Seperti Avalokistesvara yang mempunyai tempat suci yaitu di Gunung Potalaka, Tibet, Guan Yin juga meliki sebuah pulau sebagai tempat bersemayamnya yaitu Pu Tuo Shan. Pu Tuo Shan adalah sebuah pulau kecil, yang terletak di sebelah timur kepulauan Zhoushan. Luas pulau ini hanya sekitar 13 KM2. di tengahnya terdapat sebuah bukit yang merupakan bagian tertinggi dari pulau itu, yang disebut Fo Ding Shan atau Puncak Buddha. Dewasa ini banyak pelancong dan peziarah yang datang kemari, kedatangan mereka diatur oleh Biro – biro perjalanan yang berpusat di Ning Po.
Pada perayaan tahun Guan Yin, pulau ini penuh sesak di kunjungi oleh peziarah dari segala penjuru dunia. Tempat yang dikunjungi peziarah terutama adalah sebuah gua pesisir yang disebut Gua Deburan Ombak. Disini, menurut catatan, beberapa kali Guan Yin menampakkan diri dihadapan para pemujanya dan para pendeta suci. Penampakkan Guan Yin di pulau ini pernah disaksikan oleh Dr Sun Yat Sen, Bapak Pendiri Republik Tiongkok, yang berkunjung ke sini pada tanggal 25 Agustus 1916, demikian menurut seorang pengarang wanita Amerika, Mary M. Anderson dalam bukunya “Guan Yin The Goddes of Mercy”.
Tercatat pada tahun 916 M, yaitu pada jaman Lima Dinasti, seorang pendeta Jepang, Hui E, dalam perjalanan pulang dari Wu Tai Shan, mendarat di Pu Tuo, setelah perahunya terhamtam oleh hujan, angina dan gelombang. Di Pu Tuo Shan ini, Hui E lalu mendirikan kuil Buddha. Pada tahun 1214 M, yaitu pada dinasti Song, barulah tempat ini diputuskan untuk pemujaan Guan Yin sehubungan dengan beberapa kali penampakkannya. Kelenteng yang terbesar di pulau itu adalah Pu Ji Si. Di kelenteng inilah, seorang pendeta menulis sebuah buku tentang kisah putri Miao Shan, pada tahun 1102. kisah Miao Shan ini yang kemudian menjadi legenda tentang asal mula Guan Yin versi Tionghoa. Sebagai imbalan atas usahanya, sang pendeta memperoleh anugerah yaitu dapat menyaksikan penampakkan diri Dewi Welas Asih sendiri.
Kisah Miao Shan yang sangat mengharukan itu dimuatkan dalam gulungan Kitab Pusaka dari Xiangshan, yang isinya kira – kira sebagai berikut : Pada jaman akhir dinasti Zhou (kira – kira abad 3 SM), disebelah Barat gunung Semeru, ada sebuah negeri yang disebut Xing-lin, luasnya kira – kira 18.000 Li. Raja negeri ini bernama Pao Qie dan memakai gelar Miao Zhuang untuk tahun pemerintahannya. Pada waktu berumur 20 tahun, rakyat mendukungnya untuk menjadi raja di negeri itu. Beliau mempunyai permaisuri yang bernama Bao De, umurnya sama dengan Sri Baginda, permaisuri ini sangat berbudi dan sangat ramah serta murah hati. Sayang sang raja tidak punya putra, yang ada hanya tiga putrid. Putri yang tertua bernama Miao Shu, yang kedua Miao Yin dan yang bungsu bernama Miao Shan.
Setelah menginjak usia dewasa, raja mencarikan menantu untuk ketiga putrinya itu. Miao Shu memilih seorang pejabat sipil, sedangkan Miao Yin memilih seorang jenderal perang sebagai suaminya. Hanyalah Miao Shan seorang yang tak hendak menjatuhkan pilihannya. Malah kemudian ia meninggalkan istana dan pergi ke Ruzhou dan menjadi bikkhu wanita di kelenteng Bai Que Si. Didalam kelenteng atau vihara itu terdapat kira – kira 500 orang bikkhuni. Kepala bikkhu disitu memerintahkan Miao Shan bekerja berat, dibagaian dapur. Sebetulnya kepala bikkhu ini telah mendapat perintah dari ayah Miao Shan agar membuat putrinya tidak betah untuk hidup di vihara itu.
Melihat keteguhan hati Miao Shan, Dewa Dapur Zao Jun, lalu membuat laporan kepada Yu Huang Da Di. Yu Di menerima laporan ini segera memerintahkan para malaikat dari Lima Pegunungan, dan Delapan Dewa Naga, untuk membantu Miao Shan di vihara Bai Que Si. Kemudian disusulnya peritah kepada Raja Naga dari lautan timur untuk membuat sumur di dapur Vihara itu, dan para binatang liar di pegunungan berdatangan mengantar kayu bakar, serta burung – burung membawa sayur – mayur. Dengan segala bantuan ini Miao Shan tidak banyak mengalami kesengsaraan.
Raja Miao Zhuang akirnya mengirim tentara ke Vihara itu untuk memaksa agar Miao Shan. Pasukan ini dipimpin oleh Raja Muda Zhau dan Raja Muda Ye. Biyara Bai Que Si di bakar, Miao Shan lalu berdo’a memohon perlindungan Yang Maha Kuasa,kemudian ia mencabut tusuk kondenya dan ditusukan ke lidahnya. Darah dari lidah itu di semburkan ke udara,dan tiba-tiba dari angkasa turun hujan yang berwarna merah. Api yang berkobar menelan biara itu segera padam.
Miao Zhuang, mendengar berita ini, gusar bukan buatan, tentara diperintahkan untuk menangkap Miao Shan dan menyeretnya untuk dihukum mati. Sang Buddha yang mengetahui peristiwa ini lalu memerintahkan pada Tu-di, sang Dewi Bumi, untuk menyelamatkan Miao Shan. Beliau bersabda”Tak ada di dunia sebelah barat ini manusia yang sesuci dan sebaik Miao Shan. Besok ketika pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan patahkanlah golok dan tombak para algojo yang dipergunakan untuk membunuh dia. Jagalah agar dia tidak banyak menderita kesakitan. Pada saat kematiannya, rubahlah dirimu menjadi seekor harimau dan bawalah tubuhnya ke suatu Hutan Pinus. Sembunyikan dan masukkan sebutir pil ke dalam mulutnya agar tubuh itu tidak membusuk. Rohnya akan kembali mencari badan kasarnya sesudah selesai perjalanan ke neraka. Setelah itu ia akan bersemayam di bukit Xiang Shan di pulau Pu Tuo samapi mencapai kesempurnaan”.
Pada waktu pelaksanaan hukuman di jalankan, golok dan tombak para algojo patah ketika menyentuh leher Miao Shan. Lalu leher Miao Shan dijerat dengan tali baja, barulah sang putri tewas. Bersamaan dengan itu mendadak seekor macan besar menyerbu masuk dan menggondol tubuh putri yang malang itu, lalu membawanya masuk ke dalam Hutan Pinus.
Roh Miao Shan di neraka, karena kesucian dan ke – welas – asihannya, serta ketulusan do’anya, menyebabkan tempat yang penuh penderitaan itu berubah menjadi seperti sorga. 10.000 roh yang tersiksa memperoleh pengampunan berkat do’anya. Akhirnya Yan Luo Wang, penguasa akherat, menyuruhnya kembali ke badan kasarnya, dan hidup kembali. Begitu siuman, O Mi Duo Fo muncul dan menganjurkan dia meneruskan praktek – praktek untuk mencapai kesempurnaan di Xiang Shan kepulauan Pu Tuo. Sebelum pergi O Mi Duo Fo memberinya persik dewa. Dengan makan persik itu, Miao Shan tidak akan lapar dan haus, lebih – lebih lagi ketuaan dan kematian akan menyentuh selama – lamanya. Dengan dihantar oleh harimau jelmaan Dewa Bumi, Miao Shan akhirnya sampai dengan selamat di Pu Tuo Shan.
Sembilan tahun berselang, Raja Miao Zhuang menderita penyakit bisul ganas, sudah banyak tabib kenamaan yang dipanggil untuk mengobati tapi tak juga berhasil. Miao Shan, dengan menyamar sebagai seorang pendeta tua,datang menengok. Miao Shan mencukil kedua matanya dan memotong kedua telapak tangannya utnuk mengobati ayahnya itu. Setelah penyakitnya sembuh, barulah Maio Zhuang menyadari kebaktian putrinya. Ia lalu mengangkat pengganti dan mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Dengan diiringi para menteri dan sanak keluarganya ia pergi ke Xiang Shan, untuk bertobat dan menganut ajaran Buddha.
Sang Buddha kemudian memberi gelar Miao Shan sebagai Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Pu Sa yang berarti Guan Shi Yin Pu Sa penolong kesukaran dan kesengsaraan yang bermata dan bertangan seribu dan tak ada bandingannya.
Kemudian Yu Huang juga menganugerahi saudara Miao Shan yaitu Miao Shu, sebagai Pu Xian Pu Sa (Po Hian Po Sat – Hokkian), Miao Yin sebagai Wen Shu Pu Sa (Bun Cu Po Sat – Hokkian). Miao Zhuang, sang ayah bersama istrinya Bao De, juga diangkat sebagai Pu Sa. Wen Shu, dan Pu Xian sering kali ditempatkan mendampingi Guan Shi Yin di berbagai kelenteng.
Masih ada beberapa versi, seperti yang dimuat dalam kitab Shou-sen-ji (Catatan tentang kumpulan Para Dewa), agak berbeda dengan apa yang ditulis dalam kitab Xiang-shan. Raja Miao Zhuang, misalnya dalam kitab Xiang-shan dikatakan berperangai halus dan berbudi. Sebaliknya dalam Shou-sen-ji, beliau disebut sebagai berwatak kasar, kejam dan gemar nerperang. Tapi secara garis besar, versi – versi yang dimuat dalam beberapa kitab, tidak memiliki perbedaan besar dalam kisah keseluruhannya.
Miao Shan Guan Yin ditampilkan dengan keadaan duduk, tangannya dalam sikap meditasi dan membawa mutiara yang menyala. Banyak lukisan atau pahatan menampilkan dia sedang duduk di atas batu karang dekat air yang mengalir deras, atau di tengah lautan. Lukisan lain memperlihatkan dia sedang membawa gulungan kitab suci yang melambangkan Sutra Penerangan Hati, atau sebatang dahan pohon Yangliu untuk memercikkan embun suci (Amritha) yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit dan mengusir roh – roh jahat. Masih ada bentuk lukisan lain yang menampilkan Guan Yin membawa tasbih mutiara di tangannya, tapi sering juga tasbih itu dibawa di paruh seekor burung kakak – tua. Bajunya berwarna putih dan tampak melayang di atas awan, di atas bunga teratai atau di atas kelopak teratai yang terapung di lautan. Lukisannya yang paling terkenal adalah pada waktu di tampilkan bersama dengan pembantunya yaitu Si Anak Merah, Shan Cai, dan Si Gadis Naga Long Nü. Shan Cai dengan posisi menyembah dan Long Nü membawa mutiara yang menyala.
Tentang Shan Cai dan Long Nü ini, ada kisahnya tersendiri. Pada waktu Tu Di Gong mengantar Miao Shan ke pulau Pu Tuo, menjaganya selama 9 tahun, sampai akhirnya sang putri mencapai kesempurnaan. Ditentukan hari pelantikan Miao Shan menjadi Pu Sa adalah tanggal 19 bulan 9 Imlik. Tu Di menyebarkan banyak undangan untuk menghadiri pelantikan tersebut. Yang diundang antara lain adalah San Guan Da Di, Shi Dian Yan Luo (10 Raja Akherat) Ba Xian (8 Dewa), Wu Yue Da Di (dewa dari Lima Pegunungan) dan lain – lain. Pada hari yang telah ditentukan, para undangan telah berkumpul, Miao Shan duduk di atas singgasana bunga teratai, lalu para Dewata itu mengumumkan pelatikan di kalangan ke-Buddha-an dan wilayah kekuasaannya di langit dan bumi. Kemudian mereka beranggapan bahwa tidak sepantasnyalah Miao Shan sekarang dinamakan Guan Shi Yin berada di Xiang Shan seorang diri tanpa pembantunya. Mereka mengusulkan agar dicarikan dua pembantu, seorang pria perjaka dan gadis yang bertugas melayani semua keprluannya di tempat itu. Tu Di diserahi tugas untuk menemukan calon yang sesuai.
Dalam perjalanan mencari calon pembantu Guan Yin ini, Tu Di bertemu dengan seorang pendeta mudan yang bernama Shan Cai. Setelah kematian kedua orang tuanya, Shan Cai menjadi pertapa di gunung Da Hua Shan, tapi tanpa bimbingan ia merasa sulit untuk mencapai kesempurnaan. Dengan perantara Tu Di akhirnya Shan Cai menghadap Guan Yin. Guan Yin masih meragukan kesungguhan hati pemuda ini dan ingin mengujinya. Disuruhnya pemuda itu menempati sebuah puncak di pulau itu, dan menunggu sampai Guan Yin menemukan cara untuk mengatur kesempurnaannya.
Miao Shan kemudian memanggil Tu Di dan meminta agar para dewa yang hadir di situ mau menyamar menjadi bajak – bajak laut yang mau mengepung gunung itu, membawa obor dan senjata tajam mengancam akan membunuh Guan Yin. “Aku akan lari ke puncak dimana Shan Cai sekarang berada dan menguji kesetiannya”, kata sang Dewi.
Tak lama kemudian segerombolan bandit dan bajak laut datang mengepung vihara di Xiang Shan itu. Guan Yin melarikan diri ke puncak, ia terpeleset dan terguling ke dalam jurang. Melihat sang dewi terguling, Shan Cai tanpa ragu – ragu segera terjun untuk menyelamatkannya. “Anda tidak mempunyai sesutau yang berharga untuk dirampok mereka, mengapa takut dan terjun ke jurang, sehingga terancam bencana kematian”, tanya Shan Cai. Melihat pemuda itu menangis, Guan Yin berkata “aku harus tunduk pada kehendak langit”.
Shan Cai, dengan segala kepedihan hatinya, berdo’a kepada Langit dan Bumi agar Sang Dewi diselamatkan. “Seharusnya kau tak perlu menunjukkan diri untuk menolong aku dengan penuh resiko. Aku belum menjelmakan kau kembali dan mengantarmu kesempurnaan. Tapi kau adalah anak yang berani, aku sekarang tahu hatimu baik, Lihatlah ke bawah sana “ kata Guan Yin. Shan Cai lalu menoleh “Aku melihat mayat”.
“Ya, itulah badanmu yang lama. Sekarang kau telah dijelmakan kembali, dan kau dapat terbang dan membumbung keangkasa sesuka hatimu!” Guan Yin berkata. Shan Cai membungkukkan badannya tanda terima kasih dan Guan Yin berkata lagi “Selanjutnya kau selalu berada di sampingku dan berdo’a, jangan meninggalkan aku seharipun”. Sejak itulah Shan Cai selalu hadir di sebelah Guan Yin.
Tentang bagaimana Shan Cai menjadi murid Guan Yin, cerita terkenal “Xi You Ji” mempunyai versi yang lain lagi. Dikisahkan dalam perjalanan mengambil kitab suci ke langit barat, pendeta Xuan Zhang bersama ketiga muridnya Sun Wu Kong, Si Monyet Sakti, Zhu Ba Jie Siluman Babi dan Sha He Shang dicegat oleh seorang siluman yang berijut anak kecil yang sangat sakti. Ternyata siluman anak kecil itu adalah putra Niu Mo Wang (Gu Mo Ong – Hokkian) dan Luo Sa Nü (Lo Sat Li – Hokkian), yang diberi nama Niu Sheng Ying (Gu Seng Eng – Hokkian) alias Hong Hai Er (Ang Hay Ji – Hokkian) atau si Anak Merah. Si Anak Merah ini sakti sekali, ia bermaksud menawan pendeta Xuan Zhang untuk disantap dagingnya. Beberapa kali Sun Wu Kong dibuat tak berdaya oleh semprotan api saktinya. Tapi si Monyet Sakti tak kehabisan akal. Ia lalu meminta bantuan Guan Yin Pu Sa untuk menaklukkan Hong Hai er. Akhirnya Hong Hai Er dapat ditaklukkan dan dibawanya pulang ke Pu Tuo Shan untuk menjadi muridnya dan diberi gelar Shan Cai. Versi ini memang berbeda sekali dengan apa yang dituturkan dalam kisah Miao Shan.
Tentang Gadis Naga Long Nü dikisahkan sebagai berikut ini. Dengan kekuatan gaibnya Miao Shan melihat bahwa putra ketiga Long Wang, Sang Raja Naga, sedang menjelma menjadi ikan tambera. Dalam perjalanan melaksanakan tugas ayahnya, tak terduga ikan itu terperangkap dalam jala nelayan, dan diangkat ke darat lalu dijual ke pasar. Miao Shan lalu memerintahkan pelayannya yang setia, Shan Cai untuk membeli ikan itu, yang kemudian dibawa ke Pu Tuo Shan untuk dilepaskan ke laut bebas. Putra ketiga Sang Raja Naga sangat berterima kasih atas pertolongan Guan Yin. Sang Raja Naga dalam terima kasihnya kepada Miao Shan Guan Yin bermaksud menghadiahkan sebutir mutiara yang dapat bersinar di waktu malam. Long Nü cucu perempuan Long Wang dari pangeran ketiga tersebut mohon ijin untuk menghantarkan hadiah kepada Miao Shan. Di hadapan Miao Shan, Long Nüminta diijinkan untuk belajar ajaran orang – orang suci di bawah bimbingannya. Setelah mengetahui kesungguhan hatinya, Miao Shan akhirnya menerima Long Nü sebagai murid. Shan Cai memanggilnya kakak. Mereka bersama – sama mendampingi Miao Shan. Sering juga Long Nü ini ditampilkan dalam bentuk naga yang sedang ditunggangi oleh Guan Yin. Oleh Yu Huang Da Di, Shan Cai diberi gelar Jin Tong (Kim Tong – Hokkian) yang berarti “jaka emas” dan Long Nü bergelar Yu Nü (Giok Li – Hokkian) yang berarti “gadis kumala”.
Pengaruh Guan Yin Dalam Sastra.
Dalam kalangan sastra rakyat, Guan Yin mempunyai kedudukan yang penting. Di kota Guangzhou misalnya anda dapat memperoleh banyak buku – buku dongeng dan terbitan lain yang memuat syair puji – pujian untuk Guan Yin pada penjual buku kaki lima dengan mudah, seperti, “Lahirnya Guan Yin” atau “Guan Yin Menjelma” dan lain – lain.
Dalam Xi You Ji, novel dongeng termashur itu, anda dapat dengan mudah menemukan peran penting Guan Yin dalam menyelesaikan pertikaian antar Sun Wu Kong, Si Kera Sakti, dengan para siluman yang mencoba menggangu perjalanannya. Tak ketinggalan novel Feng Shen juga menampilkan Guan Yin dalam versi Taoist dengan nama Zi Hang Dao Ren (Cu Hang To Jin – Hokkian) yang membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya (Kiang Cu Ge – Hokkian) dalam menumbangkan kaisar Zhou Wang yang jahat.
Drama rakyat yang sangat popular yaitu “Kisah Mu Lian Menolong Ibunya di Neraka”, juga menempatkan Guan Yin pada kedudukan yang paling penting. Drama ini sendiri bersumber pada sebuah dongeng yang berkisah seperti di bawah ini :
“Pada saat Mu Lian memperoleh kekuatan, ia dapat mengetahui bahwa roh ibunya di neraka telah terjerumus menjadi setan yang kelaparan, Ia lalu mengisi mangkoknya dengan nasi untuk diberikan pada sang ibu tapi ternyata nasi berubah menjadi api. Melihat usahanya yang sia – sia, Mu Lian menangis sedih. Ia lalu mengatakan kepada Sang Buddha, sang Buddha lalu mengajarkan cara memberi pertolongan, Mu Lian disuruh menyiapkan makanan yang bermacam – macam dan ditempatkan dalam baskom untuk menjamu para Pendeta dari 10 penjuru, selama 75 hari. Dengan berbuat amal begini, dengan sendirinya ibunya terlepas dari segala kesengsaraan ketika menjadi setan kelaparan. Mu Lian sangat bersuka cita. Demikian juga umat manusia di bumi, mereka dengan gembira memuji kejadian ini (Sembahyang Rebutan yang disebut Yi-lan pen-hui atau Alam Bana dimulai dari kisah ini).
Dari sebuah dongeng pendek, kisah ini dibeberkan menjadi drama yang panjang. Ketika Mu Lian turun ke neraka untuk menolong ibunya, Guan Yin beberapa kali menampakkan diri menolong Mu Lian menemukan jalan untuk menuju ketempat ibunya.
Pengaruh Agama Buddha pada sastra Tiongkok yang paling besar adalah Kitab – kitab Suci Buddhist. Kitab – kitab suci yangmengisahkan Guan Yin ada beberapa, yaitu Kitab dari Xiang Shan (yang kita bahas dalam legenda Guan Yin) Kitab Suci Keranjang Ikan, dan Kitab Suci Burung Kakak – tua. Kitab – kitab ini berisikan karya sastra yang tinggi nilainya.
Dalam Kitab Suci Burung Kakak-tua dikisahkan bagaimana seekor kakak-tua menjadi pengikut Guan Yin :
“Adalah Seekor burung kakak-tua yang sangat berbakti kepada induknya. Suatu ketika induknya yang sakit menginginkan buah Cherry yang ada di tempat sebelah timur. Maka terbanglah sang kakak – tua ke negeri sebelah timur untuk mengambil buah tersebut. Tak terduga ia masuk ke dalam jerat pemburu dan tertangkap. Kepada sang pemburu ia menceritakan hal ihwalnya tapi rupanya sang pemburu tidak peduli. Seorang hartawan tertarik akan burung yang dapat berbicara ini, lalu membelinya. Sang burung ditempatkan dalam sangkar, tapi ia terus menasehati sang hartawan agar melepaskannya. Suatu hari Boddhidharma datang dan menyuruh agar dia pura – pura mati. Sang hartawan yang lihat sang kakak – tua yang mati, lalu membuangnya. Begitu bebas, sang kakak-tua segera mengepakkan sayap-sayapnya dan terbang. Tapi telambat, ibunya telah mati. Dalam kesedihannya sang kakak-tua jatuh pingsan. Guan Yin datang menyadarkan dia dengan memercikkan embun kehidupan dari botol yang dibawanya. Juga ayah ibu kakaktua itu, dibantu untuk melewati karmanya dan menjelma kembali menjadi manusia. Sejak itu sang kakak-tua pergi mengikuti Guan Yin dan paruhnya mencocok sebuah tasbeh mutiara, inilah sang kakak-tua.
Pemujaan Guan Yin
Di atas telah kita singgung sedikit, bahwa pusat pemujaan Guan Yin terletak di Pu Tuo Shan, sebuah pulau kecil di sebelah timur Kabupaten Dinghai, Propinsi Zhejiang. Tiap tahun, terutama pada musim semi dan panas, para peziarah yang berjumlah puluhan ribu berbondong – bondong datang ke sini untuk bersembahyang. Mula – mula pulau ini bernama Hai Qin Shan, nama ini tetap digunakan untuk sebuah bukit kecil yang terletak di bagian selatan pulau ini. “Pu Tuo” adalah sebuah istilah Buddha, yang berarti gunung suci Putoloka di India. Sebelah tenggara gunung ini terletak pulau Srilangka. Menurut Johnston dalam buku yang berjudul “Buddhist China”, Putoloka adalah puncak bagian barat dari pegunungan Malaya di bagian selatan India. Di Tiongkok ada dua tempat yang dinamakan Pu Tuo Shan. Yang satu adalah yang telah kita bicarakan yaitu sebelah timur propinsi Zhejiang, yang satu lagi terdapat di Tibet.
Jadi Pu Tuo adalah kependekkan dari Putoloka, Pu Tuo berarti bunga putih, sedangkan “loka” berarti gunung. Sebab itu pengarang – pengarang jaman dinasti Yuan menyebut Pu Tuo Shan sebagai Xiao Bai Hua Shan (Gunung Bunga Putih Kecil). Konon memang gunung Pu Tuo Shan banyak ditumbuhi oleh bunga putih yang dalam bahasa Latin disebut Gardenir Florida. Pendeta – pendeta jaman dinasti Tang, karena melihat bunga – bunga ini lalu memilih gunungnya sebagai pusat pemujaan, ataukah melihat gunungnya lebih dahulu baru kemudian menanam bunganya, sulit diterangkan.
Para pemuja Guan Yin menganggap tanggal 29 bulan 8 Imlik sebagai tanggal perayaan kelahirannya (sebagian ada yang merayakan pada tanggal 19 bulan 2 Imlik), karena dalam setahun, pada tanggal itulah ombak paling besar, dikaitkan dengan Guan Yin sebagai Dewi Pelindung Lautan. Tapi kalangan awan cenderung untuk menganggap Guan Yin adalah nama gabungan dari beberapa Guan Yin Pu Sa. Ada Guan Yin Pu Sa sebagai pelindung lautan, Guan Yin Pu Sa sebagai Dewi Pemberi Anak dan lain – lain yang masing – masing dicarikan hari lahir tersendiri. Ini menyebabkan kita sering menemui perayaan hari lahir Guan Yin Pu Sa tidak sama diberbagai tempat dalam setahun, kecuali bulan yang – 12 dalam 11 bulan lainnya tentu terdapat hari lahirnya, yang berarti juga hari vegetarian (Ciak Jay), bagi para pemujanya.
Di Guang Zhou, tanggal 24 bulan 2 Imlik, sering dianggap sebagai hari lahir Guan Yin Pengantar Anak. Pria dan wanita dari berbagai pelosok perkumpulan menjadi satu dalam suatu perayaan yang disebut Sheng Cai Hui (perayaan sayur mentah). Para pengikut upacara biasanya datang ke pusat perayaan dengan membeli sayur mentah, dengan harapan memperoleh tuah melahirkan anak, sebab “Sheng Cai” (yang berarti sayur mentah) dan “Sheng Zai” (yang berarti melahirkan anak), punya suara yang mirip. Di tempat perayaan dibuat kolam kecil. Dalam kola mini sebelumnya telah dimasukkan sejumlah kerang dan keong. Orang – orang yang datang kemari memasukkan tangannya ke dalam kolam, kalau yang terambil adalah keong, maka ia boleh berharap memperoleh anak lelaki, tapi kalau kerang yang terambil, harapannya anak perempuan.
Kebiasaan ini asal – usulnya dapat ditelusuri pada masa pemerintahan Kaisar Wen Zong (827 – 840 M). Kaisar Wen Zong gemar sekali akan tiram. Pada suatu hari ia menemukan tiram yang besar, yang kulitnya keras sekali. Setelah berhasil dibuka ternyata didalamnya terdapat patung Guan Yin kecil Kaisar terperanjat, barulah setelah mendengar penjelasan dari para ahli filsafat kerajaan, ia sadar dan menjadi penganut Guan Yin yang tekun, dan banyak mendirikan kelenteng untuk Guan Yin. Pemujaan Guan Yin sejak itu jadi sangat berkembang, Kaisar meninggal tahun 840, dan kelenteng di Pu Tuo Shan selesai didirikan pada tahun 847 M.
Para pemuja Guan Yin berpantang makanan daging sapi, burung dara, udang, ikan yang tidak bersisik, sarang burung (Yan – oh), daging kuda, daging anjing, bulus dan jenis kerang. Harapan mereka terbesar adalah dapat melihat wajah Guan Yin. Mereka yang pergi ke Pu Tuo Shan pasti menyempatkan diri memasuki gua dimana Guan Yin pernah menampakkan diri. Ada yang sampai membakar sepuluh jarinya dengan api lilin, agar bisa meraga sukma dan bertemu sang Dewi. Kebiasaan ini jelas berasal dari India. Konon orang yang melakukan cara itu tidak ada yang tidak berhasil melihat Guan Yin. Meskipun ada variasi di berbagai daerah tentang hari lahir Guan Yin, tapi secara garis besar dapat dikatakan umumnya ada 3 hari besar untuk menghormati Dewi Welas Asih ini. Ke 3 hari besar tersebut adalah :
1). Tanggal 19 bulan 2 Imlik adalah hari kelahirannya.
2). Tanggal 19 bulan 6 Imlik adalah hari menjadi Pendeta.
3). Tanggal 19 bulan 9 Imlik adalah hari memperoleh penerangan.
Pada hari – hari ini, para pemuja yang telah merasa pernah memperoleh pertolongan Guan Yin berbondong – bondong memenuhi kelenteng pemujaan Guan Yin, membawa barang persembahan, melepaskan burung – burung dan binatang lain, melakukan pantang makan berjiwa, melaksanakan perbuatan amal dengan berkunjung ke rumah jompo dan rumah penampungan anak cacat dan lain – lain kegiatan sosial dan ritual.
Biasanya ada 5 larangan yang dipatuhi :
1). Tidak membunuh atau menyiksa mahluk hidup lain.
2). Tidak mencuri atau mengambil yang bukan jadi haknya.
3). Tidak berbuat jinah.
4). Tidak berbohong atau membual.
5). Tidak minum minuman keras atau barang lainnya.
Biasanya sepanjang hari diisi dengan acara pembacaan kitab suci dan meditasi secara masal, serta perenungan. Yang lebih tekun biasanya melakukan pembacaan parita dan meditasi untuk kebahagiaan semua umat manusia sampai beberapa hari. Guan Yin tidak hanya dipuja di kelenteng – kelenteng, di daratan tiongkok, Hongkong, dan Taiwan. Seiring dengan menyebarnya orang Tionghoa perantauan di Asia Tenggara, maka di Malaysia, Singapura dan Indonesia juga banyak dijumpai kelenteng yang khusus diperuntukkan Guan Yin. Khusus di Jawa terbesar adalah kelenteng Dewi Welas Asih di Banten, Jawa Barat. Selain itu, tidak terhitung banyaknya rumah yangmemujanya dalam sebuah altar pribadi, baik di kota – kota besar sampai jauh di desa kecil di pegunungan. Dewata lain mungkin dipuja dan dihormati bercampur rasa takut, tapi Guan Yin begitu dekat di hati, ia dihormati sekaligus dicintai. Dewata lain mungkin berwajah bengis dan angker. Tapi Guan Yin selalu tersenyum lemah lembut dan bersahaja.
Begitu dekat pengaruh Guan Yin dalam masyarakat, sampai – sampai seorang gadis akan sangat bangga apabila ia disebutkan sebagai ia mirip dengan Guan Yin hidup. Memang Guan Yin dari dulu sampai sekarang juga dianggap sebagai lambang kecantikan dengan bibir merah, kulit halus, alis lentik dan langkah yang lemah gemulai.
Sebagai garis besar, di kalangan rakyat, Guan Yin dianggap Boddhisatva penolong bagi orang yang sedang dalam kesusahan dan kesengsaraan. Juga dianggap penolong roh – roh yang mengalami penderitaan di neraka, sebab itu ia ditampilkan dalam sembahyang memberi makan roh – roh kelaparan yang jatuh pada bulan 7 Imlik, dengan nama Pu Du Gong (atau tuan yang menolong penyeberangan). Secara umum ia dipanggil Guan Yin Fo Zhu atau Guan Yin Ma dan lain – lain, sebutan akrab. Begitulah kira – kira betapa meresapnya pemujaan Guan Yin dalam masyarakat
sumber : hotekbio.com
Pada perayaan tahun Guan Yin, pulau ini penuh sesak di kunjungi oleh peziarah dari segala penjuru dunia. Tempat yang dikunjungi peziarah terutama adalah sebuah gua pesisir yang disebut Gua Deburan Ombak. Disini, menurut catatan, beberapa kali Guan Yin menampakkan diri dihadapan para pemujanya dan para pendeta suci. Penampakkan Guan Yin di pulau ini pernah disaksikan oleh Dr Sun Yat Sen, Bapak Pendiri Republik Tiongkok, yang berkunjung ke sini pada tanggal 25 Agustus 1916, demikian menurut seorang pengarang wanita Amerika, Mary M. Anderson dalam bukunya “Guan Yin The Goddes of Mercy”.
Tercatat pada tahun 916 M, yaitu pada jaman Lima Dinasti, seorang pendeta Jepang, Hui E, dalam perjalanan pulang dari Wu Tai Shan, mendarat di Pu Tuo, setelah perahunya terhamtam oleh hujan, angina dan gelombang. Di Pu Tuo Shan ini, Hui E lalu mendirikan kuil Buddha. Pada tahun 1214 M, yaitu pada dinasti Song, barulah tempat ini diputuskan untuk pemujaan Guan Yin sehubungan dengan beberapa kali penampakkannya. Kelenteng yang terbesar di pulau itu adalah Pu Ji Si. Di kelenteng inilah, seorang pendeta menulis sebuah buku tentang kisah putri Miao Shan, pada tahun 1102. kisah Miao Shan ini yang kemudian menjadi legenda tentang asal mula Guan Yin versi Tionghoa. Sebagai imbalan atas usahanya, sang pendeta memperoleh anugerah yaitu dapat menyaksikan penampakkan diri Dewi Welas Asih sendiri.
Kisah Miao Shan yang sangat mengharukan itu dimuatkan dalam gulungan Kitab Pusaka dari Xiangshan, yang isinya kira – kira sebagai berikut : Pada jaman akhir dinasti Zhou (kira – kira abad 3 SM), disebelah Barat gunung Semeru, ada sebuah negeri yang disebut Xing-lin, luasnya kira – kira 18.000 Li. Raja negeri ini bernama Pao Qie dan memakai gelar Miao Zhuang untuk tahun pemerintahannya. Pada waktu berumur 20 tahun, rakyat mendukungnya untuk menjadi raja di negeri itu. Beliau mempunyai permaisuri yang bernama Bao De, umurnya sama dengan Sri Baginda, permaisuri ini sangat berbudi dan sangat ramah serta murah hati. Sayang sang raja tidak punya putra, yang ada hanya tiga putrid. Putri yang tertua bernama Miao Shu, yang kedua Miao Yin dan yang bungsu bernama Miao Shan.
Setelah menginjak usia dewasa, raja mencarikan menantu untuk ketiga putrinya itu. Miao Shu memilih seorang pejabat sipil, sedangkan Miao Yin memilih seorang jenderal perang sebagai suaminya. Hanyalah Miao Shan seorang yang tak hendak menjatuhkan pilihannya. Malah kemudian ia meninggalkan istana dan pergi ke Ruzhou dan menjadi bikkhu wanita di kelenteng Bai Que Si. Didalam kelenteng atau vihara itu terdapat kira – kira 500 orang bikkhuni. Kepala bikkhu disitu memerintahkan Miao Shan bekerja berat, dibagaian dapur. Sebetulnya kepala bikkhu ini telah mendapat perintah dari ayah Miao Shan agar membuat putrinya tidak betah untuk hidup di vihara itu.
Melihat keteguhan hati Miao Shan, Dewa Dapur Zao Jun, lalu membuat laporan kepada Yu Huang Da Di. Yu Di menerima laporan ini segera memerintahkan para malaikat dari Lima Pegunungan, dan Delapan Dewa Naga, untuk membantu Miao Shan di vihara Bai Que Si. Kemudian disusulnya peritah kepada Raja Naga dari lautan timur untuk membuat sumur di dapur Vihara itu, dan para binatang liar di pegunungan berdatangan mengantar kayu bakar, serta burung – burung membawa sayur – mayur. Dengan segala bantuan ini Miao Shan tidak banyak mengalami kesengsaraan.
Raja Miao Zhuang akirnya mengirim tentara ke Vihara itu untuk memaksa agar Miao Shan. Pasukan ini dipimpin oleh Raja Muda Zhau dan Raja Muda Ye. Biyara Bai Que Si di bakar, Miao Shan lalu berdo’a memohon perlindungan Yang Maha Kuasa,kemudian ia mencabut tusuk kondenya dan ditusukan ke lidahnya. Darah dari lidah itu di semburkan ke udara,dan tiba-tiba dari angkasa turun hujan yang berwarna merah. Api yang berkobar menelan biara itu segera padam.
Miao Zhuang, mendengar berita ini, gusar bukan buatan, tentara diperintahkan untuk menangkap Miao Shan dan menyeretnya untuk dihukum mati. Sang Buddha yang mengetahui peristiwa ini lalu memerintahkan pada Tu-di, sang Dewi Bumi, untuk menyelamatkan Miao Shan. Beliau bersabda”Tak ada di dunia sebelah barat ini manusia yang sesuci dan sebaik Miao Shan. Besok ketika pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan patahkanlah golok dan tombak para algojo yang dipergunakan untuk membunuh dia. Jagalah agar dia tidak banyak menderita kesakitan. Pada saat kematiannya, rubahlah dirimu menjadi seekor harimau dan bawalah tubuhnya ke suatu Hutan Pinus. Sembunyikan dan masukkan sebutir pil ke dalam mulutnya agar tubuh itu tidak membusuk. Rohnya akan kembali mencari badan kasarnya sesudah selesai perjalanan ke neraka. Setelah itu ia akan bersemayam di bukit Xiang Shan di pulau Pu Tuo samapi mencapai kesempurnaan”.
Pada waktu pelaksanaan hukuman di jalankan, golok dan tombak para algojo patah ketika menyentuh leher Miao Shan. Lalu leher Miao Shan dijerat dengan tali baja, barulah sang putri tewas. Bersamaan dengan itu mendadak seekor macan besar menyerbu masuk dan menggondol tubuh putri yang malang itu, lalu membawanya masuk ke dalam Hutan Pinus.
Roh Miao Shan di neraka, karena kesucian dan ke – welas – asihannya, serta ketulusan do’anya, menyebabkan tempat yang penuh penderitaan itu berubah menjadi seperti sorga. 10.000 roh yang tersiksa memperoleh pengampunan berkat do’anya. Akhirnya Yan Luo Wang, penguasa akherat, menyuruhnya kembali ke badan kasarnya, dan hidup kembali. Begitu siuman, O Mi Duo Fo muncul dan menganjurkan dia meneruskan praktek – praktek untuk mencapai kesempurnaan di Xiang Shan kepulauan Pu Tuo. Sebelum pergi O Mi Duo Fo memberinya persik dewa. Dengan makan persik itu, Miao Shan tidak akan lapar dan haus, lebih – lebih lagi ketuaan dan kematian akan menyentuh selama – lamanya. Dengan dihantar oleh harimau jelmaan Dewa Bumi, Miao Shan akhirnya sampai dengan selamat di Pu Tuo Shan.
Sembilan tahun berselang, Raja Miao Zhuang menderita penyakit bisul ganas, sudah banyak tabib kenamaan yang dipanggil untuk mengobati tapi tak juga berhasil. Miao Shan, dengan menyamar sebagai seorang pendeta tua,datang menengok. Miao Shan mencukil kedua matanya dan memotong kedua telapak tangannya utnuk mengobati ayahnya itu. Setelah penyakitnya sembuh, barulah Maio Zhuang menyadari kebaktian putrinya. Ia lalu mengangkat pengganti dan mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Dengan diiringi para menteri dan sanak keluarganya ia pergi ke Xiang Shan, untuk bertobat dan menganut ajaran Buddha.
Sang Buddha kemudian memberi gelar Miao Shan sebagai Qian Shou Qian Yan Jiu Ku Jiu Nan Wu Shang Shi Guan Shi Yin Pu Sa yang berarti Guan Shi Yin Pu Sa penolong kesukaran dan kesengsaraan yang bermata dan bertangan seribu dan tak ada bandingannya.
Kemudian Yu Huang juga menganugerahi saudara Miao Shan yaitu Miao Shu, sebagai Pu Xian Pu Sa (Po Hian Po Sat – Hokkian), Miao Yin sebagai Wen Shu Pu Sa (Bun Cu Po Sat – Hokkian). Miao Zhuang, sang ayah bersama istrinya Bao De, juga diangkat sebagai Pu Sa. Wen Shu, dan Pu Xian sering kali ditempatkan mendampingi Guan Shi Yin di berbagai kelenteng.
Masih ada beberapa versi, seperti yang dimuat dalam kitab Shou-sen-ji (Catatan tentang kumpulan Para Dewa), agak berbeda dengan apa yang ditulis dalam kitab Xiang-shan. Raja Miao Zhuang, misalnya dalam kitab Xiang-shan dikatakan berperangai halus dan berbudi. Sebaliknya dalam Shou-sen-ji, beliau disebut sebagai berwatak kasar, kejam dan gemar nerperang. Tapi secara garis besar, versi – versi yang dimuat dalam beberapa kitab, tidak memiliki perbedaan besar dalam kisah keseluruhannya.
Miao Shan Guan Yin ditampilkan dengan keadaan duduk, tangannya dalam sikap meditasi dan membawa mutiara yang menyala. Banyak lukisan atau pahatan menampilkan dia sedang duduk di atas batu karang dekat air yang mengalir deras, atau di tengah lautan. Lukisan lain memperlihatkan dia sedang membawa gulungan kitab suci yang melambangkan Sutra Penerangan Hati, atau sebatang dahan pohon Yangliu untuk memercikkan embun suci (Amritha) yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit dan mengusir roh – roh jahat. Masih ada bentuk lukisan lain yang menampilkan Guan Yin membawa tasbih mutiara di tangannya, tapi sering juga tasbih itu dibawa di paruh seekor burung kakak – tua. Bajunya berwarna putih dan tampak melayang di atas awan, di atas bunga teratai atau di atas kelopak teratai yang terapung di lautan. Lukisannya yang paling terkenal adalah pada waktu di tampilkan bersama dengan pembantunya yaitu Si Anak Merah, Shan Cai, dan Si Gadis Naga Long Nü. Shan Cai dengan posisi menyembah dan Long Nü membawa mutiara yang menyala.
Tentang Shan Cai dan Long Nü ini, ada kisahnya tersendiri. Pada waktu Tu Di Gong mengantar Miao Shan ke pulau Pu Tuo, menjaganya selama 9 tahun, sampai akhirnya sang putri mencapai kesempurnaan. Ditentukan hari pelantikan Miao Shan menjadi Pu Sa adalah tanggal 19 bulan 9 Imlik. Tu Di menyebarkan banyak undangan untuk menghadiri pelantikan tersebut. Yang diundang antara lain adalah San Guan Da Di, Shi Dian Yan Luo (10 Raja Akherat) Ba Xian (8 Dewa), Wu Yue Da Di (dewa dari Lima Pegunungan) dan lain – lain. Pada hari yang telah ditentukan, para undangan telah berkumpul, Miao Shan duduk di atas singgasana bunga teratai, lalu para Dewata itu mengumumkan pelatikan di kalangan ke-Buddha-an dan wilayah kekuasaannya di langit dan bumi. Kemudian mereka beranggapan bahwa tidak sepantasnyalah Miao Shan sekarang dinamakan Guan Shi Yin berada di Xiang Shan seorang diri tanpa pembantunya. Mereka mengusulkan agar dicarikan dua pembantu, seorang pria perjaka dan gadis yang bertugas melayani semua keprluannya di tempat itu. Tu Di diserahi tugas untuk menemukan calon yang sesuai.
Dalam perjalanan mencari calon pembantu Guan Yin ini, Tu Di bertemu dengan seorang pendeta mudan yang bernama Shan Cai. Setelah kematian kedua orang tuanya, Shan Cai menjadi pertapa di gunung Da Hua Shan, tapi tanpa bimbingan ia merasa sulit untuk mencapai kesempurnaan. Dengan perantara Tu Di akhirnya Shan Cai menghadap Guan Yin. Guan Yin masih meragukan kesungguhan hati pemuda ini dan ingin mengujinya. Disuruhnya pemuda itu menempati sebuah puncak di pulau itu, dan menunggu sampai Guan Yin menemukan cara untuk mengatur kesempurnaannya.
Miao Shan kemudian memanggil Tu Di dan meminta agar para dewa yang hadir di situ mau menyamar menjadi bajak – bajak laut yang mau mengepung gunung itu, membawa obor dan senjata tajam mengancam akan membunuh Guan Yin. “Aku akan lari ke puncak dimana Shan Cai sekarang berada dan menguji kesetiannya”, kata sang Dewi.
Tak lama kemudian segerombolan bandit dan bajak laut datang mengepung vihara di Xiang Shan itu. Guan Yin melarikan diri ke puncak, ia terpeleset dan terguling ke dalam jurang. Melihat sang dewi terguling, Shan Cai tanpa ragu – ragu segera terjun untuk menyelamatkannya. “Anda tidak mempunyai sesutau yang berharga untuk dirampok mereka, mengapa takut dan terjun ke jurang, sehingga terancam bencana kematian”, tanya Shan Cai. Melihat pemuda itu menangis, Guan Yin berkata “aku harus tunduk pada kehendak langit”.
Shan Cai, dengan segala kepedihan hatinya, berdo’a kepada Langit dan Bumi agar Sang Dewi diselamatkan. “Seharusnya kau tak perlu menunjukkan diri untuk menolong aku dengan penuh resiko. Aku belum menjelmakan kau kembali dan mengantarmu kesempurnaan. Tapi kau adalah anak yang berani, aku sekarang tahu hatimu baik, Lihatlah ke bawah sana “ kata Guan Yin. Shan Cai lalu menoleh “Aku melihat mayat”.
“Ya, itulah badanmu yang lama. Sekarang kau telah dijelmakan kembali, dan kau dapat terbang dan membumbung keangkasa sesuka hatimu!” Guan Yin berkata. Shan Cai membungkukkan badannya tanda terima kasih dan Guan Yin berkata lagi “Selanjutnya kau selalu berada di sampingku dan berdo’a, jangan meninggalkan aku seharipun”. Sejak itulah Shan Cai selalu hadir di sebelah Guan Yin.
Tentang bagaimana Shan Cai menjadi murid Guan Yin, cerita terkenal “Xi You Ji” mempunyai versi yang lain lagi. Dikisahkan dalam perjalanan mengambil kitab suci ke langit barat, pendeta Xuan Zhang bersama ketiga muridnya Sun Wu Kong, Si Monyet Sakti, Zhu Ba Jie Siluman Babi dan Sha He Shang dicegat oleh seorang siluman yang berijut anak kecil yang sangat sakti. Ternyata siluman anak kecil itu adalah putra Niu Mo Wang (Gu Mo Ong – Hokkian) dan Luo Sa Nü (Lo Sat Li – Hokkian), yang diberi nama Niu Sheng Ying (Gu Seng Eng – Hokkian) alias Hong Hai Er (Ang Hay Ji – Hokkian) atau si Anak Merah. Si Anak Merah ini sakti sekali, ia bermaksud menawan pendeta Xuan Zhang untuk disantap dagingnya. Beberapa kali Sun Wu Kong dibuat tak berdaya oleh semprotan api saktinya. Tapi si Monyet Sakti tak kehabisan akal. Ia lalu meminta bantuan Guan Yin Pu Sa untuk menaklukkan Hong Hai er. Akhirnya Hong Hai Er dapat ditaklukkan dan dibawanya pulang ke Pu Tuo Shan untuk menjadi muridnya dan diberi gelar Shan Cai. Versi ini memang berbeda sekali dengan apa yang dituturkan dalam kisah Miao Shan.
Tentang Gadis Naga Long Nü dikisahkan sebagai berikut ini. Dengan kekuatan gaibnya Miao Shan melihat bahwa putra ketiga Long Wang, Sang Raja Naga, sedang menjelma menjadi ikan tambera. Dalam perjalanan melaksanakan tugas ayahnya, tak terduga ikan itu terperangkap dalam jala nelayan, dan diangkat ke darat lalu dijual ke pasar. Miao Shan lalu memerintahkan pelayannya yang setia, Shan Cai untuk membeli ikan itu, yang kemudian dibawa ke Pu Tuo Shan untuk dilepaskan ke laut bebas. Putra ketiga Sang Raja Naga sangat berterima kasih atas pertolongan Guan Yin. Sang Raja Naga dalam terima kasihnya kepada Miao Shan Guan Yin bermaksud menghadiahkan sebutir mutiara yang dapat bersinar di waktu malam. Long Nü cucu perempuan Long Wang dari pangeran ketiga tersebut mohon ijin untuk menghantarkan hadiah kepada Miao Shan. Di hadapan Miao Shan, Long Nüminta diijinkan untuk belajar ajaran orang – orang suci di bawah bimbingannya. Setelah mengetahui kesungguhan hatinya, Miao Shan akhirnya menerima Long Nü sebagai murid. Shan Cai memanggilnya kakak. Mereka bersama – sama mendampingi Miao Shan. Sering juga Long Nü ini ditampilkan dalam bentuk naga yang sedang ditunggangi oleh Guan Yin. Oleh Yu Huang Da Di, Shan Cai diberi gelar Jin Tong (Kim Tong – Hokkian) yang berarti “jaka emas” dan Long Nü bergelar Yu Nü (Giok Li – Hokkian) yang berarti “gadis kumala”.
Pengaruh Guan Yin Dalam Sastra.
Dalam kalangan sastra rakyat, Guan Yin mempunyai kedudukan yang penting. Di kota Guangzhou misalnya anda dapat memperoleh banyak buku – buku dongeng dan terbitan lain yang memuat syair puji – pujian untuk Guan Yin pada penjual buku kaki lima dengan mudah, seperti, “Lahirnya Guan Yin” atau “Guan Yin Menjelma” dan lain – lain.
Dalam Xi You Ji, novel dongeng termashur itu, anda dapat dengan mudah menemukan peran penting Guan Yin dalam menyelesaikan pertikaian antar Sun Wu Kong, Si Kera Sakti, dengan para siluman yang mencoba menggangu perjalanannya. Tak ketinggalan novel Feng Shen juga menampilkan Guan Yin dalam versi Taoist dengan nama Zi Hang Dao Ren (Cu Hang To Jin – Hokkian) yang membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya (Kiang Cu Ge – Hokkian) dalam menumbangkan kaisar Zhou Wang yang jahat.
Drama rakyat yang sangat popular yaitu “Kisah Mu Lian Menolong Ibunya di Neraka”, juga menempatkan Guan Yin pada kedudukan yang paling penting. Drama ini sendiri bersumber pada sebuah dongeng yang berkisah seperti di bawah ini :
“Pada saat Mu Lian memperoleh kekuatan, ia dapat mengetahui bahwa roh ibunya di neraka telah terjerumus menjadi setan yang kelaparan, Ia lalu mengisi mangkoknya dengan nasi untuk diberikan pada sang ibu tapi ternyata nasi berubah menjadi api. Melihat usahanya yang sia – sia, Mu Lian menangis sedih. Ia lalu mengatakan kepada Sang Buddha, sang Buddha lalu mengajarkan cara memberi pertolongan, Mu Lian disuruh menyiapkan makanan yang bermacam – macam dan ditempatkan dalam baskom untuk menjamu para Pendeta dari 10 penjuru, selama 75 hari. Dengan berbuat amal begini, dengan sendirinya ibunya terlepas dari segala kesengsaraan ketika menjadi setan kelaparan. Mu Lian sangat bersuka cita. Demikian juga umat manusia di bumi, mereka dengan gembira memuji kejadian ini (Sembahyang Rebutan yang disebut Yi-lan pen-hui atau Alam Bana dimulai dari kisah ini).
Dari sebuah dongeng pendek, kisah ini dibeberkan menjadi drama yang panjang. Ketika Mu Lian turun ke neraka untuk menolong ibunya, Guan Yin beberapa kali menampakkan diri menolong Mu Lian menemukan jalan untuk menuju ketempat ibunya.
Pengaruh Agama Buddha pada sastra Tiongkok yang paling besar adalah Kitab – kitab Suci Buddhist. Kitab – kitab suci yangmengisahkan Guan Yin ada beberapa, yaitu Kitab dari Xiang Shan (yang kita bahas dalam legenda Guan Yin) Kitab Suci Keranjang Ikan, dan Kitab Suci Burung Kakak – tua. Kitab – kitab ini berisikan karya sastra yang tinggi nilainya.
Dalam Kitab Suci Burung Kakak-tua dikisahkan bagaimana seekor kakak-tua menjadi pengikut Guan Yin :
“Adalah Seekor burung kakak-tua yang sangat berbakti kepada induknya. Suatu ketika induknya yang sakit menginginkan buah Cherry yang ada di tempat sebelah timur. Maka terbanglah sang kakak – tua ke negeri sebelah timur untuk mengambil buah tersebut. Tak terduga ia masuk ke dalam jerat pemburu dan tertangkap. Kepada sang pemburu ia menceritakan hal ihwalnya tapi rupanya sang pemburu tidak peduli. Seorang hartawan tertarik akan burung yang dapat berbicara ini, lalu membelinya. Sang burung ditempatkan dalam sangkar, tapi ia terus menasehati sang hartawan agar melepaskannya. Suatu hari Boddhidharma datang dan menyuruh agar dia pura – pura mati. Sang hartawan yang lihat sang kakak – tua yang mati, lalu membuangnya. Begitu bebas, sang kakak-tua segera mengepakkan sayap-sayapnya dan terbang. Tapi telambat, ibunya telah mati. Dalam kesedihannya sang kakak-tua jatuh pingsan. Guan Yin datang menyadarkan dia dengan memercikkan embun kehidupan dari botol yang dibawanya. Juga ayah ibu kakaktua itu, dibantu untuk melewati karmanya dan menjelma kembali menjadi manusia. Sejak itu sang kakak-tua pergi mengikuti Guan Yin dan paruhnya mencocok sebuah tasbeh mutiara, inilah sang kakak-tua.
Pemujaan Guan Yin
Di atas telah kita singgung sedikit, bahwa pusat pemujaan Guan Yin terletak di Pu Tuo Shan, sebuah pulau kecil di sebelah timur Kabupaten Dinghai, Propinsi Zhejiang. Tiap tahun, terutama pada musim semi dan panas, para peziarah yang berjumlah puluhan ribu berbondong – bondong datang ke sini untuk bersembahyang. Mula – mula pulau ini bernama Hai Qin Shan, nama ini tetap digunakan untuk sebuah bukit kecil yang terletak di bagian selatan pulau ini. “Pu Tuo” adalah sebuah istilah Buddha, yang berarti gunung suci Putoloka di India. Sebelah tenggara gunung ini terletak pulau Srilangka. Menurut Johnston dalam buku yang berjudul “Buddhist China”, Putoloka adalah puncak bagian barat dari pegunungan Malaya di bagian selatan India. Di Tiongkok ada dua tempat yang dinamakan Pu Tuo Shan. Yang satu adalah yang telah kita bicarakan yaitu sebelah timur propinsi Zhejiang, yang satu lagi terdapat di Tibet.
Jadi Pu Tuo adalah kependekkan dari Putoloka, Pu Tuo berarti bunga putih, sedangkan “loka” berarti gunung. Sebab itu pengarang – pengarang jaman dinasti Yuan menyebut Pu Tuo Shan sebagai Xiao Bai Hua Shan (Gunung Bunga Putih Kecil). Konon memang gunung Pu Tuo Shan banyak ditumbuhi oleh bunga putih yang dalam bahasa Latin disebut Gardenir Florida. Pendeta – pendeta jaman dinasti Tang, karena melihat bunga – bunga ini lalu memilih gunungnya sebagai pusat pemujaan, ataukah melihat gunungnya lebih dahulu baru kemudian menanam bunganya, sulit diterangkan.
Para pemuja Guan Yin menganggap tanggal 29 bulan 8 Imlik sebagai tanggal perayaan kelahirannya (sebagian ada yang merayakan pada tanggal 19 bulan 2 Imlik), karena dalam setahun, pada tanggal itulah ombak paling besar, dikaitkan dengan Guan Yin sebagai Dewi Pelindung Lautan. Tapi kalangan awan cenderung untuk menganggap Guan Yin adalah nama gabungan dari beberapa Guan Yin Pu Sa. Ada Guan Yin Pu Sa sebagai pelindung lautan, Guan Yin Pu Sa sebagai Dewi Pemberi Anak dan lain – lain yang masing – masing dicarikan hari lahir tersendiri. Ini menyebabkan kita sering menemui perayaan hari lahir Guan Yin Pu Sa tidak sama diberbagai tempat dalam setahun, kecuali bulan yang – 12 dalam 11 bulan lainnya tentu terdapat hari lahirnya, yang berarti juga hari vegetarian (Ciak Jay), bagi para pemujanya.
Di Guang Zhou, tanggal 24 bulan 2 Imlik, sering dianggap sebagai hari lahir Guan Yin Pengantar Anak. Pria dan wanita dari berbagai pelosok perkumpulan menjadi satu dalam suatu perayaan yang disebut Sheng Cai Hui (perayaan sayur mentah). Para pengikut upacara biasanya datang ke pusat perayaan dengan membeli sayur mentah, dengan harapan memperoleh tuah melahirkan anak, sebab “Sheng Cai” (yang berarti sayur mentah) dan “Sheng Zai” (yang berarti melahirkan anak), punya suara yang mirip. Di tempat perayaan dibuat kolam kecil. Dalam kola mini sebelumnya telah dimasukkan sejumlah kerang dan keong. Orang – orang yang datang kemari memasukkan tangannya ke dalam kolam, kalau yang terambil adalah keong, maka ia boleh berharap memperoleh anak lelaki, tapi kalau kerang yang terambil, harapannya anak perempuan.
Kebiasaan ini asal – usulnya dapat ditelusuri pada masa pemerintahan Kaisar Wen Zong (827 – 840 M). Kaisar Wen Zong gemar sekali akan tiram. Pada suatu hari ia menemukan tiram yang besar, yang kulitnya keras sekali. Setelah berhasil dibuka ternyata didalamnya terdapat patung Guan Yin kecil Kaisar terperanjat, barulah setelah mendengar penjelasan dari para ahli filsafat kerajaan, ia sadar dan menjadi penganut Guan Yin yang tekun, dan banyak mendirikan kelenteng untuk Guan Yin. Pemujaan Guan Yin sejak itu jadi sangat berkembang, Kaisar meninggal tahun 840, dan kelenteng di Pu Tuo Shan selesai didirikan pada tahun 847 M.
Para pemuja Guan Yin berpantang makanan daging sapi, burung dara, udang, ikan yang tidak bersisik, sarang burung (Yan – oh), daging kuda, daging anjing, bulus dan jenis kerang. Harapan mereka terbesar adalah dapat melihat wajah Guan Yin. Mereka yang pergi ke Pu Tuo Shan pasti menyempatkan diri memasuki gua dimana Guan Yin pernah menampakkan diri. Ada yang sampai membakar sepuluh jarinya dengan api lilin, agar bisa meraga sukma dan bertemu sang Dewi. Kebiasaan ini jelas berasal dari India. Konon orang yang melakukan cara itu tidak ada yang tidak berhasil melihat Guan Yin. Meskipun ada variasi di berbagai daerah tentang hari lahir Guan Yin, tapi secara garis besar dapat dikatakan umumnya ada 3 hari besar untuk menghormati Dewi Welas Asih ini. Ke 3 hari besar tersebut adalah :
1). Tanggal 19 bulan 2 Imlik adalah hari kelahirannya.
2). Tanggal 19 bulan 6 Imlik adalah hari menjadi Pendeta.
3). Tanggal 19 bulan 9 Imlik adalah hari memperoleh penerangan.
Pada hari – hari ini, para pemuja yang telah merasa pernah memperoleh pertolongan Guan Yin berbondong – bondong memenuhi kelenteng pemujaan Guan Yin, membawa barang persembahan, melepaskan burung – burung dan binatang lain, melakukan pantang makan berjiwa, melaksanakan perbuatan amal dengan berkunjung ke rumah jompo dan rumah penampungan anak cacat dan lain – lain kegiatan sosial dan ritual.
Biasanya ada 5 larangan yang dipatuhi :
1). Tidak membunuh atau menyiksa mahluk hidup lain.
2). Tidak mencuri atau mengambil yang bukan jadi haknya.
3). Tidak berbuat jinah.
4). Tidak berbohong atau membual.
5). Tidak minum minuman keras atau barang lainnya.
Biasanya sepanjang hari diisi dengan acara pembacaan kitab suci dan meditasi secara masal, serta perenungan. Yang lebih tekun biasanya melakukan pembacaan parita dan meditasi untuk kebahagiaan semua umat manusia sampai beberapa hari. Guan Yin tidak hanya dipuja di kelenteng – kelenteng, di daratan tiongkok, Hongkong, dan Taiwan. Seiring dengan menyebarnya orang Tionghoa perantauan di Asia Tenggara, maka di Malaysia, Singapura dan Indonesia juga banyak dijumpai kelenteng yang khusus diperuntukkan Guan Yin. Khusus di Jawa terbesar adalah kelenteng Dewi Welas Asih di Banten, Jawa Barat. Selain itu, tidak terhitung banyaknya rumah yangmemujanya dalam sebuah altar pribadi, baik di kota – kota besar sampai jauh di desa kecil di pegunungan. Dewata lain mungkin dipuja dan dihormati bercampur rasa takut, tapi Guan Yin begitu dekat di hati, ia dihormati sekaligus dicintai. Dewata lain mungkin berwajah bengis dan angker. Tapi Guan Yin selalu tersenyum lemah lembut dan bersahaja.
Begitu dekat pengaruh Guan Yin dalam masyarakat, sampai – sampai seorang gadis akan sangat bangga apabila ia disebutkan sebagai ia mirip dengan Guan Yin hidup. Memang Guan Yin dari dulu sampai sekarang juga dianggap sebagai lambang kecantikan dengan bibir merah, kulit halus, alis lentik dan langkah yang lemah gemulai.
Sebagai garis besar, di kalangan rakyat, Guan Yin dianggap Boddhisatva penolong bagi orang yang sedang dalam kesusahan dan kesengsaraan. Juga dianggap penolong roh – roh yang mengalami penderitaan di neraka, sebab itu ia ditampilkan dalam sembahyang memberi makan roh – roh kelaparan yang jatuh pada bulan 7 Imlik, dengan nama Pu Du Gong (atau tuan yang menolong penyeberangan). Secara umum ia dipanggil Guan Yin Fo Zhu atau Guan Yin Ma dan lain – lain, sebutan akrab. Begitulah kira – kira betapa meresapnya pemujaan Guan Yin dalam masyarakat
sumber : hotekbio.com
0 comments:
Post a Comment