Dulu sekali, ada seorang pandita yang amat termasyur. Suatu hari ia memutuskan bahwa sudah tiba saat yang tepat untuk melakukan pengorbanan kambing. Ia menganggap bahwa itu merupakan persembahan yang diinginkan oleh dewa.
Pertama-tama ia memilih kambing yang cocok. Lalu ia menyuruh pembantunya agar memandikan kambing tersebut di sungai.
Di tepi sungai, entah bagaimana tiba-tiba kambing tersebut merasa bahwa hari ini ia akan mati. Ia teringat akan kehidupannya yang lampau, kematiannya dan kelahirannya kembali. Ia juga menyadari bahwa akibat dari perbuatan buruknya dimasa lampau akan masak. Hal tersebut membuat kambing itu tertawa, bunyi aneh karena kambing tidak biasa tertawa.
Di saat ia tertawa-tawa, ia juga teringat pada kenyataan lain. Ia sadar bahwa si pandita karena mengorbankan kambing, akan mengalami derita mengerikan yang sama pada akhirnya, karena kebodohannya. Melihat kenyataan ini ia lalu menangis dengan kerasnya, sama kerasnya ketika ia tertawa.
Pelayan yang sedang mandi di sungai, sangat terperanjat mendengar suara tawa dan tangis kambing.
"Kenapa kamu tertawa tawa-tawa keras lalu menangis dengan keras juga? Kenapa begitu?" tanyanya.
"Akan kuberitahu," jawab kambing, "Tapi sebaiknya di hadapan majikanmu."
Penasaran ingin tahu sebabnya, segera ia membawa kambing korban tersebut ke majikannya. Ia ceritakan semua yang terjadi. Pandita juga ingin segera mengetahuinya. Dengan sopan ia meminta si kambing untuk menjelaskan:
"Tuan kambing, kenapa engkau tertawa lalu menangis?"
Kambing menjawab:
"Jauh di masa lalu, aku juga seorang pandita yang mahir dalam upacara-upacara. Seperti dirimu, aku menganggap bahwa mengorbankan kambing adalah persembahan yang wajib untuk dewa. Kurban yang akan membawa kebaikan. Baik untuk aku sendiri maupun untuk keluargaku pada hidupku yang akan datang. Namun nyatanya selama 499 kali kelahiranku kemudian, aku mengalami penderitaan dipotong kepalaku."
"Saat disiapkan sebagai korban hari ini, aku sadar akan kehilangan kepalaku sekali lagi, untuk yang ke 500 kalinya. Selanjutnya, setelah hari ini, aku akhirnya terbebas dari karma buruk perbuatan buruk yang telah ku lakukan jauh dimasa lampau. Kegembiraan ini membuat aku kegirangan.
Lalu tiba-tiba aku menyadari bahwa engkau, sebagai pandita, baru saja akan memulai perbuatan buruk yang sama, yang telah saya lakukan, dan akan bernasib mengalami akibat sama kepalamu akan dipotong dalam 500 kali kelahiranmu yang akan datang! Jadi, karena rasa kasihan dan prihatin kepadamu, tawaku berubah menjadi tangisan."
Mendengar perkataan itu pandita buru-buru berkata: "Baiklah, tuan kambing, jika ternyata demikian, aku tak akan membunuhmu."
"Pandita Mulia, meskipun dirimu tidak membunuhku, aku tahu sudah pasti aku tetap saja akan kehilangan kepalaku hari ini, dan pada akhirnya tebebas dari karma burukku," jawab si kambing.
"Jangan cemas kambingku. Aku akan memberimu perlindungan yang sangat baik. Aku jamin tak ada yang akan menyakitimu," kata pandita.
"Oh pandita, perlindunganmu tak ada gunanya dibandingkan kekuatan karma."
Demikianlah pandita tersebut membatalkan upacara korban. Ia mulai mempertanyakan pembunuhan binatang yang tanpa dosa. Ia membebaskan si kambing. Bersama pelayannya, ia mengikuti kambing tersebut dari dekat untuk melindunginya dari bahaya apapun.
Namun demikian, kambing memang telah sampai pada akhir masa hidupnya. Kambing itu berkeliaran di daerah berbatu. Melihat beberapa daun hijau di cabang ia berusaha meraihnya. Tiba-tiba ada petir menyambar batu yang miring, dan hempasan pecahan tajam runtuh, langsung memotong kepala kambing tersebut! Ia mati seketika.
Mendengar kejadian yang menakjubkan ini, ratusan penduduk sekitar mendatangi tempat tersebut. Tak seorangpun yang mengetahui bagaimana ini bisa terjadi.
Kinara yang hidup di pohon dekat tempat itu menyaksikan seluruh kejadiannya. Ia memperlihatkan dirinya, mengepakan sayapnya dengan aggun, lalu menceritakan semua ini kepada penduduk yang sangat ingin tahu:
"Lihatlah apa yang terjadi pada kambing malang ini. Inilah akibat dari membunuh binatang! Semua makhluk hidup yang lahir; menderita sakit, usia tua dan mati. Akan tetapi semua ingin hidup dan tidak mau mati.
Ketika seseorang membunuh makhluk hidup lainnya, ini menyebabkan penderitaan bagi yang melakukannya, baik saat ini maupun tak terbilang hidupnya yang akan datang.
"Makhluk hidup tidak mengerti bahwa akibat segala perbuatan, baik atau buruk, adalah tak terhindarkan. Beberapa orang terus membunuh, dan memanen derita pada masa yang akan datang. Setiap kali membunuh, bagian dari dirinya sendiri haruslah juga mati dalam hidup yang saat ini juga. Bukan itu saja, penderitaannya berlanjut hingga lahir di alam neraka!"
Mereka yang mendengar kata-kata kinara tersebut merasa gembira. Mereka menjalankan pola hidup yang lebih baik, dan hidup berbahagia.
(diceritakan ulang berdasarkan tulisan Romo Surya Mahendra)
Pertama-tama ia memilih kambing yang cocok. Lalu ia menyuruh pembantunya agar memandikan kambing tersebut di sungai.
Di tepi sungai, entah bagaimana tiba-tiba kambing tersebut merasa bahwa hari ini ia akan mati. Ia teringat akan kehidupannya yang lampau, kematiannya dan kelahirannya kembali. Ia juga menyadari bahwa akibat dari perbuatan buruknya dimasa lampau akan masak. Hal tersebut membuat kambing itu tertawa, bunyi aneh karena kambing tidak biasa tertawa.
Di saat ia tertawa-tawa, ia juga teringat pada kenyataan lain. Ia sadar bahwa si pandita karena mengorbankan kambing, akan mengalami derita mengerikan yang sama pada akhirnya, karena kebodohannya. Melihat kenyataan ini ia lalu menangis dengan kerasnya, sama kerasnya ketika ia tertawa.
Pelayan yang sedang mandi di sungai, sangat terperanjat mendengar suara tawa dan tangis kambing.
"Kenapa kamu tertawa tawa-tawa keras lalu menangis dengan keras juga? Kenapa begitu?" tanyanya.
"Akan kuberitahu," jawab kambing, "Tapi sebaiknya di hadapan majikanmu."
Penasaran ingin tahu sebabnya, segera ia membawa kambing korban tersebut ke majikannya. Ia ceritakan semua yang terjadi. Pandita juga ingin segera mengetahuinya. Dengan sopan ia meminta si kambing untuk menjelaskan:
"Tuan kambing, kenapa engkau tertawa lalu menangis?"
Kambing menjawab:
"Jauh di masa lalu, aku juga seorang pandita yang mahir dalam upacara-upacara. Seperti dirimu, aku menganggap bahwa mengorbankan kambing adalah persembahan yang wajib untuk dewa. Kurban yang akan membawa kebaikan. Baik untuk aku sendiri maupun untuk keluargaku pada hidupku yang akan datang. Namun nyatanya selama 499 kali kelahiranku kemudian, aku mengalami penderitaan dipotong kepalaku."
"Saat disiapkan sebagai korban hari ini, aku sadar akan kehilangan kepalaku sekali lagi, untuk yang ke 500 kalinya. Selanjutnya, setelah hari ini, aku akhirnya terbebas dari karma buruk perbuatan buruk yang telah ku lakukan jauh dimasa lampau. Kegembiraan ini membuat aku kegirangan.
Lalu tiba-tiba aku menyadari bahwa engkau, sebagai pandita, baru saja akan memulai perbuatan buruk yang sama, yang telah saya lakukan, dan akan bernasib mengalami akibat sama kepalamu akan dipotong dalam 500 kali kelahiranmu yang akan datang! Jadi, karena rasa kasihan dan prihatin kepadamu, tawaku berubah menjadi tangisan."
Mendengar perkataan itu pandita buru-buru berkata: "Baiklah, tuan kambing, jika ternyata demikian, aku tak akan membunuhmu."
"Pandita Mulia, meskipun dirimu tidak membunuhku, aku tahu sudah pasti aku tetap saja akan kehilangan kepalaku hari ini, dan pada akhirnya tebebas dari karma burukku," jawab si kambing.
"Jangan cemas kambingku. Aku akan memberimu perlindungan yang sangat baik. Aku jamin tak ada yang akan menyakitimu," kata pandita.
"Oh pandita, perlindunganmu tak ada gunanya dibandingkan kekuatan karma."
Demikianlah pandita tersebut membatalkan upacara korban. Ia mulai mempertanyakan pembunuhan binatang yang tanpa dosa. Ia membebaskan si kambing. Bersama pelayannya, ia mengikuti kambing tersebut dari dekat untuk melindunginya dari bahaya apapun.
Namun demikian, kambing memang telah sampai pada akhir masa hidupnya. Kambing itu berkeliaran di daerah berbatu. Melihat beberapa daun hijau di cabang ia berusaha meraihnya. Tiba-tiba ada petir menyambar batu yang miring, dan hempasan pecahan tajam runtuh, langsung memotong kepala kambing tersebut! Ia mati seketika.
Mendengar kejadian yang menakjubkan ini, ratusan penduduk sekitar mendatangi tempat tersebut. Tak seorangpun yang mengetahui bagaimana ini bisa terjadi.
Kinara yang hidup di pohon dekat tempat itu menyaksikan seluruh kejadiannya. Ia memperlihatkan dirinya, mengepakan sayapnya dengan aggun, lalu menceritakan semua ini kepada penduduk yang sangat ingin tahu:
"Lihatlah apa yang terjadi pada kambing malang ini. Inilah akibat dari membunuh binatang! Semua makhluk hidup yang lahir; menderita sakit, usia tua dan mati. Akan tetapi semua ingin hidup dan tidak mau mati.
Ketika seseorang membunuh makhluk hidup lainnya, ini menyebabkan penderitaan bagi yang melakukannya, baik saat ini maupun tak terbilang hidupnya yang akan datang.
"Makhluk hidup tidak mengerti bahwa akibat segala perbuatan, baik atau buruk, adalah tak terhindarkan. Beberapa orang terus membunuh, dan memanen derita pada masa yang akan datang. Setiap kali membunuh, bagian dari dirinya sendiri haruslah juga mati dalam hidup yang saat ini juga. Bukan itu saja, penderitaannya berlanjut hingga lahir di alam neraka!"
Mereka yang mendengar kata-kata kinara tersebut merasa gembira. Mereka menjalankan pola hidup yang lebih baik, dan hidup berbahagia.
(diceritakan ulang berdasarkan tulisan Romo Surya Mahendra)
0 comments:
Post a Comment