DbClix
SentraClix

Sunday, October 11, 2009

Bodhisattva Ksitigarbha 地藏王菩薩

[我不入地獄,誰入地獄] “Kalau bukan aku yang ke Neraka, siapakah yang akan pergi ke Neraka?” Kalimat ini sering dipakai untuk melukiskan semangat & tekad Kalau bukan saya siapa lagi, hanya satu-satunya yaitu diri sendiri menghadapi dengan keberanian, suatu keadaan yang luar biasa sulit, di mana orang lain satu demi satu akan menghindar dari hal tersebut. Sebenarnya, kalau kita mengerti betapa menakutkan & menderitanya berada di Neraka, yang bisa mengucapkan & bisa melaksanakan sekaligus, barangkali hanya Te Cong Ong Pho Sat.


地藏王菩薩 Di Zang Wang Pu Sa {Hok Kian = Te Cong Ong Pho Sat} atau disebut juga Di Zang Pu Sa {Te Cong Pho Sat}. Dalam bahasa Sansekerta disebut Bodhisatva Ksitigarbha, adalah dewata Buddhisme yang paling banyak dipuja oleh masyarakat di samping Guan Yin Pu Sa.

Di berarti bumi yang amat besar. Zang berarti menyimpan. Ini menunjukkan bahwa hati Te Cong Ong Pho Sat seperti bumi yang amat besar, yang dapat menyimpan apa saja, termasuk manusia yang tak terhitung jumlahnya, terutama yang memiliki akar kebajikan.
Te Cong Ong Pho Sat adalah salah satu dari 4 Bodhisatva yang amat dihormati oleh umat Buddhis Mahayana. Keempat Boddhisatva tersebut masing-masing memiliki 4 kwalitas dasar :
1. Guan Yin Pu Sa sebagai lambang Welas Asih.
2. Wen Su Pu Sa sebagai lambang Kebijaksanaan.
3. Pu Xian Pu Sa sebagai lambang Kasih & Pelaksanaan.
4. Di Zang Pu Sa sebagai lambang Keagungan dalam sumpah untuk menolong roh-roh yang sengsara.

Sumpah Agungnya yang penuh rasa welas asih berbunyi : “Kalau bukan aku yang pergi ke Neraka untuk menolong roh-roh yang tersiksa di sana, siapakah yang akan pergi? …… Kalau Neraka belum kosong dari roh-roh yang menderita, aku tidak akan menjadi Buddha.”

Di dalam hati orang Tionghoa, Te Cong Ong Pho Sat adalah Dewa Pelindung bagi arwah-arwah yang mengalami siksaan di Neraka, agar mereka dapat terbebas & terlahir kembali (tumimbal lahir). Beliau sering dikaitkan dengan 10 Raja Akhirat (Shi Tian Yan Wang). Ke sepuluh Raja Akhirat adalah bawahan langsung dari beliau, sehingga beliau bergelar You Ming Jiao Zhu (Pemuka Agama di Akhirat). Beliau menjadi pelindung para arwah, membimbing mereka agar insyaf dari perbuatan buruknya di masa yang lalu, & tak akan mengulangnya lagi, agar dapat terbebas dari karma buruk pada penitisan yang akan datang.

Sejarah Te Cong Ong Pho Sat tercatat dalam Kitab Suci Buddhis sebagai berikut: Ketika Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya & masuk Nirwana, 1.500 tahun kemudian ia menitis kembali ke dunia & terlahir di Korea, dengan nama Jin Qiao Jue {Kim Kiauw Kak}, seorang pangeran dari keluarga Raja di negeri Sin Lo. Setelah banyak orang mengetahui bahwa ia adalah penitisan Buddha, mereka memanggilnya Jin Di Zang. Beliau berwatak sederhana, welas asih & berbudi, tidak serakah akan harta & tahta. Ia amat gemar mendalami ajaran Kong Hu Cu & Buddha.

Pada tahun 653 M, tahun Yong Wei ke-4, yaitu masa pemerintahan Kaisar Tang Gao Zong, Jin Qiao Jue yang pada waktu itu berusia 24 tahun dengan membawa seekor anjing yang diberi nama Shan Ting (arti harfiah : “Pandai Mendengar”) berlayar menyeberangi lautan, kemudian sampai di pegunungan Jiu Hua Shan, propinsi An Hui.

Gunung Jiu Hua Shan sebenarnya adalah milik Min Gong {Bin Kong}. Min Gong adalah orang yang sangat berbudi, suka menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan makanan vegetarian untuk 100 orang Bikkhu. Namun, setiap kali ia hanya bisa mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil memenuhi jumlah 100 orang.

Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri ke gunung untuk mencari Bikkhu yang ke-100. Ketika melihat Jin Qiao Jue sedang bersemedi di sebuah gubuk, ia segera menghampirinya & mengundangnya datang ke rumah untuk makan bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Min Gong kelihatannya berjodoh dengannya, lalu memenuhi undangannya, tapi dengan mengajukan 1 permintaan. Permintaannya sederhana: ia hanya menginginkan sebidang tanah di Jiu Hua Shan seluas baju Kasa-nya (Jubah Suci Bikkhu) yang ditebarkan. Melihat permintaan yang sepele itu, Min Gong langsung menyetujuinya. Namun keanehan terjadi. Ketika Jin Qiao Jue menebarkan baju kasanya ke udara, ternyata baju pusaka tersebut berubah menjadi luar biasa besar sehingga dapat menutup seluruh pegunungan itu.

Demikianlah Min Gong lalu menyerahkan Jiu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan tempat ibadah & mengajar Dharma. Min Gong bahkan menyuruh putranya untuk menemani Jin Qiao Jue menjadi Bikkhu. Putra Min Gong ini kemudian disebut Dao Ming He Sang {To Bing Hwe Sio}. Selanjutnya Min Gong pun meninggalkan kehidupan-nya yang penuh kemewahan untuk ikut menjadi penganut Jin Qiao Jue & mengangkat Dao Ming He Sang, putranya sendiri, menjadi gurunya, & mensucikan diri di gunung Jiu Hua Shan.

Dewasa ini, gambar ataupun arca Te Cong Ong Pho Sat biasanya dilengkapi dengan seorang Bikkhu muda yang berdiri di sebelah kiri & seorang tua berdiri di sebelah kanannya. Itu adalah Dao Ming He Sang & Min Gong.

Jin Qiao Jue bertapa di Gunung Jiu Hua Shan selama 75 tahun, dengan ditemani oleh anjingnya yang setia. Te Cong Ong Pho Sat wafat di usia 99 tahun, tahun 728 M, pada masa pemerintahan Kaisar Xuan Zong dari Dinasti Tang, pada bulan 7 tanggal 30 penanggalan Imlek. Inilah sebabnya mengapa setiap tanggal tersebut orang Tionghoa banyak membakar hio yang disebut Di Zang Xiang {Te Cong Hio} atau Dupa Te Cong.
Jenazah Jin Qiao Jue ditempatkan pada sebuah gua batu kecil. Sampai pada suatu ketika jenazah dikeluarkan, tapi masih dalam keadaan baik & tidak membusuk, & wajahnya seperti orang tidur.

Pada masa pemerintahan Kaisar Xiao Zong, para umatnya membangun sebuah pagoda di Nan Tai (salah satu puncak di Jiu Hua Shan) & menempatkan abunya di sana. Tatkala pagoda tersebut selesai dibangun & abu telah ditempatkan, ternyata dari pagoda itu mengeluarkan sinar yang terang-benderang, sehingga mengherankan orang-orang yang ada di situ. Tempat itu lalu diubah namanya menjadi Shen Guang Ling yang berarti Bukit Cahaya Dewa. Sejak itu Jiu Hua Shan menjadi salah satu gunung suci umat Buddha.
Di Tiongkok terdapat 4 Gunung Suci untuk umat Buddha :
1. Jiu Hua Shan di propinsi An Hui.
2. Wu Tai Shan di Propinsi Shan Xi.
3. Er Mei Shan di propinsi Si Chuan.
4. Pu Tuo Shan di propinsi Zhe Jiang.

Jiu Hua Shan yang merupakan Gunung Suci umat Buddha, sebenarnya adalah salah satu cabang dari pegunungan Huang Shan, dengan tinggi + 1.000 m. Karena 9 puncaknya berbentuk seperti bunga yang sedang mekar, maka orang-orang lalu menamakannya Jiu Hua Shan (Gunung 9 Bunga). Di sini terdapat 108 buah Kuil Buddha. Yang tertua adalah Hua Cheng Si.

Zaman dulu setiap bulan 7 tanggal 30 Imlek, para umat banyak yang berbondong-bondong ke Kelenteng Hua Cheng Si untuk merayakan ulang tahun Di Zang Wang. Bangunan Kelenteng ini sangat indah, penuh ukiran kayu & batu yang bermutu tinggi sehingga para pengunjung dapat menikmati suatu karya seni Tiongkok Kuno yang amat bernilai. Selain itu patut dinikmati pula peninggalan sejarah berupa tulisan & prasasti yang ditulis oleh para Kaisar zaman dulu yang berkunjung ke Kelenteng ini. Ruang utama kelenteng ini disebut Yue Shen Bao Dian, adalah tempat wafatnya Te Cong Ong Pho Sat. dalam ruang ini terdapat batu yang tercatat telapak kakinya. Para pengunjung yang memasuki ruangan ini selalu berdoa sambil membakar dupa.

Dalam masyarakat pemujaan Te Cong Ong Pho Sat amat populer, tidak hanya di kalangan Buddhis saja. Selain dipuja di kelenteng yang bercorak Buddha, Te Cong Ong banyak terdapat di kelenteng-kelenteng keluarga, rumah-rumah abu atau tempat pembakaran mayat. Tujuannya agar roh leluhur mereka memperoleh perlindungan dari Te Cong Ong Pho Sat sehingga dapat lebih cepat terbebas dari siksaan di Neraka & terlahir kembali. Kadang kala upacara di tempat itu dilakukan secara Taoisme, tapi bagi masyarakat umum hal ini tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah sembahyang itu sendiri, tanpa perduli apakah itu dari Taois atau Buddhis.

Menurut Buku “Catatan dari Beijing”, pada malam peringatan hari lahir Te Cong Ong Pho Sat, diadakan sembahyang & diadakan pembacaan paritta di kelenteng-kelenteng di Beijing & sekitarnya. Dipersiapkan juga sebuah perahu dari kertas & bambu, di dalamnya ditempatkan arca Te Cong Ong & 10 Raja Akhirat yang juga terbuat dari kertas. Tengah malam setelah selesai upacara sembahyang, lilin di tengah perahu itu dinyalakan & perahu itu diturunkan ke air & dibiarkan mengalir ke mana saja. Masyarakat yang menunggu di tepi sungai juga melepaskan lilin kecil yang diapungkan di atas piring kertas & mengalir mengikuti perahu tersebut. Upacara ini disebut Liu Hua Deng (Mengalirkan Lentera Bunga). Propinsi-propinsi lain di Tiongkok seperti Jiang Su, Zhe Jiang juga mempunyai kebiasaan seperti ini, walaupun dengan variasi yang berbeda.

Te Cong Ong Pho Sat ditampilkan dalam keadaan duduk di atas teratai, memakai topi Buddha berdaun 5 dengan wajah yang memancarkan sinar kasih, membawa tongkat bergelang. Pada saat dibawa berjalan, gelang-gelang yang ada di ujung tongkat ini akan berbunyi gemerincing. Bunyi ini diharapkan dapat membuat serangga atau hewan kecil lainnya menyingkir agar tidak terinjak Sang Bikkhu, sebab salah satu Sila Dasar agama Buddha adalah tidak membunuh makhluk hidup.

Sumber : Buddhist Temple Jakarta - Jin De Yuan

Related Post :

0 comments: