Masyarakat Tionghoa, khususnya penganut agama Khong Hu Cu merayakan Imlek, yaitu Tahun Baru berdasarkan peredaran bulan dan tahun didasarkan pada tahun kelahiran Nabi Khong Hu Cu. Apa saja tradisinya?
Masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta menggunakan kata sincia “bulan 1 yang baru” dengan ucapan Sincun Kionghi “Selamat Menyambut Musim Semi yang Baru” atau Kionghi berarti “Selamat”. Juga ada kata ‘konyan. yang berasal dari ‘guo nian’ (bahasa Mandarin), berarti “melewati tahun yang baru”.
Di negara asalnya, RRC, perayaan Imlek dinamakan Chunjie, berarti “Perayaan Musim Semi”. Kata Chunjie digunakan sejak RRC merdeka. Sebelumnya digunakan istilah Yuandan, berarti hari pertama di tahun yang baru dimasuki. Sedangkan sejak 1949, Pemerintah RRC menetapkan nama Yuandan untuk Tahun Baru Internasional, sedangkan Tahun Baru Imlek dinamakan Chunjie.
Hermina Sutami Pengajar Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menuturkan, secara umum perayaan Tahun Baru ini memiliki makna permohonan yaitu agar dalam setahun ke depan, dapat memperoleh kesejahteraan, rezeki dan keberuntungan.
“Sedangkan secara religi, imlek bertujuan untuk mendapatkan pembebasan, penyembuhan, penyucian, pemurnian dan pembaruan dari Tuhan untuk memperoleh hidup dan semangat baru untuk menempuh masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Upacara menyambut Imlek, Toapekong (dewa) naik, dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian)/bulan La (bahasa Mandarin) tanggal 23 atau 24. Pada tanggal itu, Toapekong yang naik adalah Dewa Dapur bernama Zao Shen, serta dewa keluarga yang menentukan baik-buruknya nasib suatu keluarga. Di Indonesia Dewa Dapur juga disebut Cao Kun Kong.
“Agar Dewa Dapur tidak melaporkan hal yang jelek, manusia mencari akal untuk menyenangkan hatinya. Salah satunya adalah berupa sesajen makanan wajib berupa permen yang manis, liat, dan lengket, manisan buah kundur yang dikenal sebagai tangkua atau tangkwe,” paparnya.
Menurut Hermina, ada tiga kegiatan penting pada malam tahun baru imlek. Pertama, kepala keluarga memasang petasan. Kemudian, pintu utama rumah ditutup dan disegel dengan kertas merah agar hawa dingin tidak masuk ke rumah. Kertas merah sebagai lambang uang, merupakan alat menjaga kesejahteraan keluarga. Sesudah pintu ditutup, lalu dipasang perapian.
Acara berikutnya, makan malam bersama dengan suguhan 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili 12 shio. Masakan yang dihidangkan biasanya berkaitan dengan kemakmuran, panjang umur, kebahagiaan maupun keselamatan. Seperti tiga macam daging kurban (samseng) berupa ikan bandeng, ayam betina dan daging babi.
Tujuan dari suguhan tersebut adalah supaya manusia tidak mengikuti sifat ketiga hewan tersebut. Misalkan ikan bandeng yang mirip dengan ular bersisik, supaya tidak berlaku jahat seperti ular, ayam yang suka berpindah-pindah walaupun makanannya belum habis, yaitu agar manusia tidak serakah dan babi, sesuai dengan sifatnya supaya tidak menjadi pemalas.
Selain itu ada kue keranjang (Nian gao). Nian artinya tahun sedangkan gao artinya tinggi sehingga kue ini biasanya disusun tinggi. Pada zaman dulu, tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah.
Kemudian, ada suguhan kue-kue yang umumnya jauh lebih manis daripada biasanya (Tian=manis), dimaksudkan agar kehidupan bisa menjadi lebih manis daripada tahun-tahun sebelumnya.
Kemudian kue lapis legit (spekkoek) perlambang datangnya rejeki berlapis-lapis, ikan mas (yu), agar rejeki berlimpah tahun dengan emas yang banyak, dan shou mian (mie panjang umur) agar umur dipanjangkan.
Lalu, pisang raja atau pisang mas yang melambangkan emas atau kemakmuran, jeruk kuning (diusahakan ada daunnya) yang melambangkan kemakmuran, tebu yang mengartikan kehidupan manis yang panjang, nanas (Wang Li) untuk kejayaan karena melambangkan mahkota raja.
Selain itu ada kolang kaling agar pikiran tetap jernih dan agar-agar berbentuk bintang yang dimaksudkan agar kehidupan di masa datang bisa menjadi lebih bersinar.
Adapun beberapa makanan yang perlu dihindari adalah buah-buahan yang berduri seperti salak atau durian, bubur, yang melambangkan kemiskinan serta makanan-makanan yang berasa pahit seperti pare, karena hal ini melambangkan kepahitan hidup.
Menurut Hermina, dulu ada tradisi pay qui, yaitu orang tua duduk dan anak-anak melakukan sungkem. Kemudian orang tua memberikan ang pao kepada anak-anak. Tradisi angpao bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan bisa dilakukan dalam peristiwa apapun yang melambangkan kegembiraan, seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lainnya.
Perayaan Imlek berlangsung pada puncaknya pada hari ke-15, ditutup dengan perayaan Cap Go Meh (malam menjelang hari ke-15) yaitu saat bulan purnama bersinar penuh. Bila perayaan imlek banyak difokuskan pada keluarga, maka perayaan Cap Go Meh difokuskan pada perayaan kemasyarakatan. Selamat merayakan Imlek.
sumber : inilah.com
Masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta menggunakan kata sincia “bulan 1 yang baru” dengan ucapan Sincun Kionghi “Selamat Menyambut Musim Semi yang Baru” atau Kionghi berarti “Selamat”. Juga ada kata ‘konyan. yang berasal dari ‘guo nian’ (bahasa Mandarin), berarti “melewati tahun yang baru”.
Di negara asalnya, RRC, perayaan Imlek dinamakan Chunjie, berarti “Perayaan Musim Semi”. Kata Chunjie digunakan sejak RRC merdeka. Sebelumnya digunakan istilah Yuandan, berarti hari pertama di tahun yang baru dimasuki. Sedangkan sejak 1949, Pemerintah RRC menetapkan nama Yuandan untuk Tahun Baru Internasional, sedangkan Tahun Baru Imlek dinamakan Chunjie.
Hermina Sutami Pengajar Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menuturkan, secara umum perayaan Tahun Baru ini memiliki makna permohonan yaitu agar dalam setahun ke depan, dapat memperoleh kesejahteraan, rezeki dan keberuntungan.
“Sedangkan secara religi, imlek bertujuan untuk mendapatkan pembebasan, penyembuhan, penyucian, pemurnian dan pembaruan dari Tuhan untuk memperoleh hidup dan semangat baru untuk menempuh masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Upacara menyambut Imlek, Toapekong (dewa) naik, dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian)/bulan La (bahasa Mandarin) tanggal 23 atau 24. Pada tanggal itu, Toapekong yang naik adalah Dewa Dapur bernama Zao Shen, serta dewa keluarga yang menentukan baik-buruknya nasib suatu keluarga. Di Indonesia Dewa Dapur juga disebut Cao Kun Kong.
“Agar Dewa Dapur tidak melaporkan hal yang jelek, manusia mencari akal untuk menyenangkan hatinya. Salah satunya adalah berupa sesajen makanan wajib berupa permen yang manis, liat, dan lengket, manisan buah kundur yang dikenal sebagai tangkua atau tangkwe,” paparnya.
Menurut Hermina, ada tiga kegiatan penting pada malam tahun baru imlek. Pertama, kepala keluarga memasang petasan. Kemudian, pintu utama rumah ditutup dan disegel dengan kertas merah agar hawa dingin tidak masuk ke rumah. Kertas merah sebagai lambang uang, merupakan alat menjaga kesejahteraan keluarga. Sesudah pintu ditutup, lalu dipasang perapian.
Acara berikutnya, makan malam bersama dengan suguhan 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili 12 shio. Masakan yang dihidangkan biasanya berkaitan dengan kemakmuran, panjang umur, kebahagiaan maupun keselamatan. Seperti tiga macam daging kurban (samseng) berupa ikan bandeng, ayam betina dan daging babi.
Tujuan dari suguhan tersebut adalah supaya manusia tidak mengikuti sifat ketiga hewan tersebut. Misalkan ikan bandeng yang mirip dengan ular bersisik, supaya tidak berlaku jahat seperti ular, ayam yang suka berpindah-pindah walaupun makanannya belum habis, yaitu agar manusia tidak serakah dan babi, sesuai dengan sifatnya supaya tidak menjadi pemalas.
Selain itu ada kue keranjang (Nian gao). Nian artinya tahun sedangkan gao artinya tinggi sehingga kue ini biasanya disusun tinggi. Pada zaman dulu, tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah.
Kemudian, ada suguhan kue-kue yang umumnya jauh lebih manis daripada biasanya (Tian=manis), dimaksudkan agar kehidupan bisa menjadi lebih manis daripada tahun-tahun sebelumnya.
Kemudian kue lapis legit (spekkoek) perlambang datangnya rejeki berlapis-lapis, ikan mas (yu), agar rejeki berlimpah tahun dengan emas yang banyak, dan shou mian (mie panjang umur) agar umur dipanjangkan.
Lalu, pisang raja atau pisang mas yang melambangkan emas atau kemakmuran, jeruk kuning (diusahakan ada daunnya) yang melambangkan kemakmuran, tebu yang mengartikan kehidupan manis yang panjang, nanas (Wang Li) untuk kejayaan karena melambangkan mahkota raja.
Selain itu ada kolang kaling agar pikiran tetap jernih dan agar-agar berbentuk bintang yang dimaksudkan agar kehidupan di masa datang bisa menjadi lebih bersinar.
Adapun beberapa makanan yang perlu dihindari adalah buah-buahan yang berduri seperti salak atau durian, bubur, yang melambangkan kemiskinan serta makanan-makanan yang berasa pahit seperti pare, karena hal ini melambangkan kepahitan hidup.
Menurut Hermina, dulu ada tradisi pay qui, yaitu orang tua duduk dan anak-anak melakukan sungkem. Kemudian orang tua memberikan ang pao kepada anak-anak. Tradisi angpao bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan bisa dilakukan dalam peristiwa apapun yang melambangkan kegembiraan, seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lainnya.
Perayaan Imlek berlangsung pada puncaknya pada hari ke-15, ditutup dengan perayaan Cap Go Meh (malam menjelang hari ke-15) yaitu saat bulan purnama bersinar penuh. Bila perayaan imlek banyak difokuskan pada keluarga, maka perayaan Cap Go Meh difokuskan pada perayaan kemasyarakatan. Selamat merayakan Imlek.
sumber : inilah.com
0 comments:
Post a Comment