DbClix
SentraClix

Saturday, September 19, 2009

"Siapapun yang Meninggalkan ..."

Kisah ini diceritakan oleh Sang Buddha ketika berada di Hutan Bambu mengenai seorang brahmana yang memiliki kemampuan dalam meramalkan pertanda atau alamat [372] yang tampak melalui sepotong pakaian.

Dikisahkan bahwa di Rajagaha tinggal seorang brahmana yang percaya akan takhyul dan memiliki pandangan-pandangan salah, serta tidak memiliki keyakinan kepada Sang Tiratana. Brahmana tersebut sangat kaya dan memiliki harta benda yang berlimpah. Pada suatu hari ada seekor tikus betina yang menggigit salah satu pakaian miliknya di bagian dada pakaian tersebut. Suatu saat setelah ia mandi, ia ingin mengenakan pakaian itu, dan kemudian ia diberitahu hal yang telah dilakukan oleh sang tikus terhadap pakaiannya.


"Jika pakaian ini tetap berada di dalam rumahku," pikir Brahmana pada dirinya sendiri, "pakaian ini akan membawa sial, bagaikan sebuah pertanda buruk yang pasti akan mendatangkan kutukan. Tidak mungkin memberikannya kepada salah seorang anakku maupun pembantu-pembantuku, bagi siapapun yang memiliki pakaian ini akan membawa ketidakberuntungan bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Saya harus membuangnya di tempat pembuangan mayat, namun bagaimana caranya? Saya tidak bisa menyerahkan tugas ini kepada para pelayan, mungkin saja akan timbul keinginan pada diri mereka untuk memilikinya lalu kemudian menyimpannya di dalam rumah saya. Anak laki-laki saya yang harus mengerjakannya."

Kemudian ia memanggil anak laki-lakinya, dan menceritakan seluruh permasalahan, memerintahkan kepada dia untuk mengambil sebuah tongkat, membawa pakaian tersebut tanpa menyentuh dengan tangannya, dan membuang pakaian tersebut di sebuah tempat pembuangan mayat. Kemudian memerintahkan anaknya untuk memandikan tubuhnya dan kembali ke rumah.

Saat itu ketika hari masih fajar, Sang Buddha sedang melihat dengan mata batinnya ke seluruh penjuru apakah ada manusia yang dapat dituntun untuk menuju jalan kebenaran. Menyadari bahwa brahmana dan anak laki-lakinya memiliki kesempatan untuk mencapai pembebasan. Kemudian Sang Buddha pergi bagaikan seorang pemburu yang sedang dalam perjalanan untuk berburu, menuju ke tempat pembuangan mayat, lalu duduk pada jalan masuk yang menuju ke sana, memancarkan enam warna dari tubuhnya yang merupakan tanda dari seorang Buddha. Tidak lama kemudian anak laki-laki dari Sang Brahmana tiba di tempat tersebut, dengan hati-hati membawa sepotong kain seperti yang telah diperintahkan oleh ayahnya, pada ujung tongkat yang dibawanya, seolah-olah ia membawa seekor ular.

"Apa yang sedang anda lakukan, Brahmana muda?" tanya Sang Buddha

"Gotama yang baik," jawabnya, "pakaian ini, telah digigit seekor tikus, hal ini merupakan gambaran dari sebuah nasib buruk, sama mematikannya apabila seseorang direndam oleh cairan beracun, dan karena ayah saya takut apabila seorang pelayan mempunyai keinginan untuk memilikinya lalu kemudian menyimpannya, maka ia menugaskan saya. Saya berjanji bahwa saya akan membuang pakaian ini dan memandikan seluruh tubuh setelahnya, pesan itulah yang telah membawa saya ke tempat ini."

"Jika demikian, buanglah pakaian itu," kata Sang Buddha, dan Sang Brahmana muda melakukannya.

"Pakaian ini sangat cocok untuk saya," kata Sang Buddha, yang kemudian mengambil pakaian yang sarat dengan kutukan tersebut di depan mata pemuda itu, tidak mengacuhkan peringatan yang dikatakan dengan sungguh-sungguh oleh brahmana muda yang kemudian mengulangi permohonannya kepada Sang Buddha untuk tidak mengambil pakaian tersebut, Sang Buddha lalu pergi menuju Hutan Bambu.

Sang Brahmana muda dengan tergesa-gesa berlari pulang ke rumah, untuk memberitahukan ayahnya bagaimana Sang Petapa Gotama menyatakan bahwa pakaian tersebut sangat cocok bagi-Nya, dan tetap dalam pendiriannya, tidak melakukan semua peringatan dan melakukan hal sebaliknya, mengambil pakaian tersebut dan pergi ke Hutan Bambu.

"Pakaian tersebut," pikir Sang Brahmana pada dirinya sendiri, "menggiurkan dan dikutuk. Walaupun Petapa Gotama tidak dapat memakai pakaian tersebut tanpa tertimpa kemalangan, hal itu akan membawa nama buruk bagiku. Saya akan memberikan Petapa Gotama pakaian lain dalam jumlah yang berlimpah-limpah dan memintanya untuk membuang pakaian tersebut."

Kemudian dengan membawa jubah yang banyak, Sang Brahmana bersama dengan putranya pergi menuju Hutam Bambu. Ketika ia tiba di hadapan Sang Buddha, Sang Brahmana berdiri dengan penuh penghormatan pada satu sisi dan berkata demikian, "Apakah hal ini benar, seperti yang saya dengar, bahwa Anda, Gotama yang baik [373] mengambil sepasang pakaian di sebuah lapangan terbuka tempat pembuangan mayat?"

"Hal ini benar, Brahmana."

"Gotama yang baik, pakaian tersebut telah dikutuk, jika Anda memakai pakaian itu, pakaian itu akan menghancurkan hidup Anda." Jika Anda tetap bertahan untuk membutuhkan pakaian, ambillah yang ini dan buanglah pakaian tersebut."

"Brahmana," jawab Sang Buddha, "secara jelas Saya telah mengumumkan kepada dunia, dan Saya puas dengan kain-kain bekas yang terdapat di pinggiran jalan atau tempat-tempat pemandian, atau yang dibuang di tempa sampah atau di tempat-tempat pembuangan mayat. Sebagaimana kau telah memegang kepercayaanmu akan takhyul pada kehidupanmu yang lampau, demikian pula hal yang sama anda lakukan pada kehidupan saat ini."

Kemudian, atas permintaan Sang Brahmana, Sang Buddha menceritakan kisah pada kelahiran yang lampau.

Kisah yang lampau

Pada suatu masa, pada saat pemerintahan seorang raja yang adil dari Magadha di kota Rajagaha, di Kerajaan Magadha. Pada saat itu Sang Bodhisatta terlahir sebagai seorang Brahmana di sebelah barat laut. Setelah tumbuh dewasa, ia memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang petapa, untuk mencari pengetahuan dan pencerahan, dan kemudian pergi serta tinggal di Gunung Himalaya, dan memutuskan untuk menetap di sebuah daerah milik Raja. Pada hari kedua ia pergi ke kota untuk mencari sedekah makanan.

Melihat petapa tersebut, Sang Raja mengundangnya ke istana dan di sana sang petapa diberikan sebuah tempat duduk dan jamuan makan, -meminta sang petapa untuk bersedia menetap di halaman kerajaan milik Raja. Dengan demikian Sang Bodhisatta terbiasa menerima makanan di istana dan tinggal di halaman kerajaan.

Pada suatu hari di kota tinggal seorang Brahmana yang dikenal sebagai seorang peramal pakaian. Dan ia memiliki sepasang pakaian yang digigit oleh tikus pada bagian dada, kemudian hal yang sama terjadi seperti halnya pada cerita sebelumnya. Namun ketika putra Sang Brahmana sedang dalam perjalanan menuju tempat pembuangan mayat, Sang Bodhisatta telah tiba di sana terlebih dahulu dan duduk di pintu masuk, kemudian mengambil pakaian yang dibuang oleh Sang Brahmana muda, dan kembali ke halaman kerajaan. Ketika Brahmana muda menceritakan kejadian itu kepada ayahnya, Sang Brahmana berkata, "Akan terjadi kematian pada Sang Petapa milik raja," dan meminta Sang Bodhisatta untuk membuang pakaian itu, agar ia tidak ditimpa kemalangan.

Namun Sang Petapa mejawab, "Bagi kami, kain-kain bekas yang dibuang di tempat pembuangan mayat adalah cukup baik. Kami tidak mempercayai takhyul mengenai keberuntungan, yang mana tidak dibenarkan oleh para Buddha, Pacceka Buddha, maupun Bodhisatta, dan oleh karena itu orang bijaksana sepatutnya tidak mempercayai hal-hal itu."

Mendengar kebenaran yang disampaikan, Sang Brahmana menyadari kekeliruannya dan menyatakan berlindung kepada Bodhisatta.

Dan Sang Bodhisatta menjaga pandangan Sang Brahmana agar tetap tak berubah, sehingga setelah kematiannya ia terlahir kembali di alam Brahma. [374]

Setelah menceritakan kisah tersebut, Sang Buddha, mengajarkan kebenaran kepada Sang Brahmana melalui syair berikut:

Siapapun yang meninggalkan ramalan-ramalan, mimpi-mimpi, dan pertanda-pertanda, orang tersebut, bebas dari kekeliruan akan takhyul, akan memperoleh kemenangan atas moral-moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan sampai akhir waktu.

Ketika Sang Buddha telah membabarkan Dhamma-Nya pada Sang Brahmana dalam bentuk syair tersebut, kemudian Ia menjelaskan lebih lanjut mengenai Empat Kebenaran Mulia, di saat khotbah berakhir Sang Brahmana dan putranya mencapai tingkat kesucian yang pertama. Sang Buddha menganalisa kelahiran dengan berkata, "Sang ayah dan putranya pada kehidupan saat ini juga merupakan ayah dan anak pada kehidupan yang lampau, dan saya sendiri adalah sang petapa."

Related Post :

0 comments: