Sudah menjadi kesalahpahaman umum di antara umat manusia, bahwa cara hidup yang terbaik adalah dengan berusaha menjauhkan diri dari rasa sakit dan mencoba meraih kenikmatan hidup. Fenomena ini pun dapat anda amati pada serangga dan burung-burung. Kita semua bersikap demikian.
Pendekatan untuk hidup yang lebih mengasyikkan, menggembirakan, dan mendebarkan, adalah dengan memulai membangkitkan rasa ingin tahu kita, tanpa mempedulikan apakah obyek penelitian kita itu berbuah pahit atau manis. Untuk menjalani hidup yang mengatasi semua hal kecil dan prasangka, serta sikap untuk selalu memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan kita, untuk menjalani hidup yang lebih utuh, bergairah, dan ceria, kita harus sadar bahwa kita ini mampu mengatasi rasa sakit dan kenikmatan demi menemukan siapa diri kita dan apa sesungguhnya dunia ini, bagaimana kita dan dunia ini berlangsung.
Jika terikat pada kenyamanan, kita akan segera lari terbirit-birit begitu dihinggapi rasa sakit; kita tak akan pernah tahu apa yang ada di balik penghalang atau tembok atau peristiwa yang menakutkan itu.
Kala orang-orang mulai bermeditasi atau sibuk dengan latihan spiritual yang lain, mereka acapkali berpikir bahwa mereka akan mencapai kemajuan, yang merupakan semacam agresi halus atas siapa diri mereka sebenarnya.
Hal ini agak mirip dengan ungkapan, “Jika saya melakukan olahraga jogging, saya akan menjadi orang yang lebih segar; Jika saya punya rumah yang lebih bagus, saya akan menjadi orang yang lebih baik.” Atau skenario mereka yang lain adalah dengan meletakkan kesalahan pada orang lain. Mereka bisa berkata, “Jika bukan karena suami saya, saya sudah menjalani perkawinan yang sempurna; Jika bukan karena boss saya, pekerjaan ini pasti hebat; Gara-gara pikirankulah, meditasi ini jadi tak mulus.”
Akan tetapi, cinta kasih -maitri- pada diri kita tidak berarti menyingkirkan segala-galanya. Maitri berarti kita tetap bisa tergila-gila
setelah bertahun-tahun berlatih. Kita masih bisa marah setelah bertahun-tahun berlatih. Kita masih bisa rakus, cemburu, atau penuh dengan berbagai-bagai sifat yang tidak baik. Intinya bukanlah mencoba untuk mengubah diri kita.
Latihan meditasi tidak bertujuan menyingkirkan diri kita dan berusaha menjadi sesuatu yang lebih baik. Latihan itu berarti menjadi ramah terhadap apa adanya diri kita, berkompromi dengan diri kita. Itulah dasarnya. Itulah yang kita pelajari. Itulah yang kita coba ketahui dengan rasa ingin tahu dan antusias yang besar. Kadangkala, di antara sesama umat Buddha, kata ego dipakai dengan nada yang mencemoohkan, dengan konotasi yang berbeda dari istilah yang dipakai Freud.
Sebagai umat Buddha, kita bisa mengatakan, “Ego saya menimbulkan begitu banyak masalah.” Lalu kita berpikir, “Jadi saya seharusnya menyingkirkannya, begitu bukan? Dengan demikian, tidak akan ada lagi masalah.”
Sebaliknya, tujuannya bukanlah untuk melenyapkan ego, melainkan untuk mulai meneliti diri kita, menyelidiki, dan mencari tahu tentang diri kita yang sebenarnya. Jalan meditasi dan jalan hidup kita semuannya berkaitan dengan rasa ingin tahu, dan hasrat untuk mengenal. Obyeknya adalah diri kita sendiri; kita berada di sini untuk mempelajari dan mengenali diri kita saat ini, bukan beberapa waktu kemudian. Orang-orang sering berkata pada saya, “Saya ingin mengunjungi dan bertanya jawab dengan anda. Saya ingin mengirim surat kepada anda, saya bermaksud menelepon anda, tetapi saya akan melakukannya kalau saya merasa sudah lebih baik.”
Saya berpikir, “Baiklah, kalau kalian menunggu hingga menjadi seperti saya, kalian boleh menunggu selamanya.”
Jadi, datanglah seperti apa adanya. Masalahnya adalah kemauan untuk membuka diri, kemauan untuk menyadarinya. Salah satu penemuan utama dalam meditasi adalah melihat bahwa kita terus-menerus lari dari saat tersebut, kita berusaha menghindari dari keberadaan kita di sana sebagaimana adanya. Ini bukanlah suatu kesulitan; yang penting ialah memahaminya.
Rasa ingin tahu melibatkan sikap lembut, teliti, dan terbuka -konkretnya, kemampuan untuk melepaskan dan membuka diri. Lembut adalah sikap untuk berbaik hati terhadap diri kita. Teliti adalah kemampuan untuk mengamati dengan jernih, tidak takut melihat apa yang sebenarnya ada di sana, seperti seorang ilmuwan yang tidak takut melihat lewat mikroskopnya.
Terbuka adalah kemampuan untuk melepaskan dan mengungkapkan. Hasil yang ingin dicapai dari latihan meditasi selama sebulan
yang baru akan kita mulai ini adalah seolah-olah, pada akhir setiap hari, seseorang memperlihatkan kaset video yang pemeran utamanya adalah diri anda, dan anda menyaksikannya sampai tuntas. Anda akan cukup sering mengernyitkan kening dan berseru, “Uh.” Anda kemungkinan besar akan melihat bahwa anda melakukan hal-hal yang juga dilakukan orang-orang yang tidak anda sukai
dan anda cela terus dalam hidup ini, orang-orang yang telah anda hakimi. Intinya, bersahabat dengan diri anda sendiri adalah bersahabat dengan orang-orang itu juga. Oleh karena anda memiliki sikap jujur, lembut, dan baik hati, bersama-sama dengan kejelasan pandangan atas diri anda sendiri, tidak akan ada lagi halangan untuk menyayangi orang lain juga.
Jadi, landasan bagi maitri adalah diri kita sendiri.
Kita berada di sini untuk mengenal dan mempelajari diri kita. Jalan, cara kita melakukannya, wahana utama kita, adalah meditasi dan kewaspadaan. Hasrat kita tidak cukup dibatasi dengan hanya duduk di sini; Manakala kita berjalan di aula, ke kamar mandi, mempersiapkan makanan, berjalan-jalan di luar, atau berbicara dengan teman -apa pun yang kita lakukan-kita berusaha mempertahankan sikap waspada, terbuka, dan ingin tahu atas apa yang sedang terjadi.
Barangkali kita akan mengalami sesuatu yang secara tradisional digambarkan sebagai buah dari maitri -keceriaan. Jadi, mudah-mudahan kita akan menjalani bulan yang bermanfaat di sini, belajar mengenal diri sendiri dan menjadi lebih riang, bukannya cemberut.
Pendekatan untuk hidup yang lebih mengasyikkan, menggembirakan, dan mendebarkan, adalah dengan memulai membangkitkan rasa ingin tahu kita, tanpa mempedulikan apakah obyek penelitian kita itu berbuah pahit atau manis. Untuk menjalani hidup yang mengatasi semua hal kecil dan prasangka, serta sikap untuk selalu memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan kita, untuk menjalani hidup yang lebih utuh, bergairah, dan ceria, kita harus sadar bahwa kita ini mampu mengatasi rasa sakit dan kenikmatan demi menemukan siapa diri kita dan apa sesungguhnya dunia ini, bagaimana kita dan dunia ini berlangsung.
Jika terikat pada kenyamanan, kita akan segera lari terbirit-birit begitu dihinggapi rasa sakit; kita tak akan pernah tahu apa yang ada di balik penghalang atau tembok atau peristiwa yang menakutkan itu.
Kala orang-orang mulai bermeditasi atau sibuk dengan latihan spiritual yang lain, mereka acapkali berpikir bahwa mereka akan mencapai kemajuan, yang merupakan semacam agresi halus atas siapa diri mereka sebenarnya.
Hal ini agak mirip dengan ungkapan, “Jika saya melakukan olahraga jogging, saya akan menjadi orang yang lebih segar; Jika saya punya rumah yang lebih bagus, saya akan menjadi orang yang lebih baik.” Atau skenario mereka yang lain adalah dengan meletakkan kesalahan pada orang lain. Mereka bisa berkata, “Jika bukan karena suami saya, saya sudah menjalani perkawinan yang sempurna; Jika bukan karena boss saya, pekerjaan ini pasti hebat; Gara-gara pikirankulah, meditasi ini jadi tak mulus.”
Akan tetapi, cinta kasih -maitri- pada diri kita tidak berarti menyingkirkan segala-galanya. Maitri berarti kita tetap bisa tergila-gila
setelah bertahun-tahun berlatih. Kita masih bisa marah setelah bertahun-tahun berlatih. Kita masih bisa rakus, cemburu, atau penuh dengan berbagai-bagai sifat yang tidak baik. Intinya bukanlah mencoba untuk mengubah diri kita.
Latihan meditasi tidak bertujuan menyingkirkan diri kita dan berusaha menjadi sesuatu yang lebih baik. Latihan itu berarti menjadi ramah terhadap apa adanya diri kita, berkompromi dengan diri kita. Itulah dasarnya. Itulah yang kita pelajari. Itulah yang kita coba ketahui dengan rasa ingin tahu dan antusias yang besar. Kadangkala, di antara sesama umat Buddha, kata ego dipakai dengan nada yang mencemoohkan, dengan konotasi yang berbeda dari istilah yang dipakai Freud.
Sebagai umat Buddha, kita bisa mengatakan, “Ego saya menimbulkan begitu banyak masalah.” Lalu kita berpikir, “Jadi saya seharusnya menyingkirkannya, begitu bukan? Dengan demikian, tidak akan ada lagi masalah.”
Sebaliknya, tujuannya bukanlah untuk melenyapkan ego, melainkan untuk mulai meneliti diri kita, menyelidiki, dan mencari tahu tentang diri kita yang sebenarnya. Jalan meditasi dan jalan hidup kita semuannya berkaitan dengan rasa ingin tahu, dan hasrat untuk mengenal. Obyeknya adalah diri kita sendiri; kita berada di sini untuk mempelajari dan mengenali diri kita saat ini, bukan beberapa waktu kemudian. Orang-orang sering berkata pada saya, “Saya ingin mengunjungi dan bertanya jawab dengan anda. Saya ingin mengirim surat kepada anda, saya bermaksud menelepon anda, tetapi saya akan melakukannya kalau saya merasa sudah lebih baik.”
Saya berpikir, “Baiklah, kalau kalian menunggu hingga menjadi seperti saya, kalian boleh menunggu selamanya.”
Jadi, datanglah seperti apa adanya. Masalahnya adalah kemauan untuk membuka diri, kemauan untuk menyadarinya. Salah satu penemuan utama dalam meditasi adalah melihat bahwa kita terus-menerus lari dari saat tersebut, kita berusaha menghindari dari keberadaan kita di sana sebagaimana adanya. Ini bukanlah suatu kesulitan; yang penting ialah memahaminya.
Rasa ingin tahu melibatkan sikap lembut, teliti, dan terbuka -konkretnya, kemampuan untuk melepaskan dan membuka diri. Lembut adalah sikap untuk berbaik hati terhadap diri kita. Teliti adalah kemampuan untuk mengamati dengan jernih, tidak takut melihat apa yang sebenarnya ada di sana, seperti seorang ilmuwan yang tidak takut melihat lewat mikroskopnya.
Terbuka adalah kemampuan untuk melepaskan dan mengungkapkan. Hasil yang ingin dicapai dari latihan meditasi selama sebulan
yang baru akan kita mulai ini adalah seolah-olah, pada akhir setiap hari, seseorang memperlihatkan kaset video yang pemeran utamanya adalah diri anda, dan anda menyaksikannya sampai tuntas. Anda akan cukup sering mengernyitkan kening dan berseru, “Uh.” Anda kemungkinan besar akan melihat bahwa anda melakukan hal-hal yang juga dilakukan orang-orang yang tidak anda sukai
dan anda cela terus dalam hidup ini, orang-orang yang telah anda hakimi. Intinya, bersahabat dengan diri anda sendiri adalah bersahabat dengan orang-orang itu juga. Oleh karena anda memiliki sikap jujur, lembut, dan baik hati, bersama-sama dengan kejelasan pandangan atas diri anda sendiri, tidak akan ada lagi halangan untuk menyayangi orang lain juga.
Jadi, landasan bagi maitri adalah diri kita sendiri.
Kita berada di sini untuk mengenal dan mempelajari diri kita. Jalan, cara kita melakukannya, wahana utama kita, adalah meditasi dan kewaspadaan. Hasrat kita tidak cukup dibatasi dengan hanya duduk di sini; Manakala kita berjalan di aula, ke kamar mandi, mempersiapkan makanan, berjalan-jalan di luar, atau berbicara dengan teman -apa pun yang kita lakukan-kita berusaha mempertahankan sikap waspada, terbuka, dan ingin tahu atas apa yang sedang terjadi.
Barangkali kita akan mengalami sesuatu yang secara tradisional digambarkan sebagai buah dari maitri -keceriaan. Jadi, mudah-mudahan kita akan menjalani bulan yang bermanfaat di sini, belajar mengenal diri sendiri dan menjadi lebih riang, bukannya cemberut.
0 comments:
Post a Comment