Dalam timbunan buku-buku sejarah, muncul sebuah kisah yang tidak diketahui kapan pertama kali muncul dalam peradaban manusia. Kisah tentang dua orang bersahabat yang bernama Yin dan Yang. Mereka berdua adalah orang yang saleh, berjiwa besar, dan penuh cinta kasih. Mungkin suatu kebetulan bahwa nama mereka mengingatkan kita pada konsep Yin-Yang yang berlawanan itu, namun memang demikianlah, mereka (Yin dan Yang) selalu berlawanan.
Yin mempunyai keyakinan atau agama yang berbeda dengan Yang. Mereka secara teratur bertemu untuk mendiskusikan keyakinan mereka, dengan tujuan mencari sesuatu yang tak mereka ketahui namanya. Walaupun mereka saling menghormati dan mengajukan argumentasi dengan penuh adab, namun pada setiap akhir pertemuan, mereka tidak pernah merasa puas.
Segala cara dan metode diskusi yang diketahui telah mereka tempuh tapi tetap tidak menghasilkan apa-apa. Ketika nyaris frustasi, mereka mulai kehilangan kendali diri, dalam hati masing-masing mulai muncul rasa "lebih benar". Akhirnya tercetus kata-kata Yin : "Ah, seandainya engkau adalah aku, tentu akan bisa memahami apa yang ingin kusampaikan, dan diskusi ini akan dapat membawa kita lebih mengerti 'sesuatu' itu."
Yang : "Hei, aku juga berpikir begitu. Tapi bagaimana cara kita saling tukar diri kita?"
Karena memang mereka tidak dapat saling tukar diri, maka tak lama kemudian mereka menemukan pemecahan yang disetujui paling tepat. Diputuskan, Yin akan mempelajari agama/keyakinan Yang dan Yang akan mempelajari agama/keyakinan Yin. Dan karena mereka memang menginginkan hasil terbaik dan terbenar, maka mereka berikrar akan mempelajari dengan sepenuh hati, berusaha memahami dengan hati terbuka, tidak malah mencari-cari titik kelemahan yang akan digunakan untuk menyerang lawannya.
Diputuskan, setelah 40 tahun mereka akan bertemu lagi untuk "duel sampai titik darah penghabisan".
Akhirnya, 40 tahun kemudian, Yin dan Yang yang telah semakin tua, bertemu pada senja hari di tempat terakhir mereka bertemu dahulu. Mereka saling berpandangan, tak sepatah kata pun yang terucapkan. Sinar mata mereka penuh kasih yang menghanyutkan sukma, senyum mereka begitu halus dan tulus. Mereka saling memeluk. Resonansi getaran jiwa mereka pada angin yang membelai, pada daun-daun yang berbisik, pada seluruh relung ruang di jagad raya ini : "Saudaraku, kau selalu dalam aku, dan aku dalam engkau."
Sejak saat itu tak ada lagi diskusi, karena dalam pelukan itu mereka mengerti tanpa mengetahui dan mendapatkan tanpa mencari.
Yin mempunyai keyakinan atau agama yang berbeda dengan Yang. Mereka secara teratur bertemu untuk mendiskusikan keyakinan mereka, dengan tujuan mencari sesuatu yang tak mereka ketahui namanya. Walaupun mereka saling menghormati dan mengajukan argumentasi dengan penuh adab, namun pada setiap akhir pertemuan, mereka tidak pernah merasa puas.
Segala cara dan metode diskusi yang diketahui telah mereka tempuh tapi tetap tidak menghasilkan apa-apa. Ketika nyaris frustasi, mereka mulai kehilangan kendali diri, dalam hati masing-masing mulai muncul rasa "lebih benar". Akhirnya tercetus kata-kata Yin : "Ah, seandainya engkau adalah aku, tentu akan bisa memahami apa yang ingin kusampaikan, dan diskusi ini akan dapat membawa kita lebih mengerti 'sesuatu' itu."
Yang : "Hei, aku juga berpikir begitu. Tapi bagaimana cara kita saling tukar diri kita?"
Karena memang mereka tidak dapat saling tukar diri, maka tak lama kemudian mereka menemukan pemecahan yang disetujui paling tepat. Diputuskan, Yin akan mempelajari agama/keyakinan Yang dan Yang akan mempelajari agama/keyakinan Yin. Dan karena mereka memang menginginkan hasil terbaik dan terbenar, maka mereka berikrar akan mempelajari dengan sepenuh hati, berusaha memahami dengan hati terbuka, tidak malah mencari-cari titik kelemahan yang akan digunakan untuk menyerang lawannya.
Diputuskan, setelah 40 tahun mereka akan bertemu lagi untuk "duel sampai titik darah penghabisan".
Akhirnya, 40 tahun kemudian, Yin dan Yang yang telah semakin tua, bertemu pada senja hari di tempat terakhir mereka bertemu dahulu. Mereka saling berpandangan, tak sepatah kata pun yang terucapkan. Sinar mata mereka penuh kasih yang menghanyutkan sukma, senyum mereka begitu halus dan tulus. Mereka saling memeluk. Resonansi getaran jiwa mereka pada angin yang membelai, pada daun-daun yang berbisik, pada seluruh relung ruang di jagad raya ini : "Saudaraku, kau selalu dalam aku, dan aku dalam engkau."
Sejak saat itu tak ada lagi diskusi, karena dalam pelukan itu mereka mengerti tanpa mengetahui dan mendapatkan tanpa mencari.
0 comments:
Post a Comment