dari membangun rupang, menciptakan lukisan dinding tentang beragam kisah Buddhis telah memberikan inspirasi yang sangat besar pada kekayaan seni dan budaya di hampir setiap negara Asia lebih dari 2000 tahun.
Apakah yang membuat pesan-pesan Sang Buddha begitu diminati oleh orang yang telah mengembangkan intelektual mereka? Jawabannya mungkin terlihat pada ketentraman rupang Sang Buddha. Bukan hanya dalam warna dan garis manusia mengekspresikan keyakinannya terhadap Sang Buddha dan ajaranNya. Tangan manusia menempa logam dan batu memproduksi rupang Buddha yang merupakan salah satu ciptaan terbesar dari kejeniusan manusia.
Jika umat Buddha benar–benar ingin melihat kehadiran Sang Buddha dalam segala keagungan dan keindahanNya, mereka harus menerjemahkan ajaran-ajaranNya ke dalam tindakan dan situasi praktis pada kehidupan sehari-hari mereka. Dengan mempraktekkan ajaran-ajaranNya mereka dapat mendekatkan diri dan merasakan pancaran yang luar biasa dari kebijaksanaan dan belas kasihNya yang tidak kunjung padam. Hanya menghormati rupang Sang Buddha tanpa mengikuti ajaran muliaNya bukannya cara untuk menemukan keselamatan.
KehidupanNya begitu indah, hatiNya begitu suci dan baik, pikiranNya begitu dalam dan tercerahkan, kepribadianNya begitu menginspirasikan dan tanpa ke-aku-an - kehidupan yang sangat sempurna, hati yang sangat berbelas kasih, pikiran yang sangat tenang, kepribadian yang sangat tentram yang patut di hormati, layak diberi penghormatan dan layak diberi persembahan. Sang Buddha yang merupakan kesempurnaan tertinggi dari umat manusia, dan keindahan dari kemanusiaan.
Sir Edwin Arnold menjelaskan sifat alami Kebuddhaan di dalam bukunya ”Light of Asia” (Cahaya Asia) seperti berikut:
“Ini adalah bunga dari pohon manusia kita yang berkembang dalam beribu–ribu tahun. Takkala berkembang, mengisi dunia dengan harum kebijaksanaan dan menjatuhkan madu kasih sayang.”
Seorang penyair terkemuka India, Rabindranath Tagore menyebutkan hal penting dari penampilan Sang Buddha dalam bahasa puitisnya dengan cara berikut:
Semua makhluk menangis atas kelahiran baru mereka.
Oh, Engkau yang hidup tanpa batas
Selamatkanlah mereka, bangkitkanlah suara harapan abadiMu
Biarkan teratai cinta dengan harta madu yang tak terhingga itu,
membuka kelopaknya dalam cahayanya.
Oh Kedamaian, Oh Kebebasan,
Di dalam belas kasih dan kebaikanMu yang tidak terukur,
Singkirkanlah semua noda gelap dari hati dunia ini.
Judul Asli: Are Buddhist Idol - Worshippers?
Oleh: Ven. K. Sri Dhammananda
Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com
Dalam setiap agama pasti terdapat objek-objek atau simbol-simbol yang ditujukan untuk penghormatan. Dalam Buddhisme terdapat tiga objek agama yang utama untuk tujuan tersebut, yaitu:
1. Saririka atau relik-relik jasmani Sang Buddha;
2. Uddesika atau simbol-simbol agama seperti rupang (patung, gambar) Sang Buddha dan cetiya atau pagoda;
3. Paribhogika atau barang-barang pribadi yang pernah digunakan oleh Buddha.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi semua umat Buddha di seluruh dunia untuk memberikan penghormatan kepada objek-objek di atas. Dan juga merupakan tradisi umat Buddha untuk membangun rupang Sang Buddha, cetiya atau pagoda pagoda serta menanam pohon Bodhi di setiap Vihara sebagai objek penghormatan keagamaan.
Banyak orang salah paham dan menggangap umat Buddha sebagai penyembah berhala. Kesalahpahaman ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang ajaran Buddha serta adat istiadat dan tradisi Buddhis.
Penyembahan berhala secara umum berarti mendirikan patung dewa-dewi di beberapa agama theistik dalam berbagai bentuk oleh pemeluknya untuk disembah, mencari berkah dan perlindungan serta untuk berkah kemewahan, kesehatan dan kekayaan para pemohon. Beberapa pemohon bahkan memohon kepada patung untuk memenuhi bermacam kekuasaan pribadi walaupun kekuasaan itu diperolehi dengan cara yang salah. Mereka juga berdoa agar dosa mereka diampuni.
Pemujaan terhadap rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebenarnya berbeda dengan aspek yang diterangkan diatas. Bahkan istilah "menyembah" ini sendiri tidak sesuai dengan sudut pandang Buddhis. "Memberi penghormatan" merupakan istilah yang lebih tepat. Umat Buddha tidak berdoa kepada patung atau berhala; apa yang mereka lakukan adalah memberi penghormatan kepada seorang guru agama yang agung yang layak diberi penghormatan. Rupang-rupang didirikan sebagai tanda penghormatan dan penghargaan untuk pencapaian tertinggi dari Pencerahan dan kesempurnaan yang dicapai oleh seorang guru agama yang luar biasa. Bagi seseorang Buddhis, rupang (gambar/patung) Sang Buddha hanya merupakan suatu tanda, simbol yang membantunya mengingat Sang Buddha.
Umat Buddha berlutut dan memberi hormat kepada rupang (gambar/patung) sebenarnya memberi hormat kepada apa yang di wakili dari rupang (gambar/patung) itu. Mereka mencari keinginan duniawi dari rupang (gambar/patung) tersebut. Mereka merenung dan bermeditasi untuk mendapatkan inspirasi dari kepribadian mulia Sang Buddha. Mereka berusaha menyamakan kesempurnaanNya dengan mengikuti ajaran-ajaran mulia Sang Buddha.
Umat Buddha menghormati kebajikan dan kesucian guru agamanya yang diwakili oleh rupang (gambar/patung) tersebut. Faktanya semua penganut agama menciptakan rupang (gambar/patung) yang mewakili guru agama mereka baik dalam bentuk visual atau dalam bentuk penggambaran secara pikiran untuk penghormatan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil untuk mengkritik dan menyatakan bahwa umat Buddha adalah penyembah berhala.
Tindakan memberi penghormatan kepada seorang yang mulia, Sang Buddha, bukanlah suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar rasa takut atau perbuatan untuk memohon kebahagiaan duniawi. Umat Buddha percaya bahwa perbuatan menghargai dan menghormati ciri-ciri suci yang dimiliki oleh guru agama mereka merupakan suatu perbuatan yang berpahala dan membawa berkah. Umat Buddha juga percaya bahwa mereka sendiri yang bertanggungjawab atas keselamatan diri mereka sendiri dan tidak harus bergantung kepada pihak ketiga. Meskipun demikian, ada pihak lain yang percaya bahwa mereka bisa mendapat keselamatan mereka melalui perantaran pihak ketiga dan mereka inilah yang mengkritik umat Buddha sebagai penyembah rupang (gambar/patung) seorang yang sudah tiada lagi di dunia. Fisik seseorang bisa mengalami disintegrasi dan terurai menjadi empat unsur tetapi kebajikannya akan kekal selamanya. Seorang Buddhis menghargai dan menghormati sifat-sifat mulia ini. Oleh itu, tuduhan terus mmenerus terhadap umat Buddha sanagt disayangkan, sama sekali salah serta tidak berdasar.
Ketika kita mempelajari ajaran Sang Buddha, kita dapat memahami Sang Bhagava telah mengatakan bahwa Sang Buddha hanyalah seorang guru yang telah menunjukkan jalan yang benar untuk keselamatan dan berpulang kembali kepada penganutnya untuk menjalani kehidupan beragama dan menyucikan pikiran mereka untuk mendapatkan keselamatan tanpa bergantung kepada guru agama mereka. Menurut Sang Buddha, tidak ada tuhan atau guru agama manapun yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga atau neraka. Manusia menciptakan surga dan nerakanya sendiri melalui pikiran, tindak-tanduk serta perkataan mereka sendiri.
Oleh karena itu, berdoa kepada pihak ketiga untuk keselamatan diri tanpa menyingkirkan pikiran jahat merupakan satu perbuatan yang sia-sia. Namun begitu, ada beberapa orang termasuk umat Buddha dalam melakukan sembahyang tradisonal di hadapan rupang (gambar/patung) akan mencurahkan masalah-masalah mereka, nasib malang yang dialami serta kesulitan yang dihadapi dan memohon pertolongan Sang Buddha untuk membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Walaupun perbuatan tersebut bukan suatu praktik Buddhis yang sebenar, tetapi perbuatan demikian dapat mengurangi ketegangan emosi, memberi inspirasi kepada pemohon untuk mendapatkan keberanian dan ketetapan hati untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Hal ini juga umum dilakukan dibeberapa agama lain. Tetapi bagi mereka yang dapat memahami sebenarnya penyebab dasar dari permasalahan mereka, mereka tidak membutuhkan tindakan seperti itu. Ketika umat Buddha menghormati Sang Buddha, mereka menghormatiNya dengan malafalkan kalimat-kalimat yang memuliakan kebajikan murniNya. Kalimat-kalimat ini bukanlah doa-doa dalam hal meminta kepada tuhan atau dewa untuk menghapus dosa mereka. Kalimat-kalimat ini hanya bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada seorang Guru Agung yang telah mencapai Pencerahan dan menunjukkan cara hidup yang benar untuk kebaikan manusia. Umat Buddha menghormati guru agama mereka atas dasar rasa berterima kasih sedangkan penganut agama lain berdoa dan membuat permohonan untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat bagi mereka. Sang Buddha juga menasihati kita untuk “menghormati mereka yang pantas dihormati.” Oleh karena itu, seorang Buddhis boleh mengakui dan menghormati guru agama manapun yang pantas dan layak dihormati.
Di tempat puja bakti, umat Buddha melaksanakan meditasi untuk melatih pikiran dan disiplin diri. Untuk tujuan meditasi, sebuah objek diperlukan; tanpa suatu objek untuk dipegang, tidaklah mudah untuk berkonsentrasi. Umat Buddha kadangkala menggunakan rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebagai objek dimana mereka dapat berkonsentrasi dan mengontrol pikiran mereka.
Di antara banyak objek meditasi, objek visual (yang bisa dilihat dengan nyata) memiliki efek yang lebih baik dalam pikiran. Di antara lima pancaindera, objek yang kita tangkap melalui kesadaran penglihatan (mata) memiliki pengaruh lebih besar pada pikiran dibanding dengan objek-objek yang ditangkap melalui kesadaran indera lainnya. Indera penglihatan dapat mempengaruhi pikiran lebih dari indera lainnya. Oleh karena itu, objek yang dapat ditangkap oleh mata membantu pikiran untuk konsentrasi secara lebih mudah dan lebih baik.
Gambar atau bentuk adalah bahasa bawah sadar (sub-conscious). Jika demikian, rupang (gambar/patung) Sang Buddha tereflesikan dalam pikiran seseorang sebagai penjelmaan seorang yang sempurna, refleksi ini akan menembus pikiran bawah sadar seseorang dan jika cukup kuat, secara otomatis akan bertidak sebagai pengerem keinginan jahat.
Sebagai suatu objek visual, rupang (gambar/patung) Buddha mempunyai dampak yang baik dalam pikiran; perenungan akan pencapaian dari Sang Buddha dapat menghasilkan kegembiraan, kesegaran pikiran dan menghilangkan ketegangan, keresahan dan frutasi di dalam diri seseorang.
Salah satu tujuan dalam meditasi “Buddha – nussati” (Perenungan Terhadap Buddha), yaitu untuk menciptakan rasa bakti dan keyakinan terhadap Sang Buddha dengan menyadari dan menghargai keagungan Beliau. Oleh karena itu, “menyembah” rupang (gambar/patung) Sang Buddha, dimana tidak terdapat doa permohonan, sumpah-sumpah atau ritual tidak bisa dianggap sebagai menyembah berhala, tetapi sebagai suatu bentuk penghormatan yang ideal.
Penghormatan
Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima kasih dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut:
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.
Selanjutnya mereka membaca kalimat yang menjelaskan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut:
“Iti pi so Bhagava Araham Samma sambuddho vijja carana–sampanno Sugato Lokavidu Anuttaro Purisa dammasarathi Sattha Devamanussanam Buddho Bhagava ti”
Keseluruhan kalimat ini di dalam bahasa Pali. Jika anda tidak terbiasa dengan bahasa ini, anda d melafalkan kalimat tersebut dalam berbagai bahasa yang anda ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa Indonesia seperti berikut:
“Demikianlah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna: Sempurna pengetahuan serta tindak–tandukNya, Sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar , Yang Patut Dimuliakan”
Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima kasih dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut: Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna. Selanjutnya mereka membaca kalimat yang menjelaskan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut:Keseluruhan kalimat ini di dalam bahasa Pali. Jika anda tidak terbiasa dengan bahasa ini, anda d melafalkan kalimat tersebut dalam berbagai bahasa yang anda ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa Indonesia seperti berikut:
Sebuah Kisah Buddhis
Ada sebuah kisah yang akan membantu kita memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi pikiran kita serta mengenang Sang Buddha dalam pikiran kita. Kisah ini terdapat di dalam kitab suci Buddhis tetapi tidak di dalam Tipitaka Pali.
Beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha mangkat, ada seorang bhikkhu yang taat di India bernama Upagupta. Beliau adalah penyebar agama yang paling popular pada masa itu. Setiap kali Beliau menyampaikan ceramah Dhamma, beribu–ribu orang akan datang mendengarkan ceramah Dhamma yang disampaikannya.
Pada suatu hari, Mara, si penggoda, merasa iri hati dengan kemasyhuran Yang Mulia Upagupta. Mara mengetahui bahwa kemasyhuran Upagupta membantu penyebaran ajaran Sang Buddha. Mara tidak menyukai melihat perkataan Sang Buddha memenuhi pikiran dan hati banyak orang. Mara membuat rencana untuk menghentikan orang-orang orang mendengarkan ceramah-ceramah Upagupta. Suatu hari, ketika Upagupta memulai ceramahnya, Mara mengadakan suatu pertunjukan bersebelahan dengan tempat dimana Upagupta berkotbah. Sebuah pentas yang indah muncul dengan tiba–tiba. Terdapat gadis-gadis penari yang cantik dan musisi yang lincah.
Orang-orang segera melupakan ceramah Upagupta dan beralih ke pertunjukkan untuk menikmati pernampilannya. Upagupta memperhatikan orang-orang perlahan-lahan meninggalkannya. Kemudian Beliau juga memutuskan untuk bergabung dalam kerumunan. Setelah itu ia memutuskan untuk memberikan pelajaran kepada Mara.
Ketika pertunjukkan itu berakhir, Upagupta menghadiahkan sebuah kalung bunga kepada Mara.
“Kau telah menyusun suatu pertunjukkan yang luar biasa,“ kata Yang Mulia Upagupta.
Mara tentu saja merasa senang dan bangga dengan pencapaiannya. Dengan sukacitanya, Mara menerima kalung bunga dari Upagupta dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Tiba–tiba kalung bunga itu berubah menjadi lilitan menyerupai ular. Perlahan-lahan lilitan itu menjadi semakin ketat dan mencekik leher Mara. Lilitan itu mencengkram lehernya begitu sakitnya, sehingga ia mencoba menarik lilitan itu hingga putus. Walau seberapa kuat Mara menariknya, ia tidak bisa melepaskan lilitan itu dari lehernya. Ia pergi mencari Sakka untu membuka lilitan itu. Sakka juga tidak bisa melepasnya. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini,” kata Sakka. “Pergilah dan temui Maha Brahma yang paling kuat.”
Lalu, Mara pun pergi menemui Maha Brahma dan meminta pertolongannya; tapi Maha Brahma juga tidak bisa berbuat apapun. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini, satu-satunya orang yang dapat melepaskan lilitan ini adalah orang yang memakaikannya kepadamu," kata Maha Brahma.
Lalu, Mara terpaksa kembali ke Yang Mulia Upagupta.
“Tolong bukakan lilitan ini; ia sangat menyakitkan,” Mara memohon.
“Baiklah, saya akan melakukannya tetapi dengan dua kondisi,” kata Upagupta. “Kondisi pertama yaitu kau harus berjanji untuk tidak mengganggu para penganut di masa depan. Kondisi kedua yaitu kau harus menunjukkan kepadaku wujud Sang Buddha yang sebenarnya. Karena saya tahu engkau pernah melihat Sang Buddha dalam beberapa kesempatan, tapi saya tidak pernah melihatNya. Saya ingin melihat wujud sebenarnya dari Sang Buddha sama persis, dengan 32 tanda istimewa yang terdapat pada fisikNya.”
Mara merasa sangat gembira. Ia setuju dengan Upagupta. “Tapi satu hal", pinta Mara. “Jika saya merubah diri saya menjadi rupa Sang Buddha, kau harus berjanji untuk tidak akan menyembah saya kerena saya bukan orang suci sepertimu.”
“Saya tidak akan menyembahmu,” janji Upagupta.
Tiba-tiba Mara merubah dirinya menjadi rupa yang terlihat persis sama seperti Sang Buddha. Ketika Upagupta melihat rupa itu, pikirannya dipenuhi dengan inspirasi besar; rasa baktinya muncul dari dalam hatinya. Dengan tangan beranjali, dengan segera Beliau menyembah figur Buddha itu.
“Kau telah melanggar janjimu,” teriak Mara. “Engkau berjanji tidak akan menyembah saya. Sekarang, kenapa kau menyembah saya?”
“Saya tidak menyembahmu. Kau harus memahami saya sedang menyembah Sang Buddha,” kata Yang Mulia Upagupta.
Berdasarkan kisah ini, kita dapat memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi kepada kita dan mengingat kemuliaan Sang Buddha dalam pikiran kita sehingga kita dapat memuliakannya. Kita sebagai Buddhis tidak menyembah simbol material atau wujud yang hanya mewakili Sang Buddha. Tetapi kita memberi penghormatan kepada Sang Buddha.
Inspirasi dari Rupa Sang Buddha
Sang Buddha telah mangkat dan mencapai Nibbana. Sang Buddha tidak memerlukan penghormatan atau persembahan ,tetapi hasil dari penghormatan akan mengikuti kita dan orang-orang akan mendapatkan manfaat dengan mengikuti teladanNya serta merefleksikan melalui pengorbanan tertinggi dan kualitas agungNya.
Seorang Buddhis tidak melakukan pengorbanan binatang atas nama Sang Buddha.
Ketika beberapa Buddhis melihat rupang (gambar/patung) Sang Buddha, rasa bakti dan kebahagiaan muncul dalam pikirannya. Rasa bakti atau kebahagiaan ini merupakan suatu objek yang menciptakan pikiran luhur di dalam pikiran seorang Buddhis yang berbakti. Rupang (gambar/patung) Sang Buddha ini juga membantu orang untuk melupakan kerisauan mereka, kekecewaan dan masalah-masalah serta membantu mereka mengontrol pikiran mereka.
Beberapa filosof terkenal dunia, para sejarahwan dan sarjana menyimpan rupang (gambar/patung) Sang Buddha di atas meja di dalam ruang baca mereka untuk mendapatkan inspirasi kehidupan dan pemikiran yang lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah non-Buddhis. Banyak orang menghormati kedua orang tua mereka yang telah meninggal, guru, para pahlawan besar, para raja dan ratu, pemimpin nasional dan politik serta orang-orang lain yang disayangi dengan menyimpan gambar-gambar untuk menghargai memori mereka. Mereka mempersembahkan bunga untuk menyatakan perasaan kasih, terima kasih, penghargaan, penghormatan dan bakti mereka. Mereka mengenang kembali kualitas mulia dan mengingatnya dengan bangga atas pengorbanan dan pelayanan yang diberikan oleh para tokoh ketika mereka masih hidup.
Orang-orang juga mendirikan patung untuk mengenang beberapa tokoh pemimpin politik tertentu yang telah membantai berjuta nyawa yang tidak bersalah. Karena kejahatan dan ketamakan mereka untuk mendapatkan kekuasaan, mereka menjajah negara-negara yang miski dan menciptakan penderitaan, kekejaman, dan kesengsaraan yang tak terkira dengan tindakan perampasan mereka. Namun, mereka masih dianggap sebagai pahlawan besar; dan peringatan tanda jasa diselenggarakan untuk menghormati mereka, dan memberikan bunga-bunga di atas makam dan kuburan mereka. Jika perbuatan tersebut dapat dibenarkan mengapa sebagian orang mengejek umat Buddha sebagai pemuja berhala ketika mereka memberikan penghormatan kepada guru agama mereka yang telah melayani umat manusia tanpa merugikan yang lain dan yang telah menaklukkan seluruh dunia melalui kasih sayang, belas kasih dan kebijaksanaanNya?
Bisakah seseorang dengan pikiran sehat mengatakan bahwa menghormati rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebagai sesuatu yang tidak berbudaya, tidak bermoral atau tindakan yang merugikan seperti mengganggu kedamaian dan kebahagiaan orang lain?
Apabila sebuah rupang (gambar/patung) sama sekali tidak penting bagi manusia dalam menjalankan agama maka simbol-simbol agama tertentu dan tempat-tempat beribadat juga tidak diperlukan. Umat Buddha dikecam oleh beberapa orang sebagai penyembah batu. Tetapi menyembah batu tidak berbahaya dan lebih terhormat dibandingkan dengan umat agama lain yang melakukan pelemparan batu.
Pentingnya Praktek
Bagaimanapun juga, untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Sang Buddha, keberadaan rupang (gambar/patung) Sang Buddha bukanlah suatu keharusan . Seorang Buddhis dapat mempraktekkan agama mereka tanpa rupang (gambar/patung) Sang Buddha; mereka bisa melakukan hal ini kerena Sang Buddha tidak menganjurkan manusia untuk mengembangkan pengkultusan individu, dimana menurut ajaran Sang Buddha, seorang Buddhis tidak sepatutnya bergantung kepada orang lain bahkan kepada Sang Buddha sendiri untuk keselamatan dirinya.
Semasa kehidupan Sang Buddha, ada seorang bhikkhu bernama Wakkali. Bhikkhu ini selalu duduk di hadapan Sang Buddha dan mengagumi keindahan ciri-ciri fisik Sang Buddha. Wakkali mengatakan bahwa ia mendapat kebahagiaan dan inspirasi yang besar dengan mengagumi keindahan Sang Buddha. Sang Buddha menjawab, “Engkau tidak dapat melihat Buddha yang sebenarnya dengan hanya melihat tubuh fisiknya saja. Mereka yang melihat ajaran saya maka melihat saya”.
Aspek yang paling penting sekali dalam Buddhisme adalah mempraktekkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Di dalam hal ini, tidak ada bedanya antara seorang Buddhis yang memberi penghormatan kepada Sang Buddha dengan yang tidak. Tetapi bagi beberapa umat, penghormatan ini sangat penting. Bagaimanapun juga, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa Beliau mengharapkan penghormatan.
Asal Muasal Rupang Buddha
Lalu, Bagaimanakah rupang (gambar/patung) Buddha bermula? Sukar untuk mengetahui apakah ide ini diberikan oleh Sang Buddha atau tidak. Tidak ada satupun dalam kitab suci Buddhis bahwa Sang Buddha meminta untuk membuat rupang (gambar/patung) Nya. Namun, Sang Buddha memberikan ijin untuk menyimpan relik-relik Beliau.
Suatu ketika Yang Mulia Ananda pernah ingin mengetahui mengetahui apakah diijinkan mendirikan pagoda (cetiya) untuk mengenang Sang Buddha sebagai cara menghormati Beliau. Kemudian Yang Mulia Ananda bertanya kepada Sang Buddha, ”Apakah layak, Yang Mulia, untuk membangun sebuah pagoda ketika Sang Bhagava masih hidup?”
Sang Buddha menjawab, “Tidak, adalah tidak layak ketika Saya masih hidup. Engkau bisa membangun objek penghormatan ini hanya setelah Saya tiada.”
Juga dalam kotbah terakhirNya, Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha menasihati para siswaNya bahwa jika mereka ingin menghormati Sang Buddha setelah Ia tiada, mereka boleh membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik tubuhNya. Nasihat ini sesuai dengan kebiasaan di India pada masa itu: kebiasaan membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik orang–orang yang suci. Relik ini disimpan sebagai suatu kenangan sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang suci. Pada saat yang sama, Sang Buddha sendiri tidak menganjurkan dan juga tidak melarang para siswaNya untuk mendirikan rupang (gambar/patung)Nya setelah Ia meninggal dunia. Idea untuk menciptakan rupang (gambar/patung) Buddha datang dari pengikut-pengikutNya yang ingin memuja pemimpin terkasih mereka dan bertujuan mendapat inspirasi dari pribadi Sang Buddha yang luhur. Mereka juga menggunakannya untuk menyimpan sebagian dari relik Sang Buddha di dalam rupang (gambar/patung) tersebut setelah didirikan.
Fa-hsien, yang mengunjungi India pada akhir abad keempat menyebutkan dalam catatannya bagaimana rupang (gambar/patung) Sang Buddha yang pertama didirikan. Bagaimanapun, kitab-kitab suci Buddhis tidak menyebut apa-apa tentang pengamatan Fa-hsien tersebut. Meskipun demikian, mitologi mencatat sebagai berikut:
Pada suatu ketika, Sang Buddha menghabiskan waktu selama tiga bulan di surga mengajarkan Abhidhamma atau Dhamma Yang Tertinggi. Selama kepergian Beliau, orang-orang yang pergi ke vihara merasa sangat tidak gembira kerena mereka tidak dapat melihat Sang Buddha. Mereka mulai mengeluh. Siswa Utama, Yang Mulia Sariputta, pergi menemui dan melaporkan situasi itu kepada Sang Buddha. Sang Buddha menasihati Beliau untuk mencari seseorang yang dapat membuat rupang (gambar/patung) yang sama persis dengan diri Sang Buddha; kemudian orang-orang akan menjadi gembira melihat rupang Sang Buddha. Sariputta pun kembali dan menemui raja untuk meminta kebaikannya untuk menolong mencari seseorang yang dapat membuat tiruan Sang Buddha. Tidak lama kemudian, orang yang dicari ditemukan; dia mengukir rupang dari kayu cedana. Setelah rupang itu diletakkan di vihara, orang-orang menjadi sangat gembira. Sejak saat itu, selanjutnya, menurut Fa-hsien, orang-orang mulai meniru replika Sang Buddha tersebut.
Tetapi hal yang sukar untuk menemukan bukti di dalam literatur Buddhis dan sejarah untuk mendukung keberadaan Rupang Sang Buddha di India sampai hampir 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat. Pada masa itu, para umat biasanya menghormati Sang Buddha dengan menyimpan bunga teratai atau gambar telapak kaki Sang Buddha. Nampaknya, pada permulaan beberapa umat Buddha tidak menyukai membuat rupang Sang Buddha, mengingat memungkinkan terjadinya penyimpangan terhadap ciri-ciri penting Sang Buddha.
Banyak para sejarahwan mengklaim bahwa rupang (gambar/patung) Sang Buddha dibuat pertama kali di India pada masa pendudukan bangsa Yunani. Orang–orang Yunani membantu dan menganjurkan orang–orang India dalam seni membangun rupang Sang Buddha. Sejak saat itu, orang-orang di berbagai negara mulai mendirikan rupang Sang Buddha. Rupang-rupang di berbagai negara diukir dan dibentuk mengikut gaya dan seni yang menggambarkan ciri–ciri fisik orang–orang di negara tersebut. Di dalanm negara Buddhis itu sendiri, gaya dari Rupang Sang Buddha pun berkembang menjadi beragam bentuk dan gaya disesuaikan dengan perubahan jaman dan sejarah.
Pendapat Para Intelektual Mengenai Rupang Buddha
Pendit Nehru, mantan Perdana Menteri India, mengulas tentang rupang (gambar/patung) Buddha seperti berikut:
“MataNya tertutup, tetapi ada suatu kekuatan spiritual yang keluar dari matanya dan energi vital memenuhi strukturnya. Banyak jaman bergulir, dan nampaknya Sang Buddha tidak pergi terlalu jauh; suaranNya berbisik di telinga kita dan memberitahu kita supaya jangan lari dari perjuangan tetapi, menghadapinya dengan pandangan tenang, dan melihat peluang–peluang besar dalam hidup untuk terus berkembang dan maju.” Nehru juga pernah berkata, “Semasa saya berada di dalam penjara, saya sentiasa memikirkan tentang rupang (gambar/patung) Buddha yang merupakan sumber inspirasi yang luar biasa untuk saya.”
Semasa Perang Dunia Kedua, General Ian Hamilton menemukan sebuah rupang Buddha di dalam sebuah reruntuhan vihara di Burma. Ia mengirim rupang tersebut ke Winston Churchill yang pada waktu itu menjadi Perdana Menteri Inggris dengan satu pesanan:
“Ketika anda khawatir, lihatlah rupang yang wajahnya begitu tenang dan tersenyumlah kepada kekhawatiran anda.”
Count Keyserling, seorang filosof berkata:
“Saya tidak mengetahui hal lain yang lebih agung di dunia ini selain dari figur seorang Buddha; yang merupakan suatu penjelmaan spiritual yang sungguh sempurna di dalam dunia nyata (visible domain)”
Sarjana lain berkata:
“Rupang (gambar/patung) Buddha yang kita lihat merupakan suatu simbol yang mewakili kualitas. Pujian dan penghormatan kepada Sang Buddha tidak lain merupakan suatu simbol penghargaan atas keagungan dan kebahagian yang kita ketemui melalui ajaranNya.”
Ketenangan dan ketentraman rupang Sang Buddha telah menjadi konsep umum kecantikan dari keindahan yang ideal. Rupang Sang Buddha merupakan sesuatu yang sangat berharga, aset kebudayaan Asia yang paling berharga dan dipunyai oleh banyak orang. Tanpa rupang Buddha, Asia hanya akan dikenali sebagai suatu kawasan geografi saja mespikun semakmur apapun.
Umat Buddhis menghormati patung Sang Buddha sebagai monumen keagungan, kebijaksanaan, yang paling sempurna, dan penuh belas kasih dari seorang guru agama yang pernah hidup di dunia ini. Rupang ini diperlukan untuk mengingat kembali Sang Buddha dan kualitas agungNya yang memberikan inspirasi kepada jutaan manusia dari generasi ke generasi dalam dunia yang berbudaya. Rupang ini menolong mereka berkonsentrasi kepada Buddha. Mereka merasakan kehadiran Sang Guru di dalam pikiran mereka, dan dengan demikian menjadikan penghormatan mereka lebih jelas dan bermakna.
Sebagai seorang Buddhis, akan sangat tepat sekiranya untuk anda mempunyai rupang atau gambar Buddha di dalam rumah anda. Simpanlah rupang atau gambar ini bukan sebagai pajangan yang dipamerkan tetapi sebagai objek puja, penghormatan, dan inspirasi. Ketentraman rupang Buddha merupakan satu simbol yang memancarkan kasih sayang, kesucian dan kesempurnaan yang menjadi sumber penghibur dan inspirasi dalam membantu anda mengatasi berbagai permasalahan dan kekhawatiran yang harus anda hadapi dalam akitivitas keseharian di dunia yang bermasalah ini.
Ketika anda memberi penghormatan kepada Sang Buddha, anda akan mendapat banyak manfaat apabila anda bermeditasi beberapa saat dengan memfokuskuskan pikiran anda pada kualitas agung dan mulia Sang Buddha. Jika anda memikirkan Guru Agung, anda dapat menyempurnakan diri anda melalui bimbinganNya. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak wajar penghormatan ini terekspresikan di dalam bentuk seni dan pahatan yang terbaik dan terindah di dunia.
Seorang penulis terkenal lainnya mengatakan di dalam bahasa filsafatnya mengenai arti sebenarnya di dalam memberi penghormatan kepada Sang Buddha, seperti berikut:
“Kita juga perlu memberi penghormatan meskipun pemujaan itu diarahkan bukan untuk seorang-karena sebenarnya semua personalitas merupakan mimpi, tetapi pemujaan itu diarahkan kepada kesesuaian hati kita. Dengan itu, kita dapat menemui kekuatan baru dan membangun mahligai kehidupan kita sendiri, membersihkan hati kita sampai layak untuk membawa rupang tersebut di dalam tempat perlindungan kasih sayang yang mendalam. Di atas altarnya, kita semua perlu mempersembahkan hadiah bukan cahaya yang padam, bunga-bunga yang layu, tetapi tindakan kasih sayang, pengorbanan dan tanpa keakuan terhadap semua yang berada di sekeliling kita.”
Anatol France, di dalam autobiografinya menulis, “Di awal bulan Mei, 1890, kesempatan membawaku untuk mengunjungi sebuah musium di Paris. Di sana berdiri dewa-dewa Asia dalam kesunyian dan kesederhanaan, pandanganku jatuh pada patung Sang Buddha yang memberi isyarat kepada penderitaan manusia untuk mengembangkan pemahaman dan belas kasih. Jika ada tuhan yang pernah berjalan di atas muka bumi ini, saya merasakan Beliaulah (Buddha) orangnya. Saya merasa seperti berlutut dan berdoa kepadaNya seperti kepada Tuhan.”
Mr. Ouspensky, seorang penulis Barat lainnya, mengekspresikan perasaannya terhadap rupang Buddha yang ia temukan di Sri Lanka. Ia berkata, “Rupang Buddha ini merupakan suatu bagian seni yang sungguh istimewa. Saya tidak mengetahui hasil karya seni lainnya yang sejajar dengan rupang Buddha dengan mata dari batu safir, dimana sepengetahuan saya tidak ada karya seni yang dapat mengekspresikan dengan sempurna idea suatu agama seperti wajah rupang Buddha yang mengekspresikan ide Buddhisme.” Selanjutnya ia berkata, ”Tidak perlu membaca banyak buku tentang Buddhisme atau berjalan bersama dengan para professor yang mempelajari agama–agama Timur atau belajar dengan para bhikkhu. Seseorang harus datang ke sini, berdiri di hadapan rupang Buddha ini dan biarkan pancaran mata birunya menembus kehidupannya, dan dia akan memahami apa itu Buddhisme.”
Kesenian Buddhis yang indah dari membangun rupang, menciptakan lukisan dinding tentang beragam kisah Buddhis telah memberikan inspirasi yang sangat besar pada kekayaan seni dan budaya di hampir setiap negara Asia lebih dari 2000 tahun.
Apakah yang membuat pesan-pesan Sang Buddha begitu diminati oleh orang yang telah mengembangkan intelektual mereka? Jawabannya mungkin terlihat pada ketentraman rupang Sang Buddha. Bukan hanya dalam warna dan garis manusia mengekspresikan keyakinannya terhadap Sang Buddha dan ajaranNya. Tangan manusia menempa logam dan batu memproduksi rupang Buddha yang merupakan salah satu ciptaan terbesar dari kejeniusan manusia.
Jika umat Buddha benar–benar ingin melihat kehadiran Sang Buddha dalam segala keagungan dan keindahanNya, mereka harus menerjemahkan ajaran-ajaranNya ke dalam tindakan dan situasi praktis pada kehidupan sehari-hari mereka. Dengan mempraktekkan ajaran-ajaranNya mereka dapat mendekatkan diri dan merasakan pancaran yang luar biasa dari kebijaksanaan dan belas kasihNya yang tidak kunjung padam. Hanya menghormati rupang Sang Buddha tanpa mengikuti ajaran muliaNya bukannya cara untuk menemukan keselamatan.
KehidupanNya begitu indah, hatiNya begitu suci dan baik, pikiranNya begitu dalam dan tercerahkan, kepribadianNya begitu menginspirasikan dan tanpa ke-aku-an - kehidupan yang sangat sempurna, hati yang sangat berbelas kasih, pikiran yang sangat tenang, kepribadian yang sangat tentram yang patut di hormati, layak diberi penghormatan dan layak diberi persembahan. Sang Buddha yang merupakan kesempurnaan tertinggi dari umat manusia, dan keindahan dari kemanusiaan.
Sir Edwin Arnold menjelaskan sifat alami Kebuddhaan di dalam bukunya ”Light of Asia” (Cahaya Asia) seperti berikut:
“Ini adalah bunga dari pohon manusia kita yang berkembang dalam beribu–ribu tahun. Takkala berkembang, mengisi dunia dengan harum kebijaksanaan dan menjatuhkan madu kasih sayang.”
Seorang penyair terkemuka India, Rabindranath Tagore menyebutkan hal penting dari penampilan Sang Buddha dalam bahasa puitisnya dengan cara berikut:
Semua makhluk menangis atas kelahiran baru mereka.
Oh, Engkau yang hidup tanpa batas
Selamatkanlah mereka, bangkitkanlah suara harapan abadiMu
Biarkan teratai cinta dengan harta madu yang tak terhingga itu,
membuka kelopaknya dalam cahayanya.
Oh Kedamaian, Oh Kebebasan,
Di dalam belas kasih dan kebaikanMu yang tidak terukur,
Singkirkanlah semua noda gelap dari hati dunia ini.
Judul Asli: Are Buddhist Idol - Worshippers?
Oleh: Ven. K. Sri Dhammananda
Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com
0 comments:
Post a Comment