Penuh cita rasa, misterius, beraroma. Kopi merupakan salah satu minuman istimewa yang memiliki sejarah mengagumkan. Biji kopi berasal dari seluruh penjuru dunia dan bagi para penggemar fanatik yang suka mencoba berbagai macam rasa, mereka dapat mengunjungi di hampir setiap tempat di manapun dan dijamin mereka akan menemukan kafe yang menyediakan kopi dengan cita rasa dan aroma favorit mereka.
Sehingga tidak mengherankan, budaya kopi yang mendunia telah mengarah pada tuntutan untuk meningkatkan paduan cita rasa, khas selera dan kompleksitas. Tidak terkecuali Indonesia, yang merupakan eksporter kopi peringkat tiga terbesar di dunia yang terkenal dengan biji kopi Arabikanya.
Namun tidak hanya biji Arabika yang membuat para pecandunya semakin menggemari kopi. Di tiga kepulauan besar penghasil kopi di Indonesia, yaitu Sumatra, Jawa dan Sulawesi, telah ditemukan sejenis kopi baru bernama "Kopi Luwak" yang dirasa sangat jarang dijumpai sehingga menjadikannya sebagai kopi termahal di pasar dunia. Anggaplah harga satu kilogramnya mencapai $780 AS (sekitar Rp 8.2 juta), maka untuk secangkir kopi anda perlu mengeluarkan $40 AS (Rp 420ribu).
Dilihat dari kacamata perspektif, setiap tahunnya biji kopi ini hanya diproduksi sebanyak beberapa ratus kilogram saja.
Jadi apa yang menyebabkan biji-biji kopi eksklusif ini menjadi sangat mahal? Jawabannya yaitu karena satwa lokal. Luwak, sejenis mamalia sejenis musang, mengonsumsi berbagai jenis buah-buahan termasuk buah kopi.
Luwak tersebut mencerna daging buah kopi yang telah matang kemudian mengekstrak biji kopi di dalamnya.
Hal ini kedengarannya tidak menimbulkan selera, namun menurut pandangan Massimo Marcone, seorang ilmuwan dari Universitas Guelph di Kanada, menemukan bahwa fermentasi internal hasil pencernaan luwak ini akan menghasilkan enzim yang menambah berbagai rasa unik pada biji kopi tersebut. Banyak orang juga berkomentar mengenai rasa yang unik setelah mencicipinya.
Bukti selalu didapat setelah Anda mencoba, maka baru dapat menilai rasa dan khas aromanya. The Herveys Range Heritage Tea Room di dekat Townsville Australia saat ini juga menyediakan Kopi Luwak. Dengan harga $50 AS (Rp 525 ribu) satu cangkirnya, kopi ini dianggap sebagai kopi termahal di Australia. (The Epoch Times/evl)
Sehingga tidak mengherankan, budaya kopi yang mendunia telah mengarah pada tuntutan untuk meningkatkan paduan cita rasa, khas selera dan kompleksitas. Tidak terkecuali Indonesia, yang merupakan eksporter kopi peringkat tiga terbesar di dunia yang terkenal dengan biji kopi Arabikanya.
Namun tidak hanya biji Arabika yang membuat para pecandunya semakin menggemari kopi. Di tiga kepulauan besar penghasil kopi di Indonesia, yaitu Sumatra, Jawa dan Sulawesi, telah ditemukan sejenis kopi baru bernama "Kopi Luwak" yang dirasa sangat jarang dijumpai sehingga menjadikannya sebagai kopi termahal di pasar dunia. Anggaplah harga satu kilogramnya mencapai $780 AS (sekitar Rp 8.2 juta), maka untuk secangkir kopi anda perlu mengeluarkan $40 AS (Rp 420ribu).
Dilihat dari kacamata perspektif, setiap tahunnya biji kopi ini hanya diproduksi sebanyak beberapa ratus kilogram saja.
Jadi apa yang menyebabkan biji-biji kopi eksklusif ini menjadi sangat mahal? Jawabannya yaitu karena satwa lokal. Luwak, sejenis mamalia sejenis musang, mengonsumsi berbagai jenis buah-buahan termasuk buah kopi.
Luwak tersebut mencerna daging buah kopi yang telah matang kemudian mengekstrak biji kopi di dalamnya.
Hal ini kedengarannya tidak menimbulkan selera, namun menurut pandangan Massimo Marcone, seorang ilmuwan dari Universitas Guelph di Kanada, menemukan bahwa fermentasi internal hasil pencernaan luwak ini akan menghasilkan enzim yang menambah berbagai rasa unik pada biji kopi tersebut. Banyak orang juga berkomentar mengenai rasa yang unik setelah mencicipinya.
Bukti selalu didapat setelah Anda mencoba, maka baru dapat menilai rasa dan khas aromanya. The Herveys Range Heritage Tea Room di dekat Townsville Australia saat ini juga menyediakan Kopi Luwak. Dengan harga $50 AS (Rp 525 ribu) satu cangkirnya, kopi ini dianggap sebagai kopi termahal di Australia. (The Epoch Times/evl)
0 comments:
Post a Comment