Alkisah pada jaman dahulu di Jepang terdapat tradisi debat antar bhiksu. Pada suatu ketika seorang bhiksu mendatangi sebuah vihara dan bermaksud untuk mengajak berdebat kepala vihara tersebut. Tetapi sayangnya, pada saat itu bhiksu kepala vihara sedang kurang sehat, beliau merasa kurang mampu untuk melayani tantangan tersebut.
Kepala vihara ini bingung memikirkan siapa yang paling tepat mewakilinya berdebat, karena hampir semua murid beliau sedang dalam perjalanan keluar dan hanya menyisakan seorang bhiksu bermata satu yang kurang pandai. Sejenak kepala vihara merasa ragu apakah murid satu ini sanggup menghadapi perdebatan tersebut. Akhirnya beliau mendapatkan akal, debat kali ini akan dilangsungkan dengan bahasa isyarat, tepatnya debat tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Sang Kepala Vihara memanggil muridnya dan mengatakan rencana beliau. Sang murid menyanggupi permintaan Sang Guru untuk tidak mengucapkan sepatah katapun karena debat akan dilakukan dengan bertukar isyarat. Bhiksu tamu ternyata juga menyetujui aturan main debat yang diluar kebiasaan tersebut.
Demikianlah akhirnya mereka berdua menuju aula utama dan memulai acara "debat bisu" tersebut. Pada mulanya Sang Bhiksu tamu mengacungkan satu jarinya. Bhiksu bermata satu membalas dengan mengacungkan kedua jarinya yang berlanjut dengan acungan tiga jari oleh Bhiksu tamu. Bhiksu bermata satu segera mengepalkan tangannya dan anehnya Bhiksu tamu tersebut justru berlari keluar menuju kamar Sang Kepala Vihara serta menyatakan kekalahannya.
Ia berkata, "Wah murid Anda yang bermata satu itu ternyata luar biasa pintar! Ia berhasil mengalahkan saya." Sang kepala vihara merasa tidak percaya dengan apa yang didengar dan meminta sang tamu untuk menceritakan keseluruhan jalannya debat.
Sang Bhiksu tamu menceritakan, "Pada mulanya saya acungkan satu jari yang artinya Buddha". Ia membalas saya dengan mengacungkan dua jari yang artinya "Buddha dan Dharma". Saya membalasnya lagi dengan mengacungkan tiga jari yang artinya "Buddha, Dharma dan Sangha". Dan ia membalasnya dengan mengepalkan tangannya yang artinya "Ketiganya adalah satu". Wah saya kehabisan ide dan menyerah." Segera Sang Bhiksu tamu pergi meninggalkan vihara tersebut.
Sesaat kemudian, sang murid bermata satu berlari masuk sambil berteriak marah, "Mana...mana Bhiksu yang kurang ajar itu?" Sang Guru menanyakan duduk perkaranya. Sang murid kemudian menceritakan alasan ia marah. "Bhiksu tamu itu sungguh tidak tahu diri. Belum apa-apa ia sudah mengacungkan satu jarinya dan mengatakan bahwa mata saya hanya satu. Saya masih bersabar dan mengacungkan dua jari saya yang artinya "Berbahagialah orang yang memiliki dua mata ". Eh, ternyata dia masih tidak tahu diri dengan mengatakan bahwa "Jumlah mata kita adalah tiga", karena itu saya bermaksud meninjunya dan ia lari keluar.”
Kisah yang diambil dari kisah klasik Ch'an atau Zen ini memiliki makna bahwa sesuatu yang "netral" dapat diartikan beraneka ragam oleh pikiran masing-masing individu.
Makna sejati dari kisah ini adalah untuk menunjukkan mengenai prinsip kesunyataan (kekosongan), segala sesuatu adalah sesungguhnya terbebas dari "ciri-ciri" yaitu konsep-konsep atau kesan yang dibuat oleh manusia sendiri.
Kepala vihara ini bingung memikirkan siapa yang paling tepat mewakilinya berdebat, karena hampir semua murid beliau sedang dalam perjalanan keluar dan hanya menyisakan seorang bhiksu bermata satu yang kurang pandai. Sejenak kepala vihara merasa ragu apakah murid satu ini sanggup menghadapi perdebatan tersebut. Akhirnya beliau mendapatkan akal, debat kali ini akan dilangsungkan dengan bahasa isyarat, tepatnya debat tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Sang Kepala Vihara memanggil muridnya dan mengatakan rencana beliau. Sang murid menyanggupi permintaan Sang Guru untuk tidak mengucapkan sepatah katapun karena debat akan dilakukan dengan bertukar isyarat. Bhiksu tamu ternyata juga menyetujui aturan main debat yang diluar kebiasaan tersebut.
Demikianlah akhirnya mereka berdua menuju aula utama dan memulai acara "debat bisu" tersebut. Pada mulanya Sang Bhiksu tamu mengacungkan satu jarinya. Bhiksu bermata satu membalas dengan mengacungkan kedua jarinya yang berlanjut dengan acungan tiga jari oleh Bhiksu tamu. Bhiksu bermata satu segera mengepalkan tangannya dan anehnya Bhiksu tamu tersebut justru berlari keluar menuju kamar Sang Kepala Vihara serta menyatakan kekalahannya.
Ia berkata, "Wah murid Anda yang bermata satu itu ternyata luar biasa pintar! Ia berhasil mengalahkan saya." Sang kepala vihara merasa tidak percaya dengan apa yang didengar dan meminta sang tamu untuk menceritakan keseluruhan jalannya debat.
Sang Bhiksu tamu menceritakan, "Pada mulanya saya acungkan satu jari yang artinya Buddha". Ia membalas saya dengan mengacungkan dua jari yang artinya "Buddha dan Dharma". Saya membalasnya lagi dengan mengacungkan tiga jari yang artinya "Buddha, Dharma dan Sangha". Dan ia membalasnya dengan mengepalkan tangannya yang artinya "Ketiganya adalah satu". Wah saya kehabisan ide dan menyerah." Segera Sang Bhiksu tamu pergi meninggalkan vihara tersebut.
Sesaat kemudian, sang murid bermata satu berlari masuk sambil berteriak marah, "Mana...mana Bhiksu yang kurang ajar itu?" Sang Guru menanyakan duduk perkaranya. Sang murid kemudian menceritakan alasan ia marah. "Bhiksu tamu itu sungguh tidak tahu diri. Belum apa-apa ia sudah mengacungkan satu jarinya dan mengatakan bahwa mata saya hanya satu. Saya masih bersabar dan mengacungkan dua jari saya yang artinya "Berbahagialah orang yang memiliki dua mata ". Eh, ternyata dia masih tidak tahu diri dengan mengatakan bahwa "Jumlah mata kita adalah tiga", karena itu saya bermaksud meninjunya dan ia lari keluar.”
Kisah yang diambil dari kisah klasik Ch'an atau Zen ini memiliki makna bahwa sesuatu yang "netral" dapat diartikan beraneka ragam oleh pikiran masing-masing individu.
Makna sejati dari kisah ini adalah untuk menunjukkan mengenai prinsip kesunyataan (kekosongan), segala sesuatu adalah sesungguhnya terbebas dari "ciri-ciri" yaitu konsep-konsep atau kesan yang dibuat oleh manusia sendiri.
0 comments:
Post a Comment