Bakar Tongkang yang sudah dilakukan sejak 1920 lalu, bagi masyarakat Bagan Siapiapi, khususnya masyarakat Tionghoa mempunyai nilai sejarah yang terus diingat secara turun temurun. Acara ritual Bakar Tongkat tidak dapat dipisahkan dari kehadiran masyarakat Tionghoa dari Propinsi Fujian - China, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan dan kehilangan arah, mereka berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya yang saat itu berada di kapal tersebut agar dapat memberikan penuntun arah menuju daratan.
Tidak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Mereka mengangap dimana ada cahaya maka disitulah ada daratan. Akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga sampai di daratan Selat Malaka.
Perjuangan masyarakat Tionghoa yang merantau sebanyak 18 orang, yaitu Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur Bagan Siapiapi.
Pada keesokan harinya, mereka melihat di sungai banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah tersebut. Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak keluarga dari negeri tirai bambu sehingga masyarakat Tionghoa semakin banyak.
Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut diekspor ke berbagai benua hingga kemudian menjadi sangat terkenal dan bahkan diklaim sebagai penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.
Setelah sekian lama tinggal, mereka membangun sebuah kelenteng tahun 1875 yang diberi nama Kelenteng In Hok Kiong. Tahun 1928 kelenteng ini dibuat secara permanen. Di tempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya yang saat ini disembahyangkan adalah bentuk utuh/asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagan Siapiapi.
Beberapa versi menyebutkan asal usul kata Bagan Siapiapi dari asal petunjuk api yang secara mistis diberikan oleh Dewa Kie Ong Ya saat para leluhur meminta petunjuk. Namun versi lain mengatakan cahaya terang yang dilihat orang para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Alasan ini, karena dulu masih mudah ditemukan kunang-kunang, namun kini agak sulit untuk melihat kunang-kunang di Bagan Siapiapi.
Namun ada juga versi lain yang jarang dibicarakan orang yaitu Bagan adalah istilah tempat atau alat penangkapan ikan model kuno dan kata “api” sendiri adalah nama sejenis pohon di rawa-rawa yang biasanya disebut pohon api-api. Dimana pada saat itu perairan Bagan Siapiapi terdapat banyak sekali tempat atau alat penangkapan ikan dan rawa-rawa yang tumbuh oleh pohon api-api.
Ritual Bakar Tongkang merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tinghoa yang melarikan diri dari ancaman si penguasa Siam. Di dalam kapal yang dipimpin Ang Mie Kui, terdapat patung Dewa Kie Ong Ya dan lima dewa-dewa, dimana penglimanya disebut Taisun Ong Ya.
Patung-patung dewa ini mereka bawa dari tanah Tiongkok, dan menurut keyakinan mereka bahwa dewa tersebut akan memberikan keselamatan selama dalam pelayaran, hingga akhirnya mereka menetap di kota Bagan Siapiapi.
Untuk menghormati dan masyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagan Siapiapi, maka mereka membakar wangkang (tongkang) yang dilakukan setiap tahun.
Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya (Dewa Laut) yang memiliki ciri khas tersendiri dan tidak ditemui di tempat lain di Indonesia.
[Fahrin Malau-analisadaily.com]
Tidak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Mereka mengangap dimana ada cahaya maka disitulah ada daratan. Akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga sampai di daratan Selat Malaka.
Perjuangan masyarakat Tionghoa yang merantau sebanyak 18 orang, yaitu Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur Bagan Siapiapi.
Pada keesokan harinya, mereka melihat di sungai banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah tersebut. Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak keluarga dari negeri tirai bambu sehingga masyarakat Tionghoa semakin banyak.
Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut diekspor ke berbagai benua hingga kemudian menjadi sangat terkenal dan bahkan diklaim sebagai penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.
Setelah sekian lama tinggal, mereka membangun sebuah kelenteng tahun 1875 yang diberi nama Kelenteng In Hok Kiong. Tahun 1928 kelenteng ini dibuat secara permanen. Di tempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya yang saat ini disembahyangkan adalah bentuk utuh/asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagan Siapiapi.
Beberapa versi menyebutkan asal usul kata Bagan Siapiapi dari asal petunjuk api yang secara mistis diberikan oleh Dewa Kie Ong Ya saat para leluhur meminta petunjuk. Namun versi lain mengatakan cahaya terang yang dilihat orang para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Alasan ini, karena dulu masih mudah ditemukan kunang-kunang, namun kini agak sulit untuk melihat kunang-kunang di Bagan Siapiapi.
Namun ada juga versi lain yang jarang dibicarakan orang yaitu Bagan adalah istilah tempat atau alat penangkapan ikan model kuno dan kata “api” sendiri adalah nama sejenis pohon di rawa-rawa yang biasanya disebut pohon api-api. Dimana pada saat itu perairan Bagan Siapiapi terdapat banyak sekali tempat atau alat penangkapan ikan dan rawa-rawa yang tumbuh oleh pohon api-api.
Ritual Bakar Tongkang merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tinghoa yang melarikan diri dari ancaman si penguasa Siam. Di dalam kapal yang dipimpin Ang Mie Kui, terdapat patung Dewa Kie Ong Ya dan lima dewa-dewa, dimana penglimanya disebut Taisun Ong Ya.
Patung-patung dewa ini mereka bawa dari tanah Tiongkok, dan menurut keyakinan mereka bahwa dewa tersebut akan memberikan keselamatan selama dalam pelayaran, hingga akhirnya mereka menetap di kota Bagan Siapiapi.
Untuk menghormati dan masyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagan Siapiapi, maka mereka membakar wangkang (tongkang) yang dilakukan setiap tahun.
Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya (Dewa Laut) yang memiliki ciri khas tersendiri dan tidak ditemui di tempat lain di Indonesia.
[Fahrin Malau-analisadaily.com]
0 comments:
Post a Comment