"Apa manfaat dari sebuah cermin?" tanya Guru.
Murid menjawab, "Agar orang dapat memperbaiki penampilan fisiknya ketika ia melihat noda atau cacat dalam bayangan di dalam cermin."
Lanjut Guru; "Demikian pula, aktivitas perbuatan, ucapan, dan pikiran seseorang harus dilakukan setelah melewati pengamatan dan pertimbangan sesuai kebijaksanaan orang tersebut."
Berikut penjelasan singkat dari kalimat diatas:
Saat kehendak muncul untuk melakukan tindakan fisik, ucapan atau pikiran, sebelum melakukannya, seseorang harus mempertimbangkan, "Apakah perbuatan fisik, ucapan atau pikiran yang kukehendaki dapat membahayakan diriku, orang lain atau keduanya? Apakah perbuatan tersebut dapat menjadi perbuatan buruk yang dapat menyebabkan bertambahnya penderitaan?" Jika, setelah mempertimbangkan, perbuatan yang dikehendaki itu terbukti dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya; atau dapat menjadi perbuatan buruk yang akan menambah penderitaan, seseorang harus berusaha untuk menghindari perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran tersebut. Sebaliknya, jika setelah mempertimbangkan, perbuatan yang dikehendaki itu terbukti tidak membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya atau keduanya; atau dapat menjadi perbuatan baik yang akan menambah kebahagiaan (sukha), maka perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran tersebut seharusnya dilakukan.
Demikian pula, dalam proses melakukan perbuatan fisik, ucapan atau pikiran, seseorang harus mempertimbangkan, "Apakah yang sedang kulakukan, kuucapkan, atau kupikirkan ini berbahaya bagi diriku, orang lain atau keduanya? Apakah yang sedang kulakukan ini adalah perbuatan buruk yang dapat menambah penderitaan? Jika, setelah mempertimbangkan, perbuatan itu ternyata benar demikian, seseorang harus segera berhenti melakukan perbuatan tersebut(tidak meneruskan perbuatan itu). Sebaliknya, jika, setelah dipertimbangkan, ternyata perbuatan itu tidak berbahaya bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya, namun adalah perbuatan baik yang dapat menambah kebahagiaan dan kesejahteraan, perbuatan itu seharusnya diteruskan dengan giat dan berulang-ulang.
Setelah melakukan perbuatan fisik, ucapan dan pikiran telah dilakukan, seseorang harus mempertimbangkan (seperti sebelumnya), "Apakah perbuatan fisik, ucapan, atau pikiran yang telah kulakukan berbahaya bagi diriku, orang lain atau keduanya? Apakah perbuatan itu adalah perbuatan buruk yang dapat menambah penderitaan?" Jika terbukti demikian, jika perbuatan buruk itu dilakukan secara fisik dan ucapan, pengakuan harus dilakukan di depan Buddha atau seorang siswa yang bijaksana, secara jujur, jelas dan tanpa syarat bahwa perbuatan buruk jasmani dan ucapan tersebut telah dilakukan. Kemudian orang itu harus bertekad agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi pada masa mendatang.
Sehubungan dengan perbuatan buruk yang dilakukan melalui pikiran, seseorang harus merasa letih dengan perbuatan pikiran tersebut, ia harus merasa malu dan jijik terhadap pikirannya itu. Orang itu juga harus melatih dan bertekad agar perbuatan ini tidak terulang kembali pada masa mendatang.
Jika setelah mempertimbangkan, seseorang menemukan bahwa perbuatan jasmani, ucapan, atau pikiran tidak membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya namun berperan dalam memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan, maka siang dan malam ia akan bergembira dan puas sehubungan dengan kebajikan tersebut dan ia harus berusaha lebih keras lagi dalam mematuhi tiga aturan latihan (sikkha).
Dikutip dari RAPB terbitan Ehipassiko; Thx MoM Han, dan MoM yang lainnya.. Penjelasan lengkap dari khotbah ini dapat dibaca dalam kitab suci Tipitaka atau terjemahannya (Ambalatthika Rahulovada Sutta.)
Murid menjawab, "Agar orang dapat memperbaiki penampilan fisiknya ketika ia melihat noda atau cacat dalam bayangan di dalam cermin."
Lanjut Guru; "Demikian pula, aktivitas perbuatan, ucapan, dan pikiran seseorang harus dilakukan setelah melewati pengamatan dan pertimbangan sesuai kebijaksanaan orang tersebut."
Berikut penjelasan singkat dari kalimat diatas:
Saat kehendak muncul untuk melakukan tindakan fisik, ucapan atau pikiran, sebelum melakukannya, seseorang harus mempertimbangkan, "Apakah perbuatan fisik, ucapan atau pikiran yang kukehendaki dapat membahayakan diriku, orang lain atau keduanya? Apakah perbuatan tersebut dapat menjadi perbuatan buruk yang dapat menyebabkan bertambahnya penderitaan?" Jika, setelah mempertimbangkan, perbuatan yang dikehendaki itu terbukti dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya; atau dapat menjadi perbuatan buruk yang akan menambah penderitaan, seseorang harus berusaha untuk menghindari perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran tersebut. Sebaliknya, jika setelah mempertimbangkan, perbuatan yang dikehendaki itu terbukti tidak membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya atau keduanya; atau dapat menjadi perbuatan baik yang akan menambah kebahagiaan (sukha), maka perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran tersebut seharusnya dilakukan.
Demikian pula, dalam proses melakukan perbuatan fisik, ucapan atau pikiran, seseorang harus mempertimbangkan, "Apakah yang sedang kulakukan, kuucapkan, atau kupikirkan ini berbahaya bagi diriku, orang lain atau keduanya? Apakah yang sedang kulakukan ini adalah perbuatan buruk yang dapat menambah penderitaan? Jika, setelah mempertimbangkan, perbuatan itu ternyata benar demikian, seseorang harus segera berhenti melakukan perbuatan tersebut(tidak meneruskan perbuatan itu). Sebaliknya, jika, setelah dipertimbangkan, ternyata perbuatan itu tidak berbahaya bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya, namun adalah perbuatan baik yang dapat menambah kebahagiaan dan kesejahteraan, perbuatan itu seharusnya diteruskan dengan giat dan berulang-ulang.
Setelah melakukan perbuatan fisik, ucapan dan pikiran telah dilakukan, seseorang harus mempertimbangkan (seperti sebelumnya), "Apakah perbuatan fisik, ucapan, atau pikiran yang telah kulakukan berbahaya bagi diriku, orang lain atau keduanya? Apakah perbuatan itu adalah perbuatan buruk yang dapat menambah penderitaan?" Jika terbukti demikian, jika perbuatan buruk itu dilakukan secara fisik dan ucapan, pengakuan harus dilakukan di depan Buddha atau seorang siswa yang bijaksana, secara jujur, jelas dan tanpa syarat bahwa perbuatan buruk jasmani dan ucapan tersebut telah dilakukan. Kemudian orang itu harus bertekad agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi pada masa mendatang.
Sehubungan dengan perbuatan buruk yang dilakukan melalui pikiran, seseorang harus merasa letih dengan perbuatan pikiran tersebut, ia harus merasa malu dan jijik terhadap pikirannya itu. Orang itu juga harus melatih dan bertekad agar perbuatan ini tidak terulang kembali pada masa mendatang.
Jika setelah mempertimbangkan, seseorang menemukan bahwa perbuatan jasmani, ucapan, atau pikiran tidak membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya namun berperan dalam memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan, maka siang dan malam ia akan bergembira dan puas sehubungan dengan kebajikan tersebut dan ia harus berusaha lebih keras lagi dalam mematuhi tiga aturan latihan (sikkha).
Dikutip dari RAPB terbitan Ehipassiko; Thx MoM Han, dan MoM yang lainnya.. Penjelasan lengkap dari khotbah ini dapat dibaca dalam kitab suci Tipitaka atau terjemahannya (Ambalatthika Rahulovada Sutta.)
0 comments:
Post a Comment