Suatu hari ada sekelompok pemuda yang iseng ke tukang ramal, saat sampai ke tempat tukang ramal tadi, masing-masing diramal oleh tukang ramal dan tentunya ada yang baik dan yang buruk. Mereka yang diramal baik tentunya akan bahagia, sedangkan yang diramal buruk akan mengalami kesedihan. Salah satu dari sekelompok anak muda itu diramal, bahwa hidupnya saat ini akan kaya raya tetapi kehidupannya singkat. Anak ini menjadi kalut, di satu sisi ada kebahagiaan dan disisi lain muncul kesedihan.
Kejadian seperti di atas bukan hanya dialami sekelompok anak muda dalam cerita di atas, tetapi masih banyak lagi orang yang pergi ke tukang ramal untuk mengetahui garis kehidupannya dan terkadang mereka mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mengetahui garis hidupnya. Banyak orang yang cemas menghadapi nasib kehidupannya sehingga mereka pergi ke tempat-tempat yang menjanjikan ramalan jitu.
Percaya pada nasib, baik atau buruk, sangat umum di kalangan masyarakat. Ini bisa terjadi akibat kurangnya pengertian terhadap hukum kamma, kondisi duniawi dan hakikat yang oleh orang lantas dianggap sebagai nasib baik atau nasib buruk.
Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa hasil yang baik datang dari sebab yang baik, dan hasil yang buruk datang dari sebab yang buruk, sesuai dengan hukum kamma. Ketika orang menghadapi hasil yang buruk akibat perbuatan jahatnya di masa lalu atau sekarang, ia semestinya tak mengkambinghitamkan nasib buruk. Sebaliknya, lebih tepat baginya untuk mengatakan bahwa ia sedang mengalami akibat dari kamma buruknya. Dengan pengertian seperti ini, pengertian tentang nasib akan bergeser ke pengertian yang sebenarnya. Dengan cara ini pula, ia akan memahami bahwa ia yang bertanggung jawab atas segala kebahagiaan dan ketidakbahagiaannya sendiri, berdasarkan seberapa baik dan seberapa buruk dalam bersikap dalam kehidupan ini. Tidak ada yang disebut nasib, pilihan ada ditangan kita sendiri.
Manusia mestinya tidak menyerah dan berhenti berusaha mengalahkan ketidakberuntungan yang menyatakan bahwa ia tidak memiliki ‘Hoki’. Ia juga mesti tidak membiarkan dirinya menjadi korban kepercayaan seperti itu yang akan menghalangi kemajuan material dan spiritual.
Menurut ajaran sang Buddha, usaha adalah kondisi yang paling penting untuk memperbaiki kamma buruk seseorang. Dengan usaha yang dilakukan pada hari ini, orang bisa membuat kamma yang sangat segar, dan mengubah keadaan serta lingkungannya. Selalu ada kemungkinan seseorang untuk mengubah kammanya sendiri. Jika kegagalan disebabkan ketidakefisienan, kurang pengalaman, atau kemalasan, ia harus berusaha memajukan dirinya sendiri dengan mengatasi kegagalannya tanpa menyalahkan bintang-bintang, setan atau roh-roh. Dengan pengertian terhadap hakikat diri serta penerimaan terhadap kelemahan diri sendiri adalah langkah pertama untuk memperbaiki diri sendiri.
Apa yang disebut dengan nasib yang tak terelakan atau takdir yang tak dapat diperbaiki itu tidak ada dalam ajaran sang Buddha. Jika kita mengamati pengalaman diri kita sendiri dan orang lain, kita akan menyadari bahwa ketidakbahagiaan dan penderitaan pada hari ini adalah hasil dari kesalahan yang telah dilakukan kemarin.
Manusia bukanlah sekedar seperti pion di papan catur, kekuatan universal yang tak mampu dikendalikannya. Nasibnya adalah ciptaannya sendiri, apakah baik atau buruk. Manusia menciptakan nasibnya sendiri dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatannya sendiri. Tidak ada kesempatan untuk sembunyi dari konsekuensi perbuatannya. Karenanya, manusia adalah pembentuk kehidupannya sendiri, saat ini dan di masa mendatang.
Hukum kamma yang mengukir nasib seseorang tidak mengenal restribusi. Tidak motif untuk menghukum dalam hukum agung universal tersebut. Alam itu adil. Ia tidak bisa ditipu, tak juga bisa memberikan kompensasi bagi yang memohon-mohon. Pada waktu keadaan yang sesuai muncul, perbuatan yang akan kita tanam akan berubah. Karenanya, di hadapan malapetaka, tak ada yang bisa dicapai dengan memaki langit.
Pengaruh kamma dalam kehidupan seseorang bukannya tidak bisa diubah. Karenanya konsep penderitaan yang abadi dan kebahagiaan yang kekal adalah asing dalam agama Buddha. Semua jenis kehidupan dalam lingkaran kelahiran dan kematian (samsara) adalah tidak kekal. Hanya setelah kita keluar dari keberadaan yang relatif di dalam samsara dan telah mencapai Nibbana, barulah kebahagiaan abadi kita sadari.
Proses pengembangan kedewasaan spiritual meliputi latihan diri dan disiplin moral, penyucian batin dan menjalankan kehidupan lurus, penuh dengan kasih sayang, harmoni, dan pelayanan tanpa pamrih. Berbagai agama memberikan interpretasi yang berbeda berkenaan dengan bagaimana penyelamatan dari penderitaan dimungkinkan. Dalam agama Buddha, seseorang bisa diselamatkan dengan cara menjalankan hidup yang sesuai dengan hukum moral universal dan dengan mensucikan pikirannya. Ia sebenarnya bisa membentuk nasibnya tanpa harus bergantung kepada kekuatan diluar dirinya.
Sebagai umat manusia, mesti tidak menyia-siakan keberadaan kita sebagai umat manusia dengan menyesali masa lalu, ataupun menghabiskan waktu dalam kegiatan yang sia-sia dan tak bermanfaat. Sikap hidup seperti itu cuma akan membuang kesempatan untuk menyadari tujuan sebenarnya dari hidup ini, dan menghalangi kemajuan kita dalam usaha pembebasan sempurna dari penderitaan.
Tak ada yang disebut nasib, kecuali efek perbutan kita di masa lalu. Perbuatan kita di masa lalu adalah nasib kita….pencapaian kita ditentukan oleh usaha kita. Usaha kita dengan demikian adalah nasib kita. Usaha kita yang dulu dan sekarang, jika berlawanan adalah seperti dua ekor kambing yang berlaga. Yang lebih kuat akan melemparkan yang lebih lemah….Apakah itu usaha kita di masa lalu atau kala ini, adalah yang lebih kuat yang menentukan nasib kita. Dalam kasus manapun, adalah usaha manusia yang menentukan nasibnya sendiri. Hanya kejadian-kejadian dalam dunia ini yang ia ciptakan dengan perbuatannya sendiri dan bukan yang lain…Karenanya seseorang harus mengatasi nasib buruknya sendiri (efek perbuatannya di masa lalu) dengan usaha yang lebih baik di masa sekarang. Tak ada yang tidak bisa dicapai oleh manusia dengan usaha yang tepat. Dengan adanya pengertian yang jelas terhadap kamma maka kasus-kasus seperti cerita sekelompok pemuda itu tidak ada lagi. Memang, untuk menumbuhkan pengertian seperti itu, di tengah-tengah manusia yang masih dipengaruhi oleh panadangan umum di masyarakat sangat sulit. Tetapi bukan berarti tidak bisa, oleh karena harus dimulai dari diri kita sendiri.
Orang dungu menanti hari baik tapi nasib baik selalu jauh darinya, nasib baik adalah bintang terang itu sendiri, apa yang bisa dicapai hanya oleh bintang terang. (Jataka)
Ditulis oleh: Bhikkhu Abhayanando
Kejadian seperti di atas bukan hanya dialami sekelompok anak muda dalam cerita di atas, tetapi masih banyak lagi orang yang pergi ke tukang ramal untuk mengetahui garis kehidupannya dan terkadang mereka mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mengetahui garis hidupnya. Banyak orang yang cemas menghadapi nasib kehidupannya sehingga mereka pergi ke tempat-tempat yang menjanjikan ramalan jitu.
Percaya pada nasib, baik atau buruk, sangat umum di kalangan masyarakat. Ini bisa terjadi akibat kurangnya pengertian terhadap hukum kamma, kondisi duniawi dan hakikat yang oleh orang lantas dianggap sebagai nasib baik atau nasib buruk.
Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa hasil yang baik datang dari sebab yang baik, dan hasil yang buruk datang dari sebab yang buruk, sesuai dengan hukum kamma. Ketika orang menghadapi hasil yang buruk akibat perbuatan jahatnya di masa lalu atau sekarang, ia semestinya tak mengkambinghitamkan nasib buruk. Sebaliknya, lebih tepat baginya untuk mengatakan bahwa ia sedang mengalami akibat dari kamma buruknya. Dengan pengertian seperti ini, pengertian tentang nasib akan bergeser ke pengertian yang sebenarnya. Dengan cara ini pula, ia akan memahami bahwa ia yang bertanggung jawab atas segala kebahagiaan dan ketidakbahagiaannya sendiri, berdasarkan seberapa baik dan seberapa buruk dalam bersikap dalam kehidupan ini. Tidak ada yang disebut nasib, pilihan ada ditangan kita sendiri.
Manusia mestinya tidak menyerah dan berhenti berusaha mengalahkan ketidakberuntungan yang menyatakan bahwa ia tidak memiliki ‘Hoki’. Ia juga mesti tidak membiarkan dirinya menjadi korban kepercayaan seperti itu yang akan menghalangi kemajuan material dan spiritual.
Menurut ajaran sang Buddha, usaha adalah kondisi yang paling penting untuk memperbaiki kamma buruk seseorang. Dengan usaha yang dilakukan pada hari ini, orang bisa membuat kamma yang sangat segar, dan mengubah keadaan serta lingkungannya. Selalu ada kemungkinan seseorang untuk mengubah kammanya sendiri. Jika kegagalan disebabkan ketidakefisienan, kurang pengalaman, atau kemalasan, ia harus berusaha memajukan dirinya sendiri dengan mengatasi kegagalannya tanpa menyalahkan bintang-bintang, setan atau roh-roh. Dengan pengertian terhadap hakikat diri serta penerimaan terhadap kelemahan diri sendiri adalah langkah pertama untuk memperbaiki diri sendiri.
Apa yang disebut dengan nasib yang tak terelakan atau takdir yang tak dapat diperbaiki itu tidak ada dalam ajaran sang Buddha. Jika kita mengamati pengalaman diri kita sendiri dan orang lain, kita akan menyadari bahwa ketidakbahagiaan dan penderitaan pada hari ini adalah hasil dari kesalahan yang telah dilakukan kemarin.
Manusia bukanlah sekedar seperti pion di papan catur, kekuatan universal yang tak mampu dikendalikannya. Nasibnya adalah ciptaannya sendiri, apakah baik atau buruk. Manusia menciptakan nasibnya sendiri dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatannya sendiri. Tidak ada kesempatan untuk sembunyi dari konsekuensi perbuatannya. Karenanya, manusia adalah pembentuk kehidupannya sendiri, saat ini dan di masa mendatang.
Hukum kamma yang mengukir nasib seseorang tidak mengenal restribusi. Tidak motif untuk menghukum dalam hukum agung universal tersebut. Alam itu adil. Ia tidak bisa ditipu, tak juga bisa memberikan kompensasi bagi yang memohon-mohon. Pada waktu keadaan yang sesuai muncul, perbuatan yang akan kita tanam akan berubah. Karenanya, di hadapan malapetaka, tak ada yang bisa dicapai dengan memaki langit.
Pengaruh kamma dalam kehidupan seseorang bukannya tidak bisa diubah. Karenanya konsep penderitaan yang abadi dan kebahagiaan yang kekal adalah asing dalam agama Buddha. Semua jenis kehidupan dalam lingkaran kelahiran dan kematian (samsara) adalah tidak kekal. Hanya setelah kita keluar dari keberadaan yang relatif di dalam samsara dan telah mencapai Nibbana, barulah kebahagiaan abadi kita sadari.
Proses pengembangan kedewasaan spiritual meliputi latihan diri dan disiplin moral, penyucian batin dan menjalankan kehidupan lurus, penuh dengan kasih sayang, harmoni, dan pelayanan tanpa pamrih. Berbagai agama memberikan interpretasi yang berbeda berkenaan dengan bagaimana penyelamatan dari penderitaan dimungkinkan. Dalam agama Buddha, seseorang bisa diselamatkan dengan cara menjalankan hidup yang sesuai dengan hukum moral universal dan dengan mensucikan pikirannya. Ia sebenarnya bisa membentuk nasibnya tanpa harus bergantung kepada kekuatan diluar dirinya.
Sebagai umat manusia, mesti tidak menyia-siakan keberadaan kita sebagai umat manusia dengan menyesali masa lalu, ataupun menghabiskan waktu dalam kegiatan yang sia-sia dan tak bermanfaat. Sikap hidup seperti itu cuma akan membuang kesempatan untuk menyadari tujuan sebenarnya dari hidup ini, dan menghalangi kemajuan kita dalam usaha pembebasan sempurna dari penderitaan.
Tak ada yang disebut nasib, kecuali efek perbutan kita di masa lalu. Perbuatan kita di masa lalu adalah nasib kita….pencapaian kita ditentukan oleh usaha kita. Usaha kita dengan demikian adalah nasib kita. Usaha kita yang dulu dan sekarang, jika berlawanan adalah seperti dua ekor kambing yang berlaga. Yang lebih kuat akan melemparkan yang lebih lemah….Apakah itu usaha kita di masa lalu atau kala ini, adalah yang lebih kuat yang menentukan nasib kita. Dalam kasus manapun, adalah usaha manusia yang menentukan nasibnya sendiri. Hanya kejadian-kejadian dalam dunia ini yang ia ciptakan dengan perbuatannya sendiri dan bukan yang lain…Karenanya seseorang harus mengatasi nasib buruknya sendiri (efek perbuatannya di masa lalu) dengan usaha yang lebih baik di masa sekarang. Tak ada yang tidak bisa dicapai oleh manusia dengan usaha yang tepat. Dengan adanya pengertian yang jelas terhadap kamma maka kasus-kasus seperti cerita sekelompok pemuda itu tidak ada lagi. Memang, untuk menumbuhkan pengertian seperti itu, di tengah-tengah manusia yang masih dipengaruhi oleh panadangan umum di masyarakat sangat sulit. Tetapi bukan berarti tidak bisa, oleh karena harus dimulai dari diri kita sendiri.
Orang dungu menanti hari baik tapi nasib baik selalu jauh darinya, nasib baik adalah bintang terang itu sendiri, apa yang bisa dicapai hanya oleh bintang terang. (Jataka)
Ditulis oleh: Bhikkhu Abhayanando
0 comments:
Post a Comment