Saat di Myanmar, saya mengalami membaca paritta dalam bahasa Myanmar, hanya sekitar 15 menit di pagi hari, yang isinya adalah doa cinta kasih semua. Meski tidak mengerti bahasa Myanmar, tapi saya mengerti artinya, karena dibawa doa itu terdapat terjemahan dalam Bahasa Inggris. Baik membaca Paritta maupun Patimokha dilakukan dalam bahasa Myanmar.
Dari Myanmar menuju Thailand saya mengalami membaca paritta dalam bahasa Pali yang datar (menurut rekan Bikkhu yang pernah tinggal di sana ada yang dalam bahasa Thai juga). Dari Thailand menuju Dharamsala, saya sempat mengikuti Patimokha di Nangyal
Gompanya Dalai Lama. Tentu saja doa atau paritta yang dibacakan dalam bahasa Tibet, sehingga seperti Bikkhu Myanmar, Bikkhu Tibet pun mengerti apa yang mereka baca.
Sebaliknya di Tushita Meditation Centre, karena orang barat yang lebih dominan, mereka membaca Sutra Buddhis(melakukan puja) dalam Bahasa Inggris. Tentunya tetap dengan tekanan dan irama yang sama seperti saat dibacakan dalam Bahasa Tibet, tak lupa diiringi memainkan tambur,bel dan vajra di tangan.
Sebaliknya saat berkunjung ke Fo Guang Shan Taiwan, saya sempat mengikuti puja jam 5 pagi. Pembacaan sutra(puja) dilakukan dalam bahasa Mandarin tentunya, bahasa yang dimengerti orang-orang Tiongkok dimana agama Buddha Mahayana berkembang pesat.
Pada selebaran yang diberikan kepada saya karena tak mengerti Mandarin, terdapat terjemahan dalam bahasa Inggris. Setelah saya baca terjemahannya, isinya kurang lebih sama dengan yang dibaca oleh Bikkhu-Bikkhu bule di Tushita Meditation Centre maupun di Nangyal Gompal. Bedanya Bikkhu di Tushita membacakan(puja) dalam bahasa
Inggris, Nangyal Gompal dalam bahasa Tibet, sedangkan di Fo Guang Shan dalam bahasa Mandarin.
Mengenai paritta yang dibaca dalam Bahasa Pali saya temukan di vihara Thailand dan India. Meskipun sama-sama bahasa Pali, bedanya di India, sesuai cara orang India berbicara, irama dan anggukan kecil kepalanya membuat mereka seperti sedang menyanyi.
Hasilnya, dalam hati saya bertanya-tanya; Orang Tibet bisa melakukan puja dalam bahasa yang mereka mengerti, orang Taiwan, Vietnam dan Myanmar juga begitu, bahkan bule-bule pun mampu melakukan puja dalam bahasa mereka, Bahasa Inggris. Lalu, mengapa kita di Indonesia terus memaksa diri melafah sesuatu yang kita tak tahu maknanya?
Mengapa tak membaca paritta dalam Bahasa Indonesia saja? Bahasa kita sehari-hari, bahasa yang kita mengerti.
Kata orang bijak, kalau beli permen jangan makan bungkusnya, tapi isinya. Di Tibet ajaran Guru Buddha dibungkus dengan kebudayaan Tibet. Di Tiongkok ajaran Guru Buddha dibungkus dengan kebudayaan Tiongkok. Di Thailand ajaran Guru Buddha tak lepas dari pengaruh Raja Thailand.
Kalau beli permen jangan makan bungkusnya, tapi isinya. Sah-sah saja kita belajar ajaran Guru Buddha sampai ujung dunia . Sah-sah juga kita belajar kebudayaan setempat. Tapi jangan lalu jadikan kebudayaan setempat sebagai agama baru kita. Kalau kita mau boleh-boleh aja, tapi jangan kemudian menganggap yang laen sesat dong, anak kecil juga tau, hehe.
Bila Anda pernah bertemu Bhante Dewa yang merupakan bikkhu sepuh Sangha Agung Indonesia di Jawa, beliau membaca paritta dalam Bahasa Jawa.
Dan bodohnya kita, tak jarang kita bertengkar hanya karena ada yang mengatakan bahasa dan irama yang satu lebih suci dari yang lain. Hehehe… hahahahaha, kacaunya... dunia.
Sumber : Ekayana Buddhist Centre--Jakarta, 22 September 2004
Dari Myanmar menuju Thailand saya mengalami membaca paritta dalam bahasa Pali yang datar (menurut rekan Bikkhu yang pernah tinggal di sana ada yang dalam bahasa Thai juga). Dari Thailand menuju Dharamsala, saya sempat mengikuti Patimokha di Nangyal
Gompanya Dalai Lama. Tentu saja doa atau paritta yang dibacakan dalam bahasa Tibet, sehingga seperti Bikkhu Myanmar, Bikkhu Tibet pun mengerti apa yang mereka baca.
Sebaliknya di Tushita Meditation Centre, karena orang barat yang lebih dominan, mereka membaca Sutra Buddhis(melakukan puja) dalam Bahasa Inggris. Tentunya tetap dengan tekanan dan irama yang sama seperti saat dibacakan dalam Bahasa Tibet, tak lupa diiringi memainkan tambur,bel dan vajra di tangan.
Sebaliknya saat berkunjung ke Fo Guang Shan Taiwan, saya sempat mengikuti puja jam 5 pagi. Pembacaan sutra(puja) dilakukan dalam bahasa Mandarin tentunya, bahasa yang dimengerti orang-orang Tiongkok dimana agama Buddha Mahayana berkembang pesat.
Pada selebaran yang diberikan kepada saya karena tak mengerti Mandarin, terdapat terjemahan dalam bahasa Inggris. Setelah saya baca terjemahannya, isinya kurang lebih sama dengan yang dibaca oleh Bikkhu-Bikkhu bule di Tushita Meditation Centre maupun di Nangyal Gompal. Bedanya Bikkhu di Tushita membacakan(puja) dalam bahasa
Inggris, Nangyal Gompal dalam bahasa Tibet, sedangkan di Fo Guang Shan dalam bahasa Mandarin.
Mengenai paritta yang dibaca dalam Bahasa Pali saya temukan di vihara Thailand dan India. Meskipun sama-sama bahasa Pali, bedanya di India, sesuai cara orang India berbicara, irama dan anggukan kecil kepalanya membuat mereka seperti sedang menyanyi.
Hasilnya, dalam hati saya bertanya-tanya; Orang Tibet bisa melakukan puja dalam bahasa yang mereka mengerti, orang Taiwan, Vietnam dan Myanmar juga begitu, bahkan bule-bule pun mampu melakukan puja dalam bahasa mereka, Bahasa Inggris. Lalu, mengapa kita di Indonesia terus memaksa diri melafah sesuatu yang kita tak tahu maknanya?
Mengapa tak membaca paritta dalam Bahasa Indonesia saja? Bahasa kita sehari-hari, bahasa yang kita mengerti.
Kata orang bijak, kalau beli permen jangan makan bungkusnya, tapi isinya. Di Tibet ajaran Guru Buddha dibungkus dengan kebudayaan Tibet. Di Tiongkok ajaran Guru Buddha dibungkus dengan kebudayaan Tiongkok. Di Thailand ajaran Guru Buddha tak lepas dari pengaruh Raja Thailand.
Kalau beli permen jangan makan bungkusnya, tapi isinya. Sah-sah saja kita belajar ajaran Guru Buddha sampai ujung dunia . Sah-sah juga kita belajar kebudayaan setempat. Tapi jangan lalu jadikan kebudayaan setempat sebagai agama baru kita. Kalau kita mau boleh-boleh aja, tapi jangan kemudian menganggap yang laen sesat dong, anak kecil juga tau, hehe.
Bila Anda pernah bertemu Bhante Dewa yang merupakan bikkhu sepuh Sangha Agung Indonesia di Jawa, beliau membaca paritta dalam Bahasa Jawa.
Dan bodohnya kita, tak jarang kita bertengkar hanya karena ada yang mengatakan bahasa dan irama yang satu lebih suci dari yang lain. Hehehe… hahahahaha, kacaunya... dunia.
Sumber : Ekayana Buddhist Centre--Jakarta, 22 September 2004
0 comments:
Post a Comment