Lao Zi, adalah salah satu filsuf paling terkenal dalam sejarah Tiongkok, juga merupakan pendiri ajaran Tao. Ada pepatah Tiongkok kuno yang berbunyi, “Orang yang Rendah Hati akan Mendapat Manfaat, yang Terbuai oleh Rasa Puas Diri akan Mendapatkan Kerugian”. Filsuf Tao terkenal Tiongkok, Lao Zi berkata, “Seseorang bisa mengambil keputusan yang bijak saat dia tidak menanggap dirinya serba pintar. Seseorang bisa dihormati atas jasa-jasanya saat dia tidak membesar-besarkan dirinya. Seseorang bisa mengukir prestasi besar apabila dia tidak sombong.
Seorang yang penuh toleransi pasti sarat dengan nasib baik. Seseorang yang tidak punya toleransi pasti minim dengan nasib baik. Menjadi seorang yang rendah hati atau sombong, menentukan takdir dan nasib seseorang. Orang yang rendah hati dengan karakter nan luhur, moralitasnya akan semakin menonjol. Oleh sebab itu, rendah hati adalah sebuah nilai moral positif yang harus dipertahankan setiap orang.
Pada zaman Chun-Qiu (770-476 SM) di Tiongkok kuno, Zi Lu, seorang pengikut Konfusius suatu hari pernah bertanya kepada Konfusius, “Mengapa seorang yang moralitasnya merosot cenderung menjadi sombong?” Konfusius berkata,: “Lihatlah sungai Yangtze, pada bagian hulu, yakni mata airnya pertama kali mengalir dari Gunung Wen, aliran sungainya tidak cukup kuat untuk mengapungkan sebuah cangkir. Namun sesampai di hilir, aliran sungai Yangtze begitu deras sehingga dapat mengapungkan banyak perahu diatasnya.” Zi Lu bertanya, “Apa maksudnya, Guru?” Konfusius menjelaskan, “Sungai Yangtze adalah sungai terpanjang di Tiongkok, tapi ia bukanlah apa-apa pada mulanya. Ia menjadi besar dan lebar sepanjang alirannya karena ia menerima banyak air dari anak sungai dan selokan yang berbeda-beda. Demikian pula yang terjadi pada kehidupan manusia.” Seseorang yang berhati-hati dalam perbuatannya tidak akan menonjolkan jasa-jasanya sebagai milik dia sendiri. Orang yang bertanggungjawab bersifat bijaksana dan murah hati. Ia selalu menghargai orang lain, punya sifat toleransi, memaafkan dan menepati janjinya. Sedangkan orang yang bermoral merosot tidak mengutamakan akhlak, ucapan dan perbuatannya tidak sesuai, inilah alasannya mengapa orang tersebut kelihatan sombong.”
Seorang raja bernama Da-Yu yang mendirikan Dinasti Xia, tidak pernah menyombongkan diri. Dia sering berkata, “Keunggulan setiap orang patut saya pelajari.” Saat orang lain menyampaikan nasihat, dia sering membungkuk hormat untuk menunjukkan terima kasihnya. Dia juga sangat terbuka untuk menerima masukan. Maka dia selalu dikenang atas keberhasilannya mengontrol banjir dan menjinakkan Huang He (Sungai Kuning).
Adipati Zhou juga adalah orang dengan talenta luar biasa, mempunyai kharisma dan keahlian, namun dia tidak arogan dan tidak berpikiran dangkal. Adipati Zhou menyikapi kaum cendikia dengan sopan santun dan rendah hati. Dia khawatir pemerintah akan kehilangan orang cendikia dalam proses perekrutan. Dia mengikuti mandat langit, menyusun tatacara Zhou dan menciptakan musik klasik Tiongkok kuno, Yayue.
Kaisar Taizong(599 - 649 M) dari Dinasti Tang mencapai kemuliaan dengan cara menerima berbagai kritik yang mungkin orang lain sulit menerimanya. Dia berusaha untuk tidak menggunakan kekuasaannya yang absolut itu. Dia sering berkata, “Pemimpin yang baik menjadi lebih bijaksana dengan belajar dari kekurangan dan kesalahannya, sebaliknya pemimpin yang irasional selamanya bodoh dengan menyembunyikan kekurangan dan kesalahannya.” Dia tidak hanya suka menerima nasehat, juga berani meminta nasehat. Inilah mengapa banyak duta besar negara sahabat berani mengungkapkan pendapat mereka dalam kepemimpinan kaisar Taizong di era Zhenguan, dan para menteri serta jajaran staffnya menjadi pejabat yang paling jujur dan bersih dari korupsi sepanjang sejarah Tiongkok kuno.
Pemimpin bijaksana dalam sejarah Tiongkok kuno selalu menghormati langit dan menjunjung akhlak, bersikap rendah hati, menghargai orang lain, mengendalikan diri sendiri, dan membimbing khalayak menuju kebaikan. Ini adalah contoh teladan kemoralan. Sebagai konsekuensinya, mereka diberkati oleh Tuhan. Pernahkan mereka menyombongkan dirinya? Bila raja-raja besar dan agung saja sangat rendah hati, mengapa kita tidak belajar dari mereka?
Shi Chong dan Wang Kai adalah dua orang berpengaruh pada zaman Dinasti Jin (265 - 420 M) yang bersaing satu sama lain membanggakan kekayaan mereka. Wang Kai membuat layar sutera ungu sepanjang 40 mil di jalan masuk rumahnya. Shi Chong menyainginya dengan membuat layar satin penuh warna sepanjang 50 mil. Kemudian, Wang Kai mempertontonkan harta berharganya yaitu sebuah kipas dari batu karang sepanjang satu kaki, hadiah mewah dari kaisar, pada perjamuan di rumahnya. Saat semua tamu sedang mengaguminya, Shi Chong menghancurkan benda tersebut dengan sebuah kapak, lalu dia memberikan Wang Kai batu karang sepanjang tiga kaki untuk menggantikan kerusakannya. Pada akhirnya, rumah Shi Chong dikepung oleh perampok. Shi Chong berkata dengan menghela nafas, “Kamu membunuh saya karena mengincar harta saya”. Sampai sebelum dibunuh, Shi Chong baru menyadari kesalahannya. Bila dia sadar lebih dini, dia tidak akan pamer kekayaan yang membuat orang lain iri dan tergiur. Sombong dan pamer dapat berakibat sangat fatal. Dengan menyimak kisah ini, bukankah kita dapat belajar untuk berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan kita? Lagipula, kekayaan dan keahlian diri sendiri bukanlah sesuatu yang dapat disombongkan. Bila seseorang menyombongkan kekayaan dan keahliannya, dia telah kehilangan moral dan bahkan lebih memalukan sebelum akhirnya bencana menghampirinya.
Sekali manusia menjadi congkak, dia akan terhalang dalam peningkatan moralitasnya. Terbuai dengan perasaan puas diri adalah halangan terbesar dalam peningkatan. Seseorang dapat memikul tanggungjawab yang penting hanya apabila dia gigih mencari kebenaran dan meningkatkan moralitasnya. Seseorang dapat mengajarkan orang lain menjadi baik dan menghancurkan elemen yang tidak baik hanya apabila dia bertoleransi pada yang lain. Ada pepatah Tiongkok kuno yang berkata, “Jangan berhutang. Siapa yang berhutang akan mendapat hutang, Siapa yang tidak bertempur tidak akan memiliki musuh.” (Grace Mann-Erabaru/ch)
Seorang yang penuh toleransi pasti sarat dengan nasib baik. Seseorang yang tidak punya toleransi pasti minim dengan nasib baik. Menjadi seorang yang rendah hati atau sombong, menentukan takdir dan nasib seseorang. Orang yang rendah hati dengan karakter nan luhur, moralitasnya akan semakin menonjol. Oleh sebab itu, rendah hati adalah sebuah nilai moral positif yang harus dipertahankan setiap orang.
Pada zaman Chun-Qiu (770-476 SM) di Tiongkok kuno, Zi Lu, seorang pengikut Konfusius suatu hari pernah bertanya kepada Konfusius, “Mengapa seorang yang moralitasnya merosot cenderung menjadi sombong?” Konfusius berkata,: “Lihatlah sungai Yangtze, pada bagian hulu, yakni mata airnya pertama kali mengalir dari Gunung Wen, aliran sungainya tidak cukup kuat untuk mengapungkan sebuah cangkir. Namun sesampai di hilir, aliran sungai Yangtze begitu deras sehingga dapat mengapungkan banyak perahu diatasnya.” Zi Lu bertanya, “Apa maksudnya, Guru?” Konfusius menjelaskan, “Sungai Yangtze adalah sungai terpanjang di Tiongkok, tapi ia bukanlah apa-apa pada mulanya. Ia menjadi besar dan lebar sepanjang alirannya karena ia menerima banyak air dari anak sungai dan selokan yang berbeda-beda. Demikian pula yang terjadi pada kehidupan manusia.” Seseorang yang berhati-hati dalam perbuatannya tidak akan menonjolkan jasa-jasanya sebagai milik dia sendiri. Orang yang bertanggungjawab bersifat bijaksana dan murah hati. Ia selalu menghargai orang lain, punya sifat toleransi, memaafkan dan menepati janjinya. Sedangkan orang yang bermoral merosot tidak mengutamakan akhlak, ucapan dan perbuatannya tidak sesuai, inilah alasannya mengapa orang tersebut kelihatan sombong.”
Seorang raja bernama Da-Yu yang mendirikan Dinasti Xia, tidak pernah menyombongkan diri. Dia sering berkata, “Keunggulan setiap orang patut saya pelajari.” Saat orang lain menyampaikan nasihat, dia sering membungkuk hormat untuk menunjukkan terima kasihnya. Dia juga sangat terbuka untuk menerima masukan. Maka dia selalu dikenang atas keberhasilannya mengontrol banjir dan menjinakkan Huang He (Sungai Kuning).
Adipati Zhou juga adalah orang dengan talenta luar biasa, mempunyai kharisma dan keahlian, namun dia tidak arogan dan tidak berpikiran dangkal. Adipati Zhou menyikapi kaum cendikia dengan sopan santun dan rendah hati. Dia khawatir pemerintah akan kehilangan orang cendikia dalam proses perekrutan. Dia mengikuti mandat langit, menyusun tatacara Zhou dan menciptakan musik klasik Tiongkok kuno, Yayue.
Kaisar Taizong(599 - 649 M) dari Dinasti Tang mencapai kemuliaan dengan cara menerima berbagai kritik yang mungkin orang lain sulit menerimanya. Dia berusaha untuk tidak menggunakan kekuasaannya yang absolut itu. Dia sering berkata, “Pemimpin yang baik menjadi lebih bijaksana dengan belajar dari kekurangan dan kesalahannya, sebaliknya pemimpin yang irasional selamanya bodoh dengan menyembunyikan kekurangan dan kesalahannya.” Dia tidak hanya suka menerima nasehat, juga berani meminta nasehat. Inilah mengapa banyak duta besar negara sahabat berani mengungkapkan pendapat mereka dalam kepemimpinan kaisar Taizong di era Zhenguan, dan para menteri serta jajaran staffnya menjadi pejabat yang paling jujur dan bersih dari korupsi sepanjang sejarah Tiongkok kuno.
Pemimpin bijaksana dalam sejarah Tiongkok kuno selalu menghormati langit dan menjunjung akhlak, bersikap rendah hati, menghargai orang lain, mengendalikan diri sendiri, dan membimbing khalayak menuju kebaikan. Ini adalah contoh teladan kemoralan. Sebagai konsekuensinya, mereka diberkati oleh Tuhan. Pernahkan mereka menyombongkan dirinya? Bila raja-raja besar dan agung saja sangat rendah hati, mengapa kita tidak belajar dari mereka?
Shi Chong dan Wang Kai adalah dua orang berpengaruh pada zaman Dinasti Jin (265 - 420 M) yang bersaing satu sama lain membanggakan kekayaan mereka. Wang Kai membuat layar sutera ungu sepanjang 40 mil di jalan masuk rumahnya. Shi Chong menyainginya dengan membuat layar satin penuh warna sepanjang 50 mil. Kemudian, Wang Kai mempertontonkan harta berharganya yaitu sebuah kipas dari batu karang sepanjang satu kaki, hadiah mewah dari kaisar, pada perjamuan di rumahnya. Saat semua tamu sedang mengaguminya, Shi Chong menghancurkan benda tersebut dengan sebuah kapak, lalu dia memberikan Wang Kai batu karang sepanjang tiga kaki untuk menggantikan kerusakannya. Pada akhirnya, rumah Shi Chong dikepung oleh perampok. Shi Chong berkata dengan menghela nafas, “Kamu membunuh saya karena mengincar harta saya”. Sampai sebelum dibunuh, Shi Chong baru menyadari kesalahannya. Bila dia sadar lebih dini, dia tidak akan pamer kekayaan yang membuat orang lain iri dan tergiur. Sombong dan pamer dapat berakibat sangat fatal. Dengan menyimak kisah ini, bukankah kita dapat belajar untuk berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan kita? Lagipula, kekayaan dan keahlian diri sendiri bukanlah sesuatu yang dapat disombongkan. Bila seseorang menyombongkan kekayaan dan keahliannya, dia telah kehilangan moral dan bahkan lebih memalukan sebelum akhirnya bencana menghampirinya.
Sekali manusia menjadi congkak, dia akan terhalang dalam peningkatan moralitasnya. Terbuai dengan perasaan puas diri adalah halangan terbesar dalam peningkatan. Seseorang dapat memikul tanggungjawab yang penting hanya apabila dia gigih mencari kebenaran dan meningkatkan moralitasnya. Seseorang dapat mengajarkan orang lain menjadi baik dan menghancurkan elemen yang tidak baik hanya apabila dia bertoleransi pada yang lain. Ada pepatah Tiongkok kuno yang berkata, “Jangan berhutang. Siapa yang berhutang akan mendapat hutang, Siapa yang tidak bertempur tidak akan memiliki musuh.” (Grace Mann-Erabaru/ch)
0 comments:
Post a Comment