DbClix
SentraClix

Friday, September 25, 2009

Kualitas Seorang Buddhis

YE KECI OSADHA LOKE, VIJJANTI VIVIDHA BAHU
DHAMMOSADHASAMAM NATTHI, ETAM PIVATHA BHIKKAVO
Dari semua obat di dunia ini, yang banyak dan beraneka jenis,
Tidak ada satu pun yang menyamai obat Dhamma.
Karena itu, O, para bhikkhu, minumlah obat ini.
(Milindapanha. 335)


Ada sesuatu yang seharusnya kita renungkan sebagai seorang umat Buddha namun jarang sekali kita merenungkan. Sudahkah nilai-nilai luhur Dhamma itu terealisasi dalam kehidupan kita sehari-hari atau hanya sebatas konseptual belaka. Kebanyakan dari kita masih berpegang teguh pada konsep sehingga Dhamma yang masuk ke dalam diri kita hanya sebatas pengetahuan yang memenuhi intelektual kita. Wajar saja jika prilaku kita belum mencerminkan nilai-nilai luhur Dhamma atau setidak-tidaknya ada perubahan yang terjadi di dalam diri kita menuju kepada nilai-nilai luhur Dhamma tersebut.

Kenapa saya membuka uraian ini dengan perenungan itu? Kalimat perenungan itu saya tulis karena terkadang kita salah memegang Dhamma sehingga yang terjadi banyak pandangan salah yang muncul karena penafsiran yang salah terhadap Dhamma yang telah kita pelajari. Banyak pengetahuan Dhamma sangatlah baik, tetapi harus diingat Dhamma itu untuk direalisasi bukan untuk perdebatan atau pun sebagai hiburan batin. Kalau kita puas sampai di situ saja, maka kita tidak ada kemajuan justru yang muncul adalah kekuatan ego, keangkuhan, dan kesombongan. Sehingga kita memandang rendah orang yang pengetahuan Dhammanya sedikit dan pengalaman latihannya belum seperti kita.

Kalau kita hanya sekedar kagum dengan Dhamma dan Dhamma hanya sebagai pengetahuan intelektual belaka maka yang akan muncul adalah kekuatan negatif sehingga prilaku kita tidak akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Pernah muncul sebuah pertanyaan yang dapat menjadikan gambaran bagi kita bahwa Dhamma memang harus direalisasi sehingga menumbuhkan manusia yang mempunyai etika. Tentunya sebagai seorang Buddhis etika yang berkembang adalah prilaku yang sesuai dengan Dhamma. Pertanyaan itu sebagai berikut, “Kenapa ada orang yang pengetahuan Dhammanya tinggi dan pengalaman Dhammanya banyak tetapi prilakunya penuh keangkuhan, tidak ada rasa hormat, memandang rendah yang lain, enggan menolong sesama, dan hal-hal negatif lainnya. Kejadian tadi menggambarkan tidak terealisasinya Dhamma dalam dalam kehidupan sehari- hari, Dhamma hanya berhenti pada intelektual orang tersebut.

Gambaran di atas menunjukan bahwa sebagai seorang umat Buddha bukan hanya teori yang kita kejar tetapi kita juga harus intropeksi kedalam diri kita masing-masing dan bertanya pada diri sendiri, “Sudahkah Dhamma yang saya pelajari terealisasi dalam kehidupan saya?” Kalau belum marilah kita bersama-sama memotivasi diri untuk menjadi seorang Buddhis yang betul-betul bukan hanya sekedar identitas luar. Identitas sebagai seorang Buddhis adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai luhur Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari, baik di rumah tangga, di lingkungan oraganisasi, di lingkungan masyarakat, pendek kata dimanapun kita berada kita harus berusaha untuk menampilkan citra sebagai seorang Buddhis.

Memang untuk merubah kebiasaan buruk yang sudah ada pada diri kita tidak semudah membalikkan telapak tangan tetapi usaha kita akan menentukan perubahan itu. Perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan, namun semua itu adalah langkah awal untuk menuju kepada kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup akan dapat berkembang dalam diri kita, jika kita betul-betul merealisasikan Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari. Dhamma telah memberikan inspirasi bahwa untuk memiliki kualitas hidup harus memiliki etika yang didalamnya terkandung nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai kebijaksanaan.

Pengembangan moral sangat perlu bagi kemajuan kualitas hidup. Moral dan etika membentuk landasan bagi cita-cita sosial, ekonomi, politik, dan religius. Tanpa nilai-nilai moral, kehidupan berada dalam bahaya, oleh karena itu pemeliharaan nilai-nilai moral sangat perlu untuk menuju terwujudnya kualitas hidup. Pengembangan moralitas merupakan aspek penting dalam kehidupan karena moralitas adalah landasan untuk pencapaian kualitas hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi diri kita dan lingkungan kita. Menjaga moral seperti membangun pagar yang melindungi rumah sendiri dan rumah tetangga.

Apa itu moralitas? Ia adalah standar dan prinsip bagi prilaku yang baik di dalam jalan kebaikan. Kata Pali untuk moralitas adalah Sila. Kata ini berarti disiplin dalam pengembangan moral. Ia merupakan disiplin pribadi yang dikembangkan dari dalam dan bukannya muncul dari rasa takut terhadap hukuman. Ia merupakan perbuatan yang berasarkan pada motif-motif yang murni-berdasarkan kasih, kemerdekaan, dan kebijaksanaan yang diperkuat dengan pengertian terhadap kepalsuan terhadap hakikat “diri” dan “ego”. Dengan pengembangan moralitas yang terus menerus akan mengembangkan prilaku yang baik serta pengendalian diri yang mantap. Prilaku yang baik dan pengendalian diri yang mantap itu adalah rasa malu untuk berbuat jahat (Hiri) dan rasa takut akibat dari perbuatan jahat (Ottapa). Dua sikap moral ini akan memberdayakan kualitas hidup kita namun pengembangan moral ini belum cukup karena kita juga harus merealisasikan sikap yang baik ini dalam kehidupan kita. Untuk merealisasikan Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari dibutuhkan nilai-nilai humanisme.

Nilai-nilai humanisme yang kita kembangkan akan langsung menyentuh kehidupan dalam wujud cinta kasih, ramah tamah, kedermawanan, tenggang rasa, rasa hormat dan pemahaman terhadap corak kehidupan. Nilai-nilai humanisme ini terkandung dalam Metta Karuna dan Pabba. Pengembangan Metta Karuna dan pabba ini harus seimbang. Metta Karuna adalah mencakup sifat cinta kasih, suka beramal, ramah tamah, toleransi, dan sifat-sifat luhur lainnya yang ada hubungannya perasaan (emosi) atau sifat-sifat yang timbul dari hatisedangkan Pabba adalah berhubungan dengan intelektual (kecerdasan) atau sifat-sifat yang timbul dari pikiran dan pemahaman jelas tehadap corak kehidupan.

Kalau orang hanya mengembangkan segi perasaannya saja dengan mengabaikan segi inteleknya (kecerdasannya), maka orang ini kelak akan menjadi orang bodoh yang baik hati. Sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan segi inteleknya dengan mengabaikan segi perasaannya, maka orang itu akan menjadi seorang intelek yang “berhati batu” dan tidak mempunyai perasaan kasihan sedikit pun terhadap orang lain.Oleh karena itu, untuk memperoleh kualitas hidup orang harus mengembangkan nilai-nilai luhur tersebut.

Dengan pengembangan nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai humanisme yang telah diuraikan seperti tersebut diatas, kita akan menjadi seorang Buddhis yang memiliki kwalitas yang baik dan akan menjadi contoh bagi manusia lainnya. Tentunya pengembangan nilai-nilai luhur Dhamma ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Kita harus mulai dari tahap yang paling awal, walau begitu kemauan untuk merubah prilaku ke arah yang lebih baik dengan merealisasikan Dhamma akan membawa wujud nyata dari harapan yang baik itu. Untuk menjadi umat Buddha tidak cukup dengan membawa merek atau lambang-lambang Buddhis, kecerdasan intelektual tentang Dhamma, karena tidak akan ada perubahan prilaku justru yang muncul prilaku yang tidak sesuai Dhamma. Realisasi Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari adalah lebih bermanfaat untuk peningkatan kwalitas hidup. Inilah tantangan kita untuk menjadi seorang Buddhis yang baik. Ibarat minuman, kalau ingin merasakan segarnya minum itu, jangan hanya dilihat dan dikagumi tetapi minumlah, baru segarnya minumnya itu dapat dirasakan.

Ditulis Oleh: Bhikkhu Abhayanando

Related Post :

0 comments: